BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nuzul al-quran ialah turunnya al-Qur’an kepada Nabi saw yang dibawa oleh Malaikat Jibril ke bumi.Kata nazala dipergunakan al-Qur’an sebanyak 293 kali dan sebagiannya berkaitan dengan kitab yang diturunkan Allah swt kepada para rasul.
Kata anzala menunjukkan makna bahwa al-Qur’an pernah diturunkan sekaligus dan terkait dengan ruang dan waktu,sedangkan nazzala memberi petunjuk bahwa al-Qur’an turun berangsur-angsur dan terkait dengan ruang dan waktu.
Pada abad ke-3H salah seorang ulama klasik(salaf)mengemukakan pendapatnnya tentang nuzul al-Qur’an dengan mengatakan bahwa,”al-Qur’an bersifat qadim,seperti yang dikatakan oleh ulama sebelumnya,yakni telah ada sebelum adanya waktu dan tempat,akan tetapi keberadaannya ketika itu belum diketahui atau hadir di pentas bumi.”
1.2 Rumusan Masalah
1.Apa pengertian Nuzul al-quran ?
2.Bagaimana cara Nuzul al-qur’an secara tanjim ?
3.Apa saja hikmah diturunkan al-quran secara tanjim ?
4.Bagaimana faedah Nuzul al-quran secara tanjim dalam pendidikan dan pengajaran?
5.Bagaimana proses mengumpulkan dan menertibkan al-quran ?
6.Bagaimana Syubhat dalam al-quran?
7.Tertib surat apakah tauqifi ataupun taufiqi ?
Baca juga
1. Takhrij Hadits
2. Syarat Seorang Perawi Hadits
3. Qiraat dan Qurra
1.3 Tujuan
Sesuai dengan batasan masalah di atas,tujuan yang dicapai dalam makalah ini adalah :
1.Mengetahui penjelasan tentang pengertian Nuzul al-quran.
2.Mengetahui cara Nuzul al-qur’an secara tanjim dengan lebih rinci.
3.Mengetahui hikmah diturunkan al-quran secara tanjim.
4. Mengetahui faedah Nuzul al-quran secara tanjim dalam pendidikan dan pengajaran.
5. Mengetahui proses mengumpulkan dan menertibkan al-quran yang sebenarnya.
6. Mengetahui dengan jelas Syubhat dalam al-quran.
7. Mengetahui tertib surat tauqifi ataupun taufiqi.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.Bagi mahasiswa,makalah ini dapat menjadi bahan pembelajaran dan sumber pengetahuan.
2.Bagi dosen,makalah ini dapat menjadi sumber tambahan dalam proses perkuliahan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Nuzul Al-Qur’an
Kata “Nuzul” (bahasa Arab:berasal dari nazala) secara etimologis berarti turun,jatuh,keadaan turun,tinggal sementara,dan hal yang menimpa.Sedangkan arti terminologis nuzul ialah turunnya al-Qur’an kepada Nabi saw yang dibawa oleh Malaikat Jibril ke bumi.Kata nazala dan derivasinya dipergunakan al-Qur’an sebanyak 293 kali dan sebagiannya berkaitan dengan kitab yang diturunkan Allah swt kepada para rasul.
Kata anzala menunjukkan kepada makna bahwa al-Qur’an pernah diturunkan sekaligus dan terkait dengan ruang dan waktu,sedangkan nazzala member petunjuk bahwa al-Qur’an turun berangsur-angsur dan terkait dengan ruang dan waktu.
Pada abad ke-3H salah seorang ulama klasik(salaf)mengemukakan pendapatnnya tentang nuzul al-Qur’an dengan mengatakan bahwa,”al-Qur’an bersifat qadim,seperti yang dikatakan oleh ulama sebelumnya,yakni telah ada sebelum adanya waktu dan tempat,akan tetapi keberadaannya ketika itu belum diketahui atau hadir di pentas bumi.”
Namun,ada sebagian ulama yang memberikan pengertian sebagai alternative dari problem teologis tersebut dengan memberikan pengertian majaziy dari kata nuzul.Dalam hal ini nuzul diartikan penampakan al-Qur’an ke pentas bumi pada waktu dan tempat tertentu.Memang menurut pandangan ini bersifat qadim,dalam pengertian sudah ada sebelum adanya waktu dan tempat,akan tetapi pada waktu itu keberadaannya dan kehadirannya belum ada di pentas bumi.
Ketika al-Qur’an pertama kali diterima oleh Nabi saw,ketika itu pula al-Qur’an menampakkan diri.Oleh karenanya,inna anzalnahu fi lailatul al-qadr mempunyai pengertian”Sesungguhnya Kami memulai memperkenalkan kehadiran al-Qur’an pada malam al-Qadr.”
Dari beberapa penjelasan diatas dapat diambil kesimpulannya,bahwa para ulama berbeda pendapat dengan arti “nuzul”,yaitu :
1.Ulama yang berpandangan bahwa dengan sifat qadim al-Qur’an,tidak mungkin al-Qur’an membutuhkan waktu dan tempat.Namun,mereka juga tidak berani berspekulasi dengan memberikan arti majaziy terhadap ayat-ayat nuzul al-Qur’an.
2.Ulama yang memberikan pengertian majaziy terhadap arti nuzul,yakni dalam pengertian “turun” dari yang tinggi derajatnya ke tempat yang lebih rendah derajatnya.
3.Ulama yang berpandangan bahwa kata nuzul bukan berarti “turun” melainkan mempunyai pengertian penampakan al-Qur’an di muka bumi yang sudah ada sebelum adanya waktu dan tempat(qadim).
Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan turunya Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Seperti firman Allah yang terdapat dalam surat Fushilat yaitu:
تَنزِيلٌ مِّنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Artinya: Diturunkan dari Tuhan yang maha pemurah lagi maha penyayang (Q.S.Fushilat: 2).
2. Dan seperti firman Allah SWT yang terdapat dalam surat Al-Israq ayat 106 yaitu:
وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً
Artinya: Dan Al-Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurungkannya bagian demi bagian (Q.S. Al-Israq: 106).
3. Dan seperti firnan Allah SWT dalam surat Thaha ayat 2 yaitu:
مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
Artinya: kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu supaya kamu menjadi susah (Q,S. Thaha:n: 2)
Dari beberapa ayat diatas maka dapat simpulkan bahwa ayat diatas menggunakan kata-kata nazzala, anzala dan tanzila menunjuk kan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan oleh Allah SWT bukan kehendak siapa-siapa melainkan kehendak Allah SWT itu sendiri.
2.2 Cara Nuzul Al-Qur’an secara tanjim atau jumlah wahidah
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril, dengan berbahasa arab, yang telah dibukukan dan merupakan satu ibadah untuk
membacanya.Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur dalam masa 23 tahun (13 tahun periode Makah, dan 10 tahun periode
Madinah).Al-Qur’an diturunkan melalui tahapan,yaitu :
Pertama adalah dengan kasih sayang Allah SWT, maka Allah SWT memproklamasikan kalam nafsi menjadi kalam lafzi yang tertulis didalam Lauh Mahfuz.
Kedua malaikat Jibril membawa turun Al-Qur’an kelangit pertama dengan sekaligus. Setelah itu baru disampaikan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur, sesuai dengan kondisi umat pada waktu itu.
Sedangkan menurut Manan Khalil al-Katan dalam bukunya ‘Ulumul Qur’an bahwa tahapan turunnya Al-Qur’an dapat dirincikan sebagai berikut:
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT secara sekaligus ke lauh Mahfuzh seperti yang diterangkan oleh Allah dalam firmannya surat Al-Buruj ayat 21-22 yaitu:
. فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ . بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ
Artinya: Bahkan yang didustakan mereka itu adalah Al-Qur’an yang mulia, Yang tesimpan dalam Lauh Mahfuzh (Q.S. Al-Buruj: 21-22).
Al-Qur’an diturunkan dari Lawh Mahfuzh ke Bait al-Izzah di langit dunia, yang menjadi alasannya diturunkan sekaligus.Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185 yaitu:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ
Ketiga ayat diatas menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada suatu malam yang dinyatakan dengan malam mubarakah serta dinamai dengan lailatul qadar yaitu suatu malam pada bulan Ramadhan. Jadi ayat diatas tidaklah saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, akan tetapi sebaliknya ayat tersebut saling berkaitan satu samalainnya. hanya saja yang saling bertentangan antara zahir ayat dengan kejadian yang dialami oleh Rasulallah SAW sendiri, dimana Al-Qur’an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun.
Turunnya Al-Qur’an dari Bait al- Izzah kepada Rasulalla SAW.melalui perentaraan Malaikat Jibril secara tanjim (berangsur-angsur) setelah itu diturunkan dalam masa lebih kurang 23 tahun. Adapun yang menjadi dalil dalam hal ini, yaitu firman Allah dalam Surat Al- Syu’ara ayat 192 -195 yaitu:
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun leh ruh al-Amin (jibril) (Q.S. Al-Syu’ara192-193).
2.3 Hikmah diturunkan al-qur'an secara tanjim (Berangsur-angsur)
Adapun hikmah yang terkandung didalamnya antara lain:
1.Untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW dalam melakukan tugas sucinya sekalipun menghadapi hambatan dan tantangan yang beraneka ragam. Sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 32-33 yang artinya : “Berkatalah orang-orang yang kafir; “ Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya (Q.S. Al-Furqan. 32-33).
2. Supaya mudah dipahami dan dilaksanakan.
Nabi Muhammad SAW dan sebagian besar masyarakat waktu itu tidak bisa baca tulis (ummiy). Tetapi orang arab terkenal memiliki daya hafal yang kuat. Karena tidak mampu baca tulis itu, adalah sanggat sulit Al-Qur’an diturunkan sekaligus. Diturunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur akan memudahkan mereka untuk menghapalnya.
3. Menyesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masyarakat menerimanya.
Yang ditanamkan terlebih dahulu adalah akidah tauhid bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, serta adanya hari akhirat. Akidah itu akan menanamkan akhlak yang mulia. Itulah yang diperlukan pada priode Makah. Bila mereka waktu itu sudah diwajibkan mengerjakan ibadah sejara ketat tentu mereka akan menolak menerima Islam.
4. Untuk beransur-ansur menetapkan dan memantapkan hukum
Hal ini sudah jelas bagi orang yang mengikuti sejara hukum Islam di Zaman Nabi SAW, dan disinilah letak ciri khas syari’at Islam. Sebab, bangsa yang hendak diubah Nabi pada waktu itu, bukanlah bangsa yang lemah lembut, suka menerima pembaharuan, melainkan adalah bangsa yang keras kepala, dan telah mewarisi sifat menyembah berhala sejara turun temurundan telah mendarah daging. Bangsa itulah yang secara berangsur-angsur hendak disirami jiwanya denga sinar Ilahi.
5. Untuk memudahkan menghapal Al-Qur’an
Dengan cara Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan pemahaman yang dipahadapi, bagi umat Isalam pada masa Nabi dahulu memudahkan menghapalnya, khusus bagi sahabat yang mengikuti dari dekat turunya ayat demi ayat.
6. Sebagai koreksi terhadap kesalahan kesalahan aatau mengikuti peristiwa-peristiwa pada waktu terjadinya.
Kerap kali umat Islam menghadapi persoalan kemasyarakatan maupun menjelaskan baagaimana jalan keluarnya. Ada pula wahyu yang diturunkan untuk mengoreksi kesalahan yang diperbuat sahabat dengan maksut agar hal serupa tidak terulang lagi dan akan menjadi pedoman bagi umat sepanjang masa.
7. Sebagai bukti bahwa wahyu yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah berasal dari Allah SWT
Al-Qur’an yang kita baca dari awal sampai akhir adalah rangkaian perkataan yang tak mungkin diciptakan oleh manusia, termasuk Nabi Muhammad sendiri; juga oleh Jibrail dan makhluk apapun. Sebab begitu halus susunan kalimatnya, begitu indahh gaya bahasanya dan lain-lain.
2.4 Faedah mengetahui Asbab An-Nuzul dalam medan pendidikan dan pengajaran
Dalam dunia pendidikan, para pendidik mengalami banyak kesulitan dalam penggunaan media pendidikan yang dapat membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka siap dan minat menerima pengajaran, dan seluruh potensi intetektualnya terberdayakan untuk mendengarkan dan mengikuti pelajaran. Tahap pendidikan dasar dalam suatu pengajaran memerlukan kecerdasan yang dapat membantu guru dalam menarik minat anak didik terhadap pelajarannya dengan berbagai media yang cocok. Juga memerlukan latihan dan pengalaman yang cukup lama dalam memilih metode pengajaran yang efektif dan dan sejalan dengan tingkat pengetahuan anak didik tanpa adanya kekerasan dan paksaan.
Tahap pendidikan dasar itu di samping bertujuan membangkitkan perhatian dan menarik minat anak didik, juga ditujukan memberikan konsepsi menyeluruh mengenai kurikulum pelajaran, agar guru dapat dengan mudah membawa anak didiknya dari hal-hal yang yang bersifat umum kepada yang khusus, sehingga materi-materi pelajaran yang telah ditargetkan dapat dikuasai secara detail setelah anak didik itu memahaminya secara garis besarnya.
Kaitannya dengan pengetahuan tentang Asbab an-Nuzul adalah merupakan media paling baik untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan dalam mempelajari al-Qur’an al-Karim baik bacaannya maupun tafsirnya.
Asbab an-Nuzul ada kalanya berupa kisah tentang perisitiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengeahui hukum suatu masalah, hingga al-Qur’an pun turun meresponnya. Seorang guru sebenarnya tdak perlu membuat pengantar pelajaran dengan sesuatu yang baru dipilihnya, sebab jika ia menyampaikan Asbab an-Nuzul, maka kisahnya itu sudah cukup untuk membangkitkan perhatian, menarik minat, memusatkan potensi intelektual dan menyiapkan jiwa anak didik untuk menerima pelajaran, serta mendorong mereka untuk mendengarkan dan memperhatikannya.
Mereka akan segera dapat memahami pelajaran itu secara umum dengan mengetahui Asbab an-Nuzul , karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kisah yang menarik. Selanjutnya jiwa mereka akan bersemangat untuk mengetahui ayat apa yang akan diturunkan dengan sebab turunnya ayat itu, apa rahasia-rahasia perundangan dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, yang kesemua ini memberi petunjuk kepada manusia ke jalan yang lurus, jalan menuju kekuatan, kemuliaan dan kebahagiaan.
Para pendidik dalam dunia pengajaran dan pendidikan di bangku-bangku sekolah atau pendidikan umum, dalam memberikan bimbingan perlu memanfaatkan konteks Asbabu an-Nuzul dalam memberikan rangsangan kepada peserta didik yang tengah belajar dan masyarakat umum yang dibimbing. Cara demikian merupakan cara yang paling bermanfaat dan efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan tersebut.
2.5 Penulisan Al-Quran dan Pengumpulannya
Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.
Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.
Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.
Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.
Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.
Mush’ab Ibn Sa’ad mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.
Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.
Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.
2.6 Penerbitan Al-Quran
Al Qur’an Pasca Usman bin ‘Affan
Setelah Al Qur’an ditulis ulang menjadi satu mushaf penuh, mushaf-mushaf awal tersebut dikirim ke berbagai kota yang menjadi pusat perselisihan umat Islam bersama dengan qari’nya yang membimbing mereka dalam membaca Al Qur’an tersebut.Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.Pitersburg) dan umat Islam dilarang untuk melihatnya.
Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di bagian asia tengah).
Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo, Mesir dan mushaf ketiga dan keempat terdapat di kota Istambul, Turki. Umat Islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli apa adanya.
Adapun orang yang pertama kali membuat tanda baca dalam Al Qur’an adalah Abu al Aswad ad Du’aly. Beliau menulis atas izin dan perintah khalifah Umar bin Khattab yang menginginkan agar Al Qur’an bisa dibaca oleh orang-orang non Arab sesuai dengan bacaannya yang berlafazkan bahasa Arab yang fasih. Beliau memberikan tanda titik berupa titik merah pada akhir huruf di setiap kata. Kemudian usaha beliau dilanjutkan oleh generasi selanjutnya yang salah satunya bernama Nashr bin ‘Asim al Laithi, beliau membuat tanda baca yaitu berupa titik untuk membedakan huruf yang memiliki karakter yang sama.
Pada masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, berkembang berbagai jenis ilmu-ilmu Al Qur’an, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini disiplin ilmu membaca Al Qur’an telah diterapkan, antara lain : ilmu tajwid, ilmu Qira’ah dan ilmu-ilmu Tafsir untuk memahami Al Qur’an sesuai dengan keadaan pada masa itu.
Pencetakan dan Penerbitan Al Qur’an
Pada masa Dinasti-dinasti Islam hingga sebelum abad ke 16 M, Al Qur’an diperbanyak dengan cara ditulis oleh para juru tulis yang dipercaya dengan menyandarkan tulisan mereka kepada Mushaf Imam yang ada di Madinah. Karena semakin lama umat Islm semakin banyak dan daerah kekuasaan Dinasti Islam juga sudah menyentuh daerah-daerah diluar Arab, maka semakin banyak mushaf yang diperlukan untuk diajarkan kepada orang-orang non Arab. Sehingga dibutuhkan banyak penulis dan alat-alat tulis. Pada masa ini Al Qur’an mulai didistribusikan dengan menggunakan bayaran untuk membalas jasa juru tulis dan sebagai ganti atas alat-alat tulis yang terpakai untuk menyalin Al Qur’an tersebut.Ketika di Inggris terjadi revolusi industri pada abad ke 16 M dan mesin cetak ditemukan dan telah dimodifikasi serta diperbanyak, maka Al Qur’an mulai diterbitkan secara massal. Al Qur’an pertama kali dicetak pada tahun 1964 di Hamburg, Jerman. Naskah tersebut dilengkapi dengan tanda baca. Kemudian umat Islam mulai menggunakan mesin cetak untuk menerbitkan Al Qur’an yang pertama kali diterbitkan di St. Pitersburg, Rusia pada tahun 1787 M dan dikenal dengan Mushaf Malay Usman.
Hal serupa juga diikuti oleh penerbit lainnya, yaitu di Kazan pada tahun 1828, di Persia pada tahun 1838 dan Turki pada tahun 1877 M. Kemudian seorang orientalis Jerman yang bernama Fluegel, menerbitkan Al Qur’an yang lengkap dengan pedoman bacaan. Akan tetapi, terbitan Jerman yang disebut dengan edisi Fluegel ini mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem penomoran yang ada pada mushaf standar. Oleh karena itu, pada abad ke 20, umat Islam mulai mencetak Al Qur’an dengan menggunakan penerbit sendiri yang mendapat pengawasan dri para ulama agar tidak terjadi kesalahan cetak.
Cetakan Al Qur’an yang banyak digunakan oleh umat Islam pada masa sekarang adalah cetakan Mesir yang dikenal dengan edisi Raja Fuad, selaku pelopor dan pencetus ide penerbitan Al Qur’an secara massal dan dikirim ke seluruh dunia. Edisi ini ditulis berdasarkan qira’at ‘Ashim riwayat Hafsah yang dicetak pertama kali pada tahun 1344 H/1925 M.
Pada tahun 1947 M, Al Qur’an pertama kali dicetak dengan menggunakan teknik desain huruf-huruf yang indah dan teknik cetak offset yang canggih atas usulan seorang ahli kaligrafi terkemuka di Turki yang bernama Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.
Al Qur’an Pasca Pencetakan
Setelah Al Qur’an dicetak secara massal dibawah pengawasan ulama-ulama Al Qur’an dan disebarkan ke seluruh dunia, maka umat Islam tidak mendapatkan kesulitan lagi di dalam membaca Al Qur’an. Seiring dengan hal itu, perbedaan bahasa yang digunakan oleh umat Islam non Arab menjadi kendala tersendiri didalam memahami Al Qur’an. Oleh karena itu, usaha untuk menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa ‘ajam (non Arab) mulai dilakukan.Al Qur’an pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh orang-orang Barat untuk keperluan biara Clugni sekitar tahun 1145 M dan diterbitkan pada tahun 1543 di Bastle oleh penerbit Bibliander. Kemudian Al Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Schiweigger pada tahun 1616 M di Nurenberg. Al Qur’an juga diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh Du Ryer diterbitkan pada tahun 1647 M di Paris dan oleh Savari yang diterbitkan pada tahun 1783, ke dalam bahasa Rusia yang diterbitkan di St. Petersburg pada tahun 1776. Dan menyusullah tokoh-tokoh jerman lainnya yang menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa mereka, yaitu Boysen pada tahun 1773, Wahl pada tahun 1828 dan Ullman pada tahun 1940 M. Adapun terjemahan ke dalam bahasa Inggris yang dianggap paling lengkap dan digunakan hingga sekarang adalah The Holy Qur’an yang dilakukan oleh Abdullah Yusuf Ali pada tahun 1934.
Sedangkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia untuk pertama kalinya dilakukan oleh Abdul Ra’uf al Fansuri, seorang ulama yang berasal dari Aceh dengan menggunakan bahasa Melayu pada pertengahan abad ke 17 M. Selanjutnya Al Qur’an mulai banyak diterjemahkan oleh ulama-ulama Indonesia, diantaranya adalah Tafsir Qur’an Indonesia oleh Mahmud Yunus pada tahun 1935, Al Furqan dan Tafsir Qur’an oleh A. Hasan dari Bandung pada tahun 1928, Tafsir Al Qur’an oleh K.H. Hamidi cs. pada tahun 1959, Al Ibris oleh K.H. Bisyri Mushthafa pada tahun 1960, Tafsir Al Qur’an al Hakim oleh H.M. Kasin Bakry cs. pada tahun 1960, dan Tafsir al Azhar oleh Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah pada tahun 1973. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan terjemahan edisi Depag sejak zaman pemerintahan Soeharto dengan Pelitanya dan terus mengalami revisi hingga sekarang oleh Lembaga Studi Al Qur’an dibawah naungan Departemen Agama Indonesia.
2.7 Menjauhi Syubhat
A. Pengertian Syubhat
Setelah tingkatan perkara-perkara kecil yang diharamkan, maka di bawahnya adalah syubhat. Yaitu perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak, yang masih samar-samar kehalalan maupun keharamannya. Perkara ini sama sekali berbeda dengan perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya. Oleh sebab itu, orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad, kemudian dia melakukannya, sehingga memperoleh kesimpulan hukum yang membolehkan atau mengharamkannya, maka dia harus melakukan hasil kesimpulan hukumnya. Dia tidak dibenarkan untuk melepaskan pendapatnya hanya karena khawatir mendapatkan celaan orang lain. Karena sesungguhnya manusia melakukan penyembahan terhadap Allah SWT berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri kalau memang mereka mempunyai keahlian untuk melakukannya. Apabila ijtihad yang mereka lakukan ternyata salah, maka mereka dimaafkan, dan hanya mendapatkan satu pahala.
Imam Ahmad menafsirkan bahwa syubhat ialah perkara yang berada antara halal dan haram yakni yang betul-betul halal dan betul-betul haram. Dia berkata, "Barangsiapa yang menjauhinya, berarti dia telah menyelamatkan agamanya. Yaitu sesuatu yang bercampur antara yang halal dan haram."
Ibnu Rajab berkata, "Masalah syubhat ini berlanjut kepada cara bermuamalah dengan orang yang di dalam harta bendanya bercampur antara barang yang halal dan barang yang haram. Apabila kebanyakan harta bendanya haram, maka beliau berkata, 'Dia harus dijauhkan kecuali untuk sesuatu yang kecil dan sesuatu yang tidak diketahui.' Sedangkan ulama-ulama yang lain masih berselisih pendapat apakah muamalah dengan orang itu hukumnya makruh ataukah haram”
Al-Shan'ani berpendapat bahwa yang dimaksud dengan syubhat adalah hal-hal yang belum diketahui status halal dan haramnya hingga sebagian besar orang yang tidak tahu (awam) menjadi ragu antara halal dan haram. Hanya para ulama yang mengetahui status hukumnya dengan jelas, baik berdasarkan nash ataupun berdasarkan ijtihad yang mereka lakukan dengan metode qiyas, istishb, dan sebagainya'' Adapun menurut Taqiyuddin An-Nabhani arti dari syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya
Barangsiapa yang masih ragu-ragu terhadap suatu perkara, dan belum jelas kebenaran baginya, maka perkara itu dianggap syubhat, yang harus dia jauhi untuk menyelamatkan agama dan kehormatannya; sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits Muttafaq 'Alaih:
Artinya:”Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan.
Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Merujuk pada pengertian tersebut, syubhat memang bukan sebuah status hukum seperti halal, haram, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap status hukum suatu perkara. Sebab, dalam pandangan hukum, tidak ada satu pun masalah yang tidak memiliki status hukum. Sekalipun kadang-kadang diperdebatkan, ketidakjelasannya bukan karena keraguan, tapi berlandaskan keilmuan yang jelas.
Jadi, sebenarnya bagi orang yang tahu, status suatu perkara sudah jelas, sekalipun debatable di kalangan orang yang sama-sama tahu. Sementara status syubhat muncul dari ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Selamanya akan meragukan dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap terhadap perkara tersebut. Kondisi seperti ini pasti akan melanda sebagian besar umat, terutama kelompok awam.
Seringkali umat menghadapi sesuatu yang tidak jelas dan meragukan. Bahkan para ulama sendiri, dalam kasus-kasus tertentu akan menghadapi situasi yang membingungkan seperti itu. Sementara Islam sama sekali tidak menghendaki hinggapnya keraguan dan kebingungan dalam hati umatnya. Islam selalu mengajarkan agar segala sesuatu dilakukan atas dasar keyakinan. Keyakinan merupakan salah satu prinsip beragama yang paling penting dalam Islam.
B. Beberapa Hal Yang Bersifat Syubhat
.1. Merayakan Natal (Hari Raya Umat Nasrani)
Perayaan Natal bersama pada akhir-akhir ini disalah artikan oleh sebagian ummat Islam dan disangka merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Karena salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal. Perayaan Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan ibadah. Sebagai landasan dari hal tersebut adalah fatwa MUI tentang anjuran tidak mengikuti perayaan Natal di Indonesia:
a) Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan, berdasarkan atas:
1. Al Qur`an surat Al-Hujurat ayat 13:
Artinya: ” Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
2. Al Qur`an surat Luqman ayat 15
Artinya: ” Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.”
3. Al Qur`an surat Mumtahanah ayat 8:
Artinya: ”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
b) Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqiqah dan peribadatan agamanya dengan aqiqah dan peribadatan agama lain berdasarkan :
1. Al Qur`an surat Al-Kafirun:
Artinya: ”Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu Mengetahui.”
2. Makanan (Bahan Tambahan Makanan)
Banyak sekali pangan olahan yang perlu diwaspadai kehalalannya karena bahan tambahan makanannya yang masih perlu diteliti. Walaupun demikian, kembali perlu ditegaskan, tidak berarti pasti haram karena bahan-bahan pengganti yang halal juga sudah banyak dan pembuatannya tidak harus melalui jalan yang dijelaskan dalam tabel, karena masih mungkin ada berbagai alternatif seperti telah dibahas untuk kasus pengemulsi.
Ada satu jenis bahan tambahan makanan yang juga rawan kehalalannya (beberapa), sayangnya bahan ini banyak dipakai pada makanan olahan, bahan tambahan tersebut yaitu perisa (flavourings).
Kekhawatiran ini disebabkan oleh karena beberapa hal, yaitu:
1) Pelarut yang digunakan di antaranya etanol dan gliserol,
2) Bahan dasar pembuatannya,
3) Asal bahan dasar yang digunakan. Sebagai contoh, untuk menghasilkan flavor daging diperlukan base yang dibuat dari hasil reaksi asam amino atau protein hidrolisat, gula dan kadang-kadang lemak atau turunannya. Selain itu, pada waktu formulasi untuk flavor ayam misalnya (sering digunakan untuk mie instan, sup ayam, kaldu ayam, produk chiki (ekstrusi), dll), seringkali diperlukan lemak ayam, sehingga perlu jelas dari mana asalnya. Contoh lain lagi, untuk flavor mentega diperlukan bukan hanya bahan-bahan kimia tunggal pembentuk aroma mentega, tetapi juga asam-asam lemak untuk membentuk rasa dan mouthfeel, tentu saja perlu jelas dari mana asam lemaknya. Itu hanya dua contoh saja, perlu disadari bahwa jenis flavor ini jumlahnya ratusan, terbuat dari ribuan senyawa kimia bahan dasar, di samping pelarut, pengemulsi, enkapsulan, penstabil, dan aditif lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya mengaudit kehalalan bahan flavor ini, bukan pekerjaan mudah dan kembali memerlukan keahlian dan bekal pengetahuan yang tinggi di bidang ini, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
C. Menyikapi Syubhat
Fitnah syubhat dapat dihadapi dengan ilmu. Sebagaimana perkataan Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh: “Seseorang yang kokoh dalam ilmu jika datang syubhat-syubhat kepadanya sebanyak ombak lautan tidak akan menggoyahkan keyakinannya, dan sama sekali tidak menimbulkan keraguan sedikitpun pada hatinya. Karena jika seseorang telah kokoh dalam ilmu maka tidak akan digoyahkan oleh syubhat, bahkan jika datang syubhat kapadanya akan ditolak oleh penjaga ilmu dan pasukannya sehingga syubhat tersebut akan kalah dan terbelenggu”
Cara orang menghadapi masalah syubhat inipun bermacam-macam, tergantung kepada perbedaan pandangan mereka, perbedaan tabiat dan kebiasaan mereka, serta juga perbedaan tingkat wara' mereka. Ada orang yang tergolong khawatir yang senantiasa mencari masalah syubhat hingga yang paling kecil sehingga mereka menemukannya. Seperti orang-orang yang meragukan binatang sembelihan di negara Barat, hanya karena masalah yang sangat sepele dan remeh. Mereka mendekatkan masalah yang jauh dan menyamakan hal yang mustahil dengan kenyataan. Mereka mencari-cari dan bertanya-tanya sehingga mereka mempersempit ruang gerak mereka sendiri, yang sebetulnya diluaskan oleh Allah SWT dalam Q.S. Al Maidah: 101:
Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Akan tetapi, penentuan status halal haramnya suatu benda, kadang bukan perkara mudah. Di satu sisi, para ulama mungkin belum seluruhnya menyadari betapa kompleksnya produk-produk, perbuatan-perbuatan dewasa ini. Asal usul pelaksanaan bisa melalui jalur yang berliku-liku atau banyak jalur. Bahkan dalam beberapa kasus, sulit ditentukan asal kejadiannya. Di sisi lain, pemahaman para ilmuwan terhadap syariah Islam, ushul fiqih dan metodologi penentuan halal haramnya suatu bahan pangan dari sisi syariah, relatif minimal. Dengan demikian seharusnya para ulama mencoba memahami kompleksnya produk pangan, obat, kosmetik dan lain-lain. Sedangkan ilmuwan muslim, sudah seharusnya menggali kembali pengetahuan syariahnya, di samping membantu ulama memahami kompleksitas masalah yang ada.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW dalam kitab Arba’in Nawawi
Artinya:”Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. Dan kesayangannya dia berkata : Saya menghafal dari Rasulullah SAW. (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (Riwayat Turmuzi dan dia berkata: Haditsnya hasan shoheh)
Oleh karena itu, bila umat menghadapi satu hal yang membingungkan, ragu antara halal dan haram maka sebaiknya hal itu ditinggalkan. Hal itu termasuk dalam kategori syubhat.
Dengan cara ini pula, kita akan terhindar dari fitnah telah melakukan hal yang buruk. Kehormatan kita sebagai seorang Mukmin akan tetap terjaga. Inilah yang disebut sikap wara' (hati-hati) dalam beragama
D. Faktor Positif Menghindari Syubhat
Sebagaimana penggalan hadits diatas yaitu”......Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya....” maka, sangatlah jelas bahwa siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat akan merugi atau sama dengan hal nya terjerumus keperkara yang diharamkan oleh Allah SWT. Begitu juga sebaliknya, apabila terhindar dari perkara syubhat maka juga akan terhindar dari hal-hal yang diharamkan
Dari penggalan hadits tersebut dapat ditarik sebuah faktor positif dalam menghindari perkara syubhat, yaitu:
• Termasuk sikap wara’ adalah meninggalkan syubhat .
• Menjauhkan perbuatan dosa kecil, karena hal tersebut dapat menyeret seseorang kepada perbuatan dosa besar.
• Memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik.
• Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
• Pertanda ketakwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.
• Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana dan cara ke arah sana (hal yang haram).
• Hati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk. Dll
Dengan menjauhi syubhat berarti kita telah membersihkan agama dan kehormatan kita dari noda-noda yang mungkin saja tanpa kita sadari menepel pada agama dan kehormatan kita. Dengan cara seperti ini, tidak akan ada tuduhan bahwa Islam membingungkan, karena sebenarnya Islam sudah sangat jelas. Hanya saja seringkali, karena pengetahuan yang terbatas banyak orang yang bingung menentukan sikap. Dengan cara ini pula, kita akan terhindar dari fitnah telah melakukan hal yang buruk. Kehormatan kita sebagai seorang Mukmin akan tetap terjaga. Inilah yang disebut sikap wara' (hati-hati) dalam beragama.
E. Akibat Terjerumus Dalam Perkara Syubhat
Bagaimanapun, perkara-perkara syubhat yang tidak jelas apakah itu halal atau haram, karena banyak orang yang tidak mengetahui hukumnya, sebagaimana dikatakan oleh Nabi SAW. kadang-kadang kelihatan jelas oleh sebagian orang bahwa ia halal atau haram sebab dia memiliki ilmu yang lebih. Sedangkan sabda Nabi saw menunjukkan bahwa ada perkara-perkara syubhat yang diketahui hukumnya oleh sebagian manusia, tetapi banyak orang yang tidak mengetahuinya.
Untuk kategori orang yang tidak mengetahuinya, terbagi menjadi dua: Pertama, orang yang mendiamkan masalah ini dan tidak mengambil tindakan apa-apa karena ini adalah masalah syubhat. Kedua, orang yang berkeyakinan bahwa ada orang lain yang mengetahui hukumnya. Yakni mengetahui apakah masalah ini dihalalkan atau diharamkan.
Dan orang yang melakukan perkara syubhat padahal dia mengetahui bahwa perkara itu masih syubhat, maka orang seperti ini adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw bahwa dia termasuk orang yang terjerumus dalam sesuatu yang haram. Pernyataan ini dapat ditafsirkan ke dalam dua hal:
-Pertama, syubhat yang dilakukan tersebut --dengan keyakinan bahwa apa yang dilakukan adalah syubhat-- merupakan penyebab baginya untuk melakukan sesuatu yang haram --yang diyakini bahwa perkara itu adalah haram. Dalam riwayat as-Shahihain untuk hadits ini disebutkan,
"Barangsiapa yang berani melakukan sesuatu yang masih diragukan bahwa sesuatu itu berdosa, maka dia tidak diragukan lagi telah terjerumus dalam sesuatu yang jelas berdosa." Diriwayatkan oleh Bukhari saja
-Kedua, sesungguhnya orang yang memberanikan diri untuk melakukan sesuatu yang masih syubhat baginya, dan dia tidakmengetahui apakah perkara itu halal ataukah haram; maka tidak dijamin bahwa dia telah aman dari sesuatu yang haram. Dan oleh karena itu dia dianggap telah melakukan sesuatu yang haram walaupun dia tidak mengetahui bahwa hal itu haram.
Tirmidzi dan Ibn Majah meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Yazid, dari Nabi saw bersabda:
"Seorang hamba tidak akan dapat mencapai tingkat orang-orang yang bertaqwa sampai dia meninggalkan sesuatu yang tidak apa-apa baginya karena khawatir akan apa-apa baginya." (Diriwayatkan oleh Tirmidzi (2451); Ibn Majah(4215). Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan gharib, padahal dalam rangkaian sanad hadits ini ada Abdullah bin Yazid al-Dimasyqi yang dianggap dha'if)
Dari beberapa penjelasan diatas, bahwa setiap orang yang terjerumus kedalam perkara syubhat maka:
• Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
• Dia termasuk orang yang terjerumus dalam sesuatu perkara yang haram.
• Tidak akan sempurna keimanan dan ketaqwaannya.
• Dia tidak menjaga kehormatan diri dan agamanya.
• Berkurangnya kebaikan perbuatan dan kebaikan hati.
Itulah seharusnya tindakan yang harus dilakukan oleh setiap orang sesuai dengan tingkatan keilmuannya. Ada orang yang tidak keberatan sama sekali untuk melakukan syubhat, karena dia telah tenggelam di dalam hal-hal yang haram, bahkan dalam dosa-dosa besar. Di samping itu, hal-hal yang syubhat harus tetap dalam posisi syar'inya dan tidak ditingkatkan kepada kategori haram yang jelas dan pasti. Karena sesungguhnya di antara perkara yang sangat berbahaya ialah meleburkan batas-batas antara berbagai tingkatan hukum agama, yang telah diletakkan oleh Pembuat Syariah agama ini, di samping perbedaan hasil dan pengaruh yang akan ditimbulkannya.
2.8 Tertib Ayat-ayat dan Surat Al-Qur'an
Tertib susunan ayat Al-Qur’an menurut jumhur adalah taufiqi (ketentuan dari Allah) bukan ijtihadi,Rasulullah atau para penyusun Mushaf Al-Qur’an.
As-Suyuthi berkata : “Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau mengatakan kepada mereka : “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini,” atau “Letakkanlah ayat ini ditempat anu.”.
Mengenai tertib susunan surah, beberapa sahabat nabi ada yang mempunyai mushaf pribadi yang berbeda tertib susunan surahnya dengan tertib surah pada mushaf Utsmani. Mushaf Ali disusun berdasarkan urutan nuzulnya, Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dari surah Al-Baqarah tanpa surah Al-Falaq dan An-Naas. Mushaf Ubay Bin Ka’ab dimulai Al-Fatihah, An-Nisa’ kemudian Ali-‘Imran, namun demikian Mushaf pribadi sebagian sahabat tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Tertib susunan surah yang disepakati dan umat sudah Ijma’ (sepakat) adalah tertib susunan surah mushaf Utsman yang dikerjakan secara resmi oleh panitia khusus yang terdiri dari beberapa sahabat nabi pilihan. Tentang tertib susunan surah Al-Qur’an, jumhur ulama mengatakan bahwa tertib susunannya adalah taufiqi.
Al-Kirmani dalam kitab Al-Burhan mengatakan : “Tertib surah seperti yang kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauhful Mahfud, Al-Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan dihadapan Malaikat Jibril setiap tahun di bulan Ramadhan apa yang telah dikumpulkannya dari Jibril itu. Pada tahun ke wafatannya Nabi membacakannya dihadapan Jibril dua kali.
As-Suyuthi mengatakan tertib susunan surah Al-Qur’an itu taufiqi kecuali surah Al-Anfal dan At-Taubah, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas : “Aku bertanya kepada Utsman : ‘Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk katagori masani dan Bara’ah (At-Taubah) yang termasuk mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmaanirrahim, dan kamu pun meletakaannya pada as-sab’uth thiwaal (tujuh surat panjang) ?’. Utsman menjawab : ‘Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa penulis wahyu dan mengatakan :
‘Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya terdapat ayat anu dan anu.’ Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di Madinah sedang surah Bara’ah (At-Taubah) termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surah Anfal serupa dengan kisah dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah Bara’ah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah, beliau tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah merupakan bagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmaanirrahim serta aku meletakan pula pada as-sab’ut tiwal.
2.9 Surah-surah dan Ayat-ayat Al-Quran
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama الجزٔ (Juz). Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni Manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
Dari segi panjang-pendeknya surat, 114 surat dalam 30 juz tersebut dibagi dalam 4 (empat) bagian, yaitu:
a. Ath-Thiwaal (as-sab’uth thiwaal) : adalah tujuh surat awal yang panjang-panjang
yaitu :
1. Al-Baqarah [2]
2. Ali ‘Imran [3]
3. An-Nisaa’ [4]
4. Al-Maa'idah [5]
5. Al-An’am [6]
6. Al-A’raaf [7]
7. Al-Anfal [8] dan At-Taubah [9] sekaligus. Sebagian ada yang mengatakan yang ke-tujuh
surah Yunus.
Surat-surat yang panjang, terbagi atas sub-sub bagian lagi yang disebut Ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
b. Al-Mi’un : yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
Contoh: Surat Huud [11], Yusuf [12], An-Nahl [16], Al-Mu'min [40], dll.
c. Al-Masani : yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah Al-Mi’un. Dinamakan Masani, karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari Ath-Thiwaal dan Al-Mi’un.
Contoh: Al-Hijr [15], Maryam [19], An-Naml [27], dll.
d. Al-Mufassal : yaitu surah yang dimulai dari surah Qaaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Al-Hujuraat. Dinamai Mufassal karena banyaknya pemisahan fasl (pemisahan) diantara surah-surah tersebut dengan basmallah. Mufassal dibagi menjadi tiga :
1. Mufassal Thiwaal : dimulai dari surah Qaaf [50] atau Al-Hujuraat [49] sampai dengan Ath-Thaariq [86] atau Al-Buruuj [85].
2. Mufassal Ausat : dimulai dari Ath-Thaariq [86] atau Al-Buruuj [85] sampai dengan Adh-Dhuhaa [93] atau Al-Lail [92].
3. Mufassal Qisar : dimulai dari Adh-Dhuhaa [93] atau Al-Lail [92] sampai dengan surah terakhir (An-Naas [114]).
RASM UTSMANI
Yang dimaksud dengan Rasm Utsmani adalah bentuk tulisan (khot) Al-Qur’an hasil kerja beberapa sahabat Nabi pilihan dalam suatu panitia penyalin mushaf Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid Bin Tsabit atas penunjukan Khalifah Utsman. Mengenai penulisan Al-Qur’an dengan rasm Utsmani ini ada beberapa pendapat :
1. Rasm (bentuk tulisan) dalam mushaf Utsmani adalah taufiqi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an. Ini pendapat Ibnul Mubarak dan gurunya Abdul Azis ad-Dabbag.
2. Rasm Utsmani bukan taufiqi, tapi cara penulisan yang diterima dan menjadi Ijma’ umat dan wajib menjadi pegangan seluruh umat dan tidak boleh menyalahinya.
3. Rasm Utsmani hanyalah istilah dan tatacara. Tidak ada dalil agama yang mewajibkan umat mengikuti satu rasm tertentu dan tidak ada salahnya jika menyalahi, bila orang telah mempergunakan rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas diantara mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar Al-Baqalani.
Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Ahmad melarang penulisan Al-Qur’an yang menyalahi rasm Utsmani.
I’JAM (PENAMBAHAN TANDA TITIK, DLL) RASM UTSMANI
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga tidak memerlukan syakal, harokat dan titik. Ketika Islam sudah menyebar keluar jazirah Arab dan bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran dengan bahasa non Arab, maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik, harokat dan lain lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal ini adalah Abul Aswad Ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab atas petunjuk Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Perbaikan rasm Utsmani berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik : fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf dan itulah yang dilakukan oleh Al-Khalil. Perubahan itu adalah :
a. fathah dengan tanda sempang diatas huruf
b. dammah dengan wawu kecil diatas huruf, dan
c. tanwin dengan tambahan tanda serupa (double).
d. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah.
e. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf.
f. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi tanda iqlab berwarna merah, sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa apa ketika idgham dan ikhfa’.
g. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di-idgham-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf sesudahnya diberi tanda syaddah; kecuali huruf ta sebelum ta, maka sukun tetap dituliskan.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud : “Bersihkan Al-Qur’an dan jangan dicampur-adukan dengan apapun”. Al-Halimi mengatakan : “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan, nama-nama surah dan bilangan ayat dalam mushaf”, sedangkan pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an. Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga dibolehkan untuk mempermudah pembacaan.
Kemudian akhirnya itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran.
o Al-Hasan dan Ibnu Sirin keduanya mengatakan : “Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf”.
o Rabiah Bin Abi Abdurrahman mengatakan : “Tidak mengapa memberi syakal pada mushaf”.
o An-Nawawi mengatakan : “Pemberian titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf dari kesalahan dan penyimpangan (pembacaan)”.
Penyempurnaan itu terus berlanjut hingga kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (Al-Khattul Araby).
AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
Nash-nash sunnah cukup banyak yang mengemukakan hadits mengenai turunnya Al-Qur’an dengantujuh huruf, diantaranya :
Dari Ibnu Abbas : “Rasulullah berkata : ‘Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah dan ia pun menambahnya kepadaku sampai tujuh huruf’”.
Dari Ubay Bin Ka’ab : “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Gafar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf’. Beliau menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirallah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu’. Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf’. Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya’. Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf’.
Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya’. Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka benar’.”
Hadits-hadits berkenaan qira'at Al-Qur’an dengan tujuh huruf sangat banyak. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadits mengenai Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG PENGERTIAN TUJUH HURUF
1. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna yang sama, yaitu bahasa suku Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Sebagian memasukkan Asad, Rabi’ah, Sa’d. Pendapat ini maksudnya satu kata boleh dibaca berbeda menurut dialek masing-masing kabilah diatas selama maknanya masih tetap sama.
2. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Qur’an diturunkan, yaitu : Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Bedanya dengan yang pendapat pertama adalah bahasa Al-Qur’an mencakup tujuh bahasa diatas yang paling fasih dan berterbaran di seluruh Al-Qur’an
3. Tujuh wajah, yaitu : amr (perintah), hanyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita) dan amsal (perumpamaan)
4. Tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu ikhtilaf dalam : asma’ (kata benda), i’rab (harakat akhir kata), tasrif, taqdim (mendahulukan), ibdal (penggantian), penambahan-pengurangan dan lahjah (tebal-tipis, imalah-tidak imalah, idhar dan idgham).
5. Qiraat Tujuh.
Pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti oleh jumhur ulama.
HIKMAH AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
1. Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilah mempunyai dialek masing-masing.2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab yang mana seluruh orang Arab pada khususnya ditantang untuk membuat satu surah saja yang seperti Al-Qur’an, ternyata seluruh orang Arab tidak mampu membuatnya.
3. Perbedaan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberi peluang penyimpulan hukum yang berbeda. Para fukaha dalam menyimpulkan hukum dan ijtihad ber-hujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Al Qur’an yang telah ditulis ulang dan disusun serta disebarkan pada masa khalifah Usman bin Affan sebagai pemersatu umat dan solusi atas konflik yang terjadi di dalam pasukan Islam pada saat itu, akhirnya disebarkan secara luas pada masa generasi selanjutnya. Namun karena terkendala alat yang hanya menggunakan tenaga manusia untuk menulis pada saat itu, menyebabkan tidak efisiensinya waktu dan menjadi kendala tersendiri untuk menyebarkan Al Qur’an. Akan tetapi, ketika revolusi industri di Inggris pecah dan alat-alat cetak baru ditemukan, maka semakin mudah dan cepat untuk mendistribusikan Al Qur’an ke seluruh dunia. Apalagi setelah diterbitkannya Al Qur’an pada masa Raja Fuad di Mesir sebagai salah satu standar pentashihan Al Qur’an masa modern, menjadikan umat Islam di seluruh belahan dunia mudah mengakses dan membaca kitab sucinya. Hal ini didukung dengan penterjemahan Al Qur’an ke dalam berbagai bahasa, sehingga tidak ada lagi kendala di dalam memahami Al Qur’an.
Syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya. Oleh karena itu, bila umat menghadapi satu hal yang membingungkan (karena ketidakjelasan atau kesamarannya), ragu antara halal dan haram maka sebaiknya hal itu ditinggalkan. Hal itu termasuk dalam kategori syubhat.