BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Al-Quran merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan tuntunan komprehensif guna mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. Ia merupakan kitab otentik dan unik, yang mana redaksi, susunan maupun kandungan maknanya berasal dari wahyu, sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman. Sulit dibayangkan sekiranya umat Islam tidak memiliki al-Qur’an. Padahal ia adalah umat terakhir, umat yang diutus Allah sebagai saksi atas perbuatan semua manusia, dan umat terbaik yang rasulnya menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Atau sulit dibayangkan sekiranya al-Qur’an yang ada di tangan umat ini bukan berasal dari ‘Tangan’ Zat yang maha mengetahui segala sesuatu yang gaib dan yang zahir.
Fenomena al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw ternyata bagaikan magnet yang selalu menarik minat manusia untuk mengkaji dan meneliti kandungan makna dan kebenarannya. Al-Qur’an yang diturunkan atas tujuh huruf (sab’at ahruf) menjadi polemik pengertiannya di kalangan ulama, polemik ini bermuara pada pengertian sab’ah dan ahruf itu sendiri, dan korelasinya dengan cakupan mushaf Usman. Apabila orang arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan perbedaan tertentu, maka Qur'an yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad , menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan wajah qiraah pilihan diantara lahjah-lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa 4 kategori surat al-Quran?2. Rasm Utsmani apakah tauqifi atau taufiqi?
3. Bagaimana Penyempurnaan Rasm Utsmani?
4. Apa Maksud al-Quran turun dengan 7 Huruf?
5. Apa Hikmah diturunkan al-Quran dengan 7 huruf?
6. Apa Perbedaannya dengan Qiraah sab’ah?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui 4 kategori surat al-Quran2. Mengetahui Rasm Utsmani apakah tauqifi atau taufiqi
3. Mengetahui Penyempurnaan Rasm Utsmani
4. Mengetahui Maksud al-Quran turun dengan 7 Huruf
5. Mengetahui Hikmah diturunkan al-Quran dengan 7 huruf
6. Mengetahui Perbedaannya dengan Qiraah sab’ah
BAB II
ISI
SURAT-SURAT DAN AYAT-AYAT DALAM AL-QURAN
2.1 4 KATEGORI SURAT AL-QURAN
Surat-surat Al-Qur’an itu ada empat bagian:1) Ath-Thiwal
2) Al-Mi’un,
3) Al-Matsani,
4) Al-Mufashal.
Berikut ini kita kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
1) At-Thiwal ada tujuh surat, surat yang panjang dan memang panjang dari yang lain. Ada tujuh surat yaitu: Al-Baqarah, Ali Imran, An Nisa, Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf, dan Asy-syura.
2) Al-Mi’un yaitu; surat-surat yang terdiri dari seratus ayat atau lebih, atau mendekati seratus ayat, seperti surat Hud 123 ayat, Yunus 109 ayat dan Yusuf 111 ayat.
3) Al-Matsani, yaitu surat-surat yang jumlah ayatnya di bawah al-mi’un. Dinamakan al-matsani, karena surat-surat itu di ulang-ulang bacanya lebih banyak dari ath-thiwal dan al-mi’un seperti surat Luqman, As-Sajadah dan Al-Fath.
4) Al-Mufasahahal, yaitu surat-surat yang pendek dalam Al-Qur’an. Surat pendek itu disebut Al muufashal karena banyaknya pemisah diantara surat-surat itu dengan basmallah dikatakan bahwa surat-surat ini dimulai dari surat Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surat Al-Hujarat, sampai akhir Al-Qur’an. Mufashalah dibagi menjadi tiga; Thiwal, ausath, dan qishar.
§ Thiwal, yaitu Mufashal yang panjang-panjang, dimulai dari surat Al-Hiyurat sampai Al-Buruj.
§ Ausath, yaitu Mufashal yang sedang, dimulai dari surat Al-Tariq sampai Al-Bayyinah.
§ Qishar, yaitu Mufashal yang pendek-pendek dimulai dari Az-zalzalah sanpai An-Nas.
2.2 RASM UTSMANI TAUQIFI ATAU TAUFIQI
Kedudukan rasm Ustman dipersilisihkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi) atau taufiqi .
Kelompok pertama (jumhur ulama) mengatakan bahwa pola rasm Usmani bersifat taufiqi, dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat, Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Setelah masa nabi berlalu, al-Qur’an msh tertulis sperti itu, tak mengalami perubahan dan penggantian.
Dengan demikian, menurut pendapat ini rasm Utsmani mendapatkan hal-hal yang masing-masing pantas untuk dihargai dan wajib diikuti. Hal-hal itu merupakan pengakuan Rasulullah SAW terhadapnya, perintah beliau dengan menggunakan undang-undang, kesepakatan sahabat yang jumlahnya lebih dari dua belas ribu orang dan kesepakatan umat pada masa tabi’in dan para imam mujtahid.
Sebagian mereka berpendapat bahwa rasm utsmani adalah tauqifi, dan diajarkan oleh rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah membacakan ayat al-Quran di hadapan Zaid bin Tsabit untuk ditulis (imla'), seperti penulisan واخشوني dengan menggunakan ya' pada surat Al-Baqarah dan tanpa ya' dalam surat Al-Maidah. Contoh-contoh lain banyak di dalam al-Quran, yang semuanya disaksikan sekelompok besar sahabat. Semua dasar itu membuktikan rasm al-Qur'an adalah tauqifi bukan hasil hasil ijtihad para sahabat. Alasan lain adalah sudah ditulisnya al-Qur'an sejak zaman Rasulullah SAW, meski tidak terkumpul dalam satu tempat dan urutan surat yang belum ditertibkan.
2.3 PENYEMPURNAAN RASM UTSMANI
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkanpada watak pembawaan orang-orang arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harkat dan pemberian titik. Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non arab), maka para penguasa merasa pentingnnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik dan lain-lain yangdapat membantu pembacaan yang benar. Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan untuk hal itu.banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abul Aswad ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin Abi Thalib.
Perbaikan rasm mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik: fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuuan harkat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah adalah dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah berupa tanda sempang dibawah huruf, dammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tamabahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf.
Pada “nun” dan “tanwin” sebelum huruf “ba” diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgham dan ikhfa. Setiap huruf yang dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di idghamkan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah, kecuali huruf “tha” sebelum “ta” makan suku tetap dituliskan.
Kemudian pada abad ketiga hijriah terjadi perbaikan dan penyempurnaan rasm mushaf. Dan orangpun berlomb-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf yang disyaddah sebuah tanda seperti busur. Sedang untuk alif wasal diberi lekuk diatasnya, dibawahnya atau ditengahnya sesuai dengan harkat sebelumnya : fathah, kasrah, atau dammah.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penembahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan ibnu mas’ud: “Bersihkanlah Al-Qur’an dan jangan dicampuradukan dengan apapun. Kemudian akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Diriwayatkan oleh ibnu abu Daud dari al-Hasan dan ibnu sirin bahwa keduanya mengatakan :
“Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf”. Dan diriwayatkan pula oleh Rabi’ah bin Abi Abdurrahman mengatakan : “Tidak mengapa memberi syakal pada mushaf “. An-Nawawi mengatakan: “pemberian titik dan penyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat m)enjaga mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.
Perhatian untuk menyempurnakan rasm mushaf kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan arab (al-khattul ‘arabiy)
2.4 MAKSUD AL-QURAN TURUN DENGAN 7 HURUF
Ada banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, di antaranyaadalah lafadz hadits berikut ini:
Dari Ibn Abbas berkata bahwaRasulullah SAW bersabda, "Jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf."
Dari Umar bin Khatab ia berkata, "Aku mendengar Hisyam bin Hakim membacakan surah al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat dia shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam, aku tarik selendangnya dan bertanya,
"Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surah itu kepadamu? Dia menjawab: ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku.’ Lalu aku katakan kepadanya: ‘Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surah yang kau dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).’ Kemudian aku bawa dia ke hadapan Rasulullah, dan aku menceritakan kepadanya bahwa ‘ Aku telah mendengar orang ini membaca surah al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surah al-Furqan kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata: ‘ Lepaskan dia, wahai Umar. Bacalah surah tadi, wahai Hisyam, Hisyam pun membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah SAW: ‘Begitulah surah itu diturunkan.’ Ia berkata lagi:
‘Bacalah wahai Umar, lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah; begitulah surah itu diturunkan.’ Dan katanya lagi: ‘Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu, di antaranya.’
Masih banyak hadits-hadits yang terkait dengan tema yang sama. Hadis-hadis yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir di dalam pengantar tafsirnya.
Semuanya bisa diterima dan saling menguatkan.
As-Suyuti menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Bahkan Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam telah menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Qur’an dengan tujuh huruf.
Namun para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan istilah tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan: ‘Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat."
Namun kebanyakan pendapat itu bertumpang tindih. Di sini kami akan kemukakan beberapa pendapat di antaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.
1. Pendapat Pertama
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafal sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja.
Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Menurut Ibnu Hatim as-Sijistani, Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Haazin, dan Sa’d bin Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat lain."
2. Pendapat Kedua
Suatu hukum berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan nama Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi. Yaitu bahasa paling fasih di antara kalangan bangsa arab.
Meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Qur’an mencakup ketujuh macam bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Qur’an. Bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Menurut Abu ‘Ubaid bahwayang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Huzail, Hawazin, Yaman dan lain-lain. Dan sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Qur’an."
3. Pendapat Ketiga
Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajh, yaitu:
amr (perintah)
nahyu (larangan)
wa’d (janji)
wa’id (ancaman)
jadal (perdebatan)
qashash (cerita)
matsal (perumpamaan).
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi berkata, "Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dengan tujuh huruf, yaitu: zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal."
4. Pendapat Keempat
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah: tujuh macam hal yang di antaranya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu:
a. Ikhtilaful asma’(perbedaan kata benda):
Yaitu dalam bentuk mufrad (tunggal), muzakkar (laki)dan cabang-cabangnya, seperti tasniyah, (double), jamak (plural)dan ta’nis (perempuan). Misalnya firman Allah
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (al-Mukminun:8)
Pada kata li amanatihin, bisa dibaca pendek pada huruf nun(li amanatihim) dengan makna tunggal, yaitu satu amanah saja. Namun bisa juga dibaca dengan panjang menjadi li amanaatihimdengan bentuk mufrad dan dibaca pula dengan bentuk jamak.
Sedangkan rasamnya (penulisannya) dalam bentuk mushaf adalah
: لأمَانَتِهِمْ
Yang memungkinkan kedua qiraat itu dibaca, baik pendek atau pun panjang, karena tidak adanya alif yang disukun.
Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam qiraat itu adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istighraq (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya.
Sedang bacaan dengan bentuk mufrad, dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak. Yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya.
b. Ikhtilaf fil i’rab atau Perbedaan dalam segi I’rab,
Seperti firman Allah:
Ini bukan manusia (QS. Yusuf:31)
Jumhur ulama Qiraaat membacanya dengan nasab (accusative) menjadi maa hadzaa basyara, dengan alasan bahwa kata (ما) berfungsi seperti kata (ليس) dan ini adalah bahasa penduduk hijaz yang dalam bahasa inilah Qur’an diturunkan
Sedang Ibn Mas’ud membacanya dengan rafa’ (nominatif) (ماهذا بشرُ) menjadi maa hadza basyarun, sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak memfungsikan (ما) seperti (ليس).
c. Perbedaan Dalam Tasrif
Contohnya seperti di dalam firman Allah SWT berikut ini:
Ya tuhan kami, jauhkanlah perjalanan kami (QS. Saba': 19),
Lafadz rabbana oleh sebagian ulama dibaca dengan menasabkan ربُّنا karena menjadi munada’ mudhaf dan باعِد dibaca dengan bentuk perintah (fi’il amar).
Namun lafaz rabbana dibaca pula dengan tasrif yang berbeda menjadi rabbuna yang statusnya rafa’. Kedudukannya bukansebagai munada tetapi sebagai mubtada’. Dan kata ba’id berubah menjadi baa’ada. Dengan perbedaan pengucapan ini, maka artinya berubah menjadi, "Tuhan kami menjauhkan kami dalam perjalanan."
5. Pendapat Kelima
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah (maksudnya bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab.
Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.
Sebab lafaz sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti kata tujuh puluh’ dalam bilangan bilangan puluhan, dan ‘tujuh ratus’ dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu.
6. Pendapat Keenam
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.
2.5 HIKMAH DITURUNKANNYA AL-QURAN DENGAN 7 HURUF
Hikmah turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf bisa disimpulkan dalam beberapa perkara:
1. Memberikan kemudahan dalam membaca dan menghafal bagi kaum yang masih umi (tidak bisa membaca dan menulis), yang masing-masing Kabilah (suku) dari mereka memiliki bahasa (dialek) tersendiri, dan mereka tidak terbiasa untuk menghafal syar’iat, terlebih lagi untuk menjadikan hal itu sebagai kebiasaannya. Hikmah ini ditunjukkan dengan jelas dalam beberapa hadits dengan bermacam-macam redaksi.
2. Kemukjizatan al-Qur’an terhadap fitrah bahasa bagi bangsa Arab, karena bermacam-macamnya sisi susunan bunyi al-Qur’an menjadikannya sebagai keberagaman yang mampu mengimbangi beragamnya cabang-cabang bahasa (dialek) yang di atasnya fitrah bahasa di kalangan Arab berada. Sehingga setiap orang Arab mampu untuk mengucapkannya dengan huruf-huruf dan kalimatnya sesuai dengan masing-masing lahjah (logat) alami dan dialek kaumnya, namun dengan tetap terjaganya kemukjizatan al-Qur’an yang dengannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menantang orang-orang Arab (untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an). Dan dengan keputusasaan mereka untuk melawan al-Qur’an maka hal itu tidak hanya menjadikannya menjadi mukjizat bagi satu bahasa saja, namun ia menjadi mukjizat bagi fitrah bahasa itu sendiri di kalangan bangsa Arab.
3. Menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an dalam makna dan hukum-hukumnya, karena perubahan bentuk suara dalam sebagian huruf dan kalimatnya menjadikan al-Qur’an siap untuk diambil (disimpulkan) hukum-hukumnya, yang menjadikan al-Qur’an cocok untuk semua zaman. Oleh sebab itu para ulama ahli fikih berdalil dengan Qira’at Sab’ah (tujuh model bacaan) dalam ber-istinbath (menyimpulkan hukum dari dalil) dan ijtihad mereka.”
4. Di dalamnya juga menunjukkan keistimewaan al-Qur’an dibandingkan dengan kitab-kitab samawi yang lain, karena kitab-kitab tersebut diturunkan sekaligus dengan satu huruf sedangkan al-Qur’an dengan tujuh huruf.
5. Di dalam turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf ada kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada ummat ini, dan penjelasan tentang luasnya rahmat Allah terhadap mereka, yaitu dengan memudahkan bagi mereka untuk mempelajari kitab-Nya dengan kemudahan yang semaksimal mungkin.
6. Di dalamnya adalah permulaan untuk menyatukan bahasa-bahasa (dialek) Arab menjadi satu bahasa terpilih yang paling fasih. Dan itu adalah permulaan dalam proses tahapan-tahapan penyatuan umat Islam di atas satu bahasa yang menyatukan mereka.
7. Bentuk perhatian terhadap kondisi kehidupan suku-suku di jazirah Arab yang berdiri di atas fanatisme penuh terhadap segala sesuatu yang ada kaitannya dengan suku, seperti nasab (garis keturunan), tempat tinggal, maslahat dan bahasa yang susah untuk berubah (berpindah) darinya dalam waktu yang singkat.
2.6 PERBEDAANNYA DENGAN QIRAAH SABAAH
Sabda Raulullah saw.: “Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf.”
Hadits ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat lebih dari dua puluh shahabat sehingga hampir mencapai derajat mutawattir. Paraulama berselisih pendapat tentang pengertian “tujuh Huruf” tersebut. Perselisihan tersebut hingga mencapai sekitar dua puluh pendapat, diantaranya:
Ia termasuk yang musykil yang tidak dapat diketahui maknanya, karena lafadz “huruf” menurut bahasa bisa berarti huruf hija‘, kata, makna dan segi.
Yang dimaksud bukanlah tujuh yang sebenarnya, tetapi maksudnya ialah memudahkan dan melapangkan.
Maksudnya ialah tujuh bacaan (qira’ah).
Maksudnya ialah tujuh segi dari makna-makna yang bersesuaian dengan lafazh-lafazh yang berlainan. Dari Ubay: “Aku berkata: Sami'(an), ‘Alim(an), ‘Aziz(an), Hakim(an), selama tidak bercampur antara ayat siksa dan ayat rahmat atau ayat rahmat dengan ayat siksa.” (HR.Abu Daud).
Maksudnya ialah kaifiat (cara) mengucapkan dalam tilawah, seperti: idgham, izhhar, tafkhim, tarqiq, imalah, isyba’, mad, qashr, tasydiid, takhfifi, talyin dan tahqiq.
Maksudnya ialah tujuh bahasa (dialek Arab). yaitu dialek-dialek Arab yang paling fasih.
Pada hakikatnya pendapat-pendapat ini tidak memiliki sandaran dan riwayat, bahkan sebagian besar dari kalangan awam memahaminya dengan qira’ah yang tujuh, wallahu a’lam.
1. Pengertian Qira’ah Sab’ah
Qiro’at sab’ah atau qiro’at tujuh adalah macam cara membaca al-qur’an yang berbeda. disebut qiro’at tujuh karena ada tujuh imam qiro’at yang terkenal masyhur yang masing-masing memiliki langgam bacaan tersendiri. tiap imam qiro’at memiliki dua orang murid yang bertindak sebagai perawi. tiap perawi tersebut juga memiliki perbedaan dalam cara membaca qur’an. sehingga ada empat belas cara membaca al-qur’an yang masyhur.
Perbedaan cara membaca itu sama sekali bukan dibuat-buat, baik dibuat oleh imam qiro’at maupun oleh perawinya. cara membaca tersebut merupakan ajaran Rasulullah dan memang seperti itulah al-qur’an diturunkan.
Sedikitnya, ada tujuh macam bacaan yang berkembang di dunia Islam dalam membacakan ayat-ayat Alquran sesuai dengan dialek umat di suatu daerah.
Istilah qiraat yang biasa digunakan adalah cara pengucapan tiap kata dari ayat-ayat Alquran melalui jalur penuturan tertentu. Jalur penuturan itu meskipun berbeda-beda karena mengikuti aliran (mazhab) para imam qiraat, tetapi semuanya mengacu kepada bacaan yang disandarkan oleh Rasulullah SAW.
Dari Umar bin khathab, ia berkata, “aku mendengar Hisyam bin hakim membaca surat al-furqon di masa hidup rasulullah. aku perhatikan bacaannya. tiba-tiba ia membaca dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku urungkan. maka, aku menunggunya sampai salam.
begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, ‘siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?’ ia menjawab, ‘rasulullah yang membacakannya kepadaku. lalu aku katakan kepadanya, ‘kamu dusta! demi Allah, rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. kemudian aku bawa dia menghadap rasulullah, dan aku ceritaan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat al-furqon dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surat al-furqon kepadaku. maka rasulullah berkata,
‘lepaskanlah dia, hai umar. bacalah surat tadi wahai hisyam!’ hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. maka kata rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan.’ ia berkata lagi, ‘bacalah, wahai umar!’ lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan rasulullah kepadaku. maka kata rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.’” [HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Jarir].
2. Perbedaan qiraat ini berkisar pada masalah:
Lajnah (dialek)
Tafkhim (penyahduan bacaan)
Tarqiq (pelembutan)
Imla (pengejaan)
Madd (panjang nada)
Qasr (pendek nada)
Tasydid (penebalan nada)
Takhfif (penipisan nada).
Contoh perbedaan qiraat yang paling sering kita jumpai adalah imaalah. Pada beberapa lafal Alquran, sebagian orang Arab mengucapkan vocal ‘e’ sebagai ganti dari ‘a‘. Misalnya, ucapan ‘wadl-dluhee wallaili idza sajee. Maa wadda’aka rabuka wa maa qolee‘. Kendati masing-masing imam punya beberapa lafal bacaan yang berbeda, dalam mushaf yang kita pakai sehari-hari tidak terdapat tanda perbedaan bacaan itu.
Perbedaan lafal bacaan ini hanya bisa kita temui dalam kitab-kitab tafsir yang klasik. Biasanya, dalam kitab-kitab klasik tersebut, akan ditemukan penjelasan tentang perbedaan para imam dalam membaca masing-masing lafal itu. Menurut berbagai literatur sejarah, perbedaan dalam melafalkan ayat-ayat Alquran ini mulai terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan. Ketika itu, Usmanmengirimkan mushaf ke pelosok negeri yang dikuasai Islam dengan menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf-mushaf tersebut. Qiraat ini berbeda satu dengan lainnya karena mereka mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula. Perbedaan ini berlanjut pada tingkat tabiin di setiap daerah penyebaran.
Demikian seterusnya sampai munculnya imam qurra’. Begitu banyaknya jenis qiraat sehingga seorang imam, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam, tergerak untuk menjadi orang pertama yang mengumpulkan berbagai qiraat dan menyusunnya dalam satu kitab. Menyusul kemudian ulama lainnya menyusun berbagai kitab qiraat dengan masing-masing metode penulisan dan kategorisasinya. Demi kemudahan mengenali qiraat yang banyak itu, pengelompokan dan pembagian jenisnya adalah cara yang sering digunakan. Dari segi jumlah, ada tiga macam qiraat yang terkenal, yaitu qiraat sab’ah, ‘asyrah, dan syadzah. Sedangkan, Ibn al-Jazari membaginya dari segi kaidah hadis dan kekuatan sanadnya. Namun demikian, kedua pembagian ini saling terkait satu dengan lainnya.
Jenis qiraat yang muncul pertama kali adalah qiraat sab’ah. Qiraat ini telah akrab di dunia akademis sejak abad ke-2 H. Namun, pada masa itu, qiraat sab’ah ini belum dikenal secara luas di kalangan umat Islam.
Yang membuat tidak atau belum memasyarakatnya qiraat tersebut adalah karena kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya memasyarakatkan satu jenis qiraat dengan mengabaikan qiraat yang lain, baik yang tidak benar maupun dianggap benar.
Abu Bakar Ahmad atau yang dikenal dengan Ibnu Mujahid menyusun sebuah kitab yang diberi nama Kitab Sab’ah. Oleh banyak pihak, kitab ini menuai kecaman sebab dianggap mengakibatkan kerancuan pemahaman orang banyak terhadap pengertian ‘tujuh kata‘ yang dengannya Alquran diturunkan. Kitab Sab’ah disusun Ibnu Mujahid dengan dengan cara mengumpulkan tujuh jenis qiraat yang mempunyai sanad bersambung kepada sahabat Rasulullah SAW terkemuka, Mereka adalah :
Abdullah bin Katsir al-Dariy dari Makkah
Nafi’ bin Abd al-Rahman ibn Abu Nu’aim dari Madinah
Abdullah al-Yashibiyn atau Abu Amir al-Dimasyqi dari Syam
Zabban ibn al-Ala bin Ammar atau Abu Amr dari Bashrah
Ibnu Ishaq al-Hadrami atau Ya’qub dari Bashrah
Ibnu Habib al-Zayyat atau Hamzah dari Kufah
Ibnu Abi al-Najud al-Asadly atau Ashim dari Kufah.
Ketika itu, Ibnu Mujahid menghimpun qiraat-qiraat mereka. Ia menandakan nama Ya’qubuntuk digantikan posisinya dengan al-Kisai dari Kufah. Pergantian ini memberi kesan bahwa ia menganggap cukup Abu Amr yang mewakili Bashrah. Sehingga, untuk Kufah, ia menetapkan tiga nama, yaitu Hamzah, Ashim, dan al-Kisai. Meskipun di luar tujuh imam di atas masih banyak nama lainnya, kemasyhuran tujuh imam tersebut semakin luas setelah Ibnu Mujahid secara khusus membukukan qiraat-qiraat mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Surat-surat Al-Qur’an itu ada empat bagian:1) Ath-Thiwal
2) Al-Mi’un,
3) Al-Matsani,
4) Al-Mufashal.
2. Rasm al-Qur'an adalah tauqifi bukan hasil hasil ijtihad para sahabat. Alasan lain adalah sudah ditulisnya al-Qur'an sejak zaman Rasulullah SAW, meski tidak terkumpul dalam satu tempat dan urutan surat yang belum ditertibkan
3.2 SARAN
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, Alfa dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
http://mashurimas.blogspot.com/2010/12/makalah-rasmul-quran.html
http://www.scribd.com/doc/53065389/Rasam-Usmani1
Khalil al-Qattan, Manna. 1998, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, PT Pustaka litera antarnusa. Jakarta
http://www.eramuslim.com/alquran/al-quran-diturunkan-dengan-7-huruf.htm
http://alsofwah.or.id/cetakquran.php?id=203
https://salafytobat.wordpress.com/2015/05/19/alquran-hanya-diturunkan-dengan-tujuh7-hurufqiraat-dalil-qiraat-sabah-7/
Suyuthi Imam. 2008. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Surakarta: Indiva Pustaka.
Syekh MannaAl-Qaththan. 2004. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah.
Moh. Ali Ash-Shahuniy. 1998. Studi Ilmu Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
M. Hasbi Asy-Shiddieqy. 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang
http://wahyudi085112080.blogspot.co.id/2011/08/sejarah-penulisan-rasm-al-qur-dan.html