Minggu, 01 Januari 2017

QIRA’AT dan QURRA’ (Pengertian & Pembahasan) berdasarkan Quran & Alhadits

QIRA’AT dan QURRA’ (Pengertian & Pembahasan)

 

BAB I
PENDAHULUAN
 

1.1    LATAR BELAKANG

Bangsa arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadic tersebar disepanjang  jazirah Arabian. Setiap suku itu mempunyai format dialek (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku  lainnya. Disisi lain perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu akhirnya membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-qur’an.
Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri dengan melihat gejala beragam  dialek yang sebenarnya bersifat dialek (natural) artinya fenomena yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu rasulullah SAW, sendiri membenarkan pelafalan Al-qur’an dengan berbagai macam qira’at.
       
    Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu,  di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
          
 Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
          
 Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat  telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global tentang ilmu Qira’at al-Qur’an, dapat dikatakan sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.


1.2    Rumusan Masalah

1.2.1    Pengertian Qira’at dan Qurra’.
1.2.2    Banyaknya Qurra’ dan sebab yang dibatasi oleh 7.
1.2.3    Macam-macam Qira’at, hukum Qira’at dan ketentuannya.
1.2.4    Faedah dan perbedaan dalam Qira’at yang dibenarkan.

1.3    Tujuan

1.3.1    Untuk mengetahui Pengertian Qira’at dan Qurra’.
1.3.2    Untuk mengetahui Banyaknya Qurra’ dan sebab yang dibatasi oleh 7.
1.3.3    Untuk mengetahui Macam-macam Qira’at, hukum Qira’at dan ketentuannya.
1.3.4    Untuk mengetahui Faedah dan perbedaan dalam Qira’at yang dibenarkan.


BAB II

PEMBAHASAN

QIRA’AT dan QURRA’

 

2.1 PENGERTIAN QIRA’AT dan QURRA’

   
2.1.1 Pengertian Qira’at
Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at  menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
         
  Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif, tasydid dan lain-lain.
       
    Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.

Ada pengertian lain tentang qira’at yang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira’at menurut pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
   
        Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengertian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
        
   Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
    
       Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
    
       Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.
Sehubungan dengan penjelasan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu qira’at al-qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudanya. Istila-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1.      القرأت :Suatu istilah, apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam tertentu seperti, qira’at Nafi.

2.      الرواية :Suatu istilah, apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dan imamnya, seperti,riwayat Qalun dan Nafi’.

3.      الطريق:Suatu istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dariperawi lainnya,seperti Thariq Nasyit dan Qalun.

4.      الوجه :Suatu istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Informasi tentang qira’at diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran (sima’) dan naql dari Nabi oleh para sahabat mengenau bacaan ayat-ayat al-qur’an, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudanya hingga sekarang. Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya.
 
  2.1.2 Pengertian Qurra’
Qurra' adalah jama' dari qari', yang artinya orang yang membaca, Secara istilah yaitu seorang ulama atau imam yang terkenal mempunyai madzhab tertentu dalam suatu qira'ah yang mutawatir
(Secara bahasa, mutawatir bermakna banyak, terkenal atau umum)
Qurra' bisa juga di artikan secara mudah sebagai para imam qira'at,

2.2    BANYAKNYA QURRA’ dan SEBAB YANG DI BATASI ATAS 7


2.2.1    Imam-Imam Qira’at (Qurra’)
            Berikut ini adalah para imam qira’at yang terkenal dalam sebutan qira’at Sab’ah :

1.    Nafi’al-Madani
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi, maula Ja’unah bin Syu’ub al-Laitsi. Berasal dari Isfahan. Wafat di Madinah pada tahun 177 H. Ia mempelajari qira’at dari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi; mereka semua menerima qiraat yang mereka ajarkan dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah.

2.    Ibn Kasir al-Makki
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Kasir bin Umar bin Abdullah bin Zada    bin Fairuz bin Hurmuz al-Makki. Lahir di Makkah tahun 45 H. dan wafat juga di     Makkah tahun 120 H.

3.    Abu’Amr al-Basri
Nama lengkapnya Zabban bin ‘Alla’ bin ‘Ammar bin ‘Aryan al-Mazani at-Tamimi al-Bashr. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Beliau adalah imam Bashrah sekaligus ahli qiraat Bashrah. Beliau lahir di Mekkah tahun 70 H, besar di Bashrah, kemudian bersama ayahnya berangkat ke Makkah dan Madinah. Wafat di Kufah pada tahun 154 H.

4.    Abdullah bin ‘Amir al-Syami
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin ‘Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi’ah al-Yahshabi. Nama panggilannya adalah Abu ‘Amr, ia termasuk golongan Tabi’in. Beliau adalah imam qiraat negeri Syam, lahir pada tahun 8 H, wafat pada tahun 118 H di Damsyik.

5.     ‘Ashim al-Kufi
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim bin  Abu al-Nujud. Ada yang mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Abdullah, sedang Abu al-Nujud adalah nama panggilannya. Nama panggilan ‘Ashim sendiri adalah Abu Bakar, ia masih tergolong Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 127 H.

6.    Hamzah al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin ‘Ammarah bin Ismail al-Kufi. Beliau adalah imam qiraat di Kufah setelah Imam ‘Ashim. Lahir pada tahun 80 H., wafat pada tahun 156 H di Halwan, suatu kota di Iraq.

7.    Al-Kisa’i al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman al-Nahwi. Nama panggilannya Abul Hasan dan ia bergelar Kisa’i karena ia mulai melakukan ihram di Kisaa’i. Beliau wafat pada tahun 189 H.

2.2.2    Sebab yang dibatasi atas 7 (Sab’atul Ahruf)
Al Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.Dalam sejarah pemeliharaan Al Qur'an dimasa Sahabat,Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in,m ada beberapa lahjah,pembacaan dan dialek yang berbeda dalam pengucapan kata maupun kalimat dalam membaca Al Qur'an diantara suku  atau qabilah Arab. Diantara lahjah bahasa Arab yang mashur ialah Lahjah lahjah Quraisy, Hudzail, Tamim, Asad, Rabi'ah Hawazin dan Sa'ad.Yang dalam tarikh melahirkan Qira'ah Sab'ah (tujuh) yang termashur itu.

Agar al Qur’an mudah dibaca sebagian kabilah arab yang kenyataannya pada masa itu mereka mempunyai tingkat yang berbeda beda, maka Rosulullah membuat legitimasi bacaaan Al Qur’an dari Allh AWT untuk dialek bahasa yang mereka miliki.
Banyak hadis-hadis nabi yang menerangkan bahwa Allah telah mengizinkan bacaan Al Qur’an dengan tujuh wajah umat Islam mudah membacanya.

Dari Ibnu Abas RA ia berkata: Rasulullah bersabda.

اقرانيجبرل علي حرف فربعته فلم ازل يده ويزيدنيحتي انتهيعلي سبعة احرف (روه البخاري ومسلم)

Artinya: “Jibril telah memberikan Al Qur’an kepadaku dengan satu huruf, lalu aku senantiasa mendesah dan berulang kali meminta agar ditambah, dan ia menambahnya hingga sampai tujuh huruf” (HR. Bukhori Muslim)
Imam Bukhori dan Muslim juga telah meriwayatkan satu hadis bahwa Umar bin Khotob ra berkata yang artinya: “Pada suatu hari di masa hidup Rasulullah SAW, aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca Surah Al Furqon dan aku memperhatikan bacaannya, ternyata ia membaca dengan huruf yang banyak, belum pernah Rosulullah membacakan kepadaku.

 Hampir saja aku menerkamnya yang masih dalam keadaan sholat itu, tetapi aku bersabar hingga ia salam. Kemudian aku pegang leher bajunya seraya bertanya dari mana ia memperoleh bacaan seperti itu. Hisyam menjawab: Bahwa Rasul telah membacakan kepadanya. Engkau bohong. Sebab Rosul telah membacakan kepadaku tidak seperti itu, kataku. Kemudian ku ajak ia menghadap Rosul dan menceritakan kejadian itu. Kemudian Rosul meminta Hisyam mengulangi bacaannya, dan setelah selesai maka Rosul pun bersabda: Demikianlah Al Qur’an diturunkan dan kemudian beliau pun bersabda: Sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf maka bacalah mana yang mudah” (H.R. Bukhari, Muslim dari hadist Miskar bin Rokhimah dan Abdul Rahmah dan Abdul Qori’)

Pengertian saba’atul ahruf menurut beberapa ulama:

1.    Saba’atu ahruf ialah tujuh macam bahasa. Jadi, Al Qur’an itu diturunkan dengan tujuh mcam bahasa, yaitu bahasa Quraisy, Tsaqh, Kinnah, Yaman, Hadzail, Khurasan, dan Tamim.

2.    Sab’atu ahruf yaitu: halal, haram, muhkam, mutasyabih, amtsal, ikhbar, dan lasyak.

3.    Sab’atu ahruf ialah tujuh kaidah yaitu; nasikh, mansukh, khos, am, mujmal, mubayyan, dan mufassar.

4.    Sab’atu ahruf yaitu tujuh bentuk kalimat yaitu; amr, thalab, khabar, zajar, nahi, doa, dan istikhbar.

5.    Sab’atu ahruf ialah, janji, mutlak, tafsir, takwil, ancaman, khabar, muqayyad, dan i’rab.

6.    Dikemukakan oleh Abu Fadl dari Razzi bahwa yang dimaksud dengan sab’atu ahruf ialah tujuh macam bentuk perbedaan bacaan yaitu:

a.    Perbedaan pada bentuk isim antara mufrad, tasniyah, al jama’, seperti kalimat لا ما نتهم (dalam bentuk mufrod) dibaca لاماناتهم (dalam bentuk jama’)

b.    Perbedaan pada bentuk fi’il antara madli. Mudlori’. Al amar seperti kalimat ربنابعد )dalam bentuk fi’il madhi) dibaca ربنا اعد(dalam bentuk fi’il amar)

c.    Perbedaan dalam bentuk i’rab antara rafa’, nashab, al jazm. Seperti kalimat: ولا يضا ر (dengan i’rab rafa’ dibaca ولايضار (dengan i’rab nashab)

d.    Perbedaan pada bentuk naqish dan ziyadah, seperti kalimat سارعوا (tanpa wawu) dibaca وسارعوا (dengan wawu)

e.    Perbedaan pada bentuk takdim dan ta’khir seperti kalimat: فيقتلون ويقتلون (dengan mendahulukan فيقتلون) dibaca فيقتلون ويقتلون (dengan mendahulukan فيقتلون

f.    Perbedaandalam bentuk tabdil (penggantian huruf) seperti kalimat ننشرها (dengan ra) ننشزها (dengan za)

g.    Perbedaan dalam bentuk dialek seperti bacaan imalah, taqlil, tashil dll.
Pendapat ke enam inilah yang paling masyhur dalam dunia Qiraat, karena menurut penelitian bahwa perbedaan bacaan Al Qur’an tidak keluar dari tujuh bentuk perbedaan tersebut.

2.3 FAEDAH PERBEDAAN DALAM QIRA’AT YANG DIBENARKAN


2.3.1 Faedah Qira’at

Keberagaman qiraat yang sahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya adalah sebagai berikut:

1.    Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan
2.    Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-quran
3.    Menunjukkan kemukjizatan Al-Quran
4.    Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain
5.    Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an. 2. Menunjukkan betapa
terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.

6.    Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ….

Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.

7.    Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qiraat menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafaz.

8.    Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :

وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
           
Dalam qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat wajah Allah di akhirat nanti.

9.        Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad  SAW atas umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun dengan beberapa qiraat.
2.3.2 Perbedaan Qira’at
Masalah-masalah yang terkait dengan qira’at di atas berhubungan dengan perbedaan-perbedaan qira’at. Jika diteliti, perbedaan-perbedaan itu dapat terjadi karna beberapa sebab yaitu :
1.    Pada tulisan itu sendiri, seperti:

a.    Perbedaan i’rab
b.    Perbedaan harakat baik pada isim maupun fi’il
c.    Perbedaan huruf-huruf pada kata
d.    Perbedaan kata-kata dan bentuk tulisan
e.    Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan
f.    Perbedaan dalam penambahan dan pengurangan.

2.    Perbedaan cara atau aturan membacanya, seperti:

a.    Perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran madd, takhfif, tafkhim, imalah, isymam dan lain-lain

b.    Perbedaan tempat waqaf

Perbedaan qira’at dalam al-Qur’an ini adakalanya berpengaruh pada perbedaan makna yang dikandung dan adakalanya tidak. Bahkan Khalid Abd al-Rahman al-‘Ak lebih tegas menyatakan bahwa perbedaan qira’at ada yang berpengaruh pada tafsir –bukan hanya makna– dan ada yang tidak. Ia menjelaskan bahwa yang tidak berpengaruh pada tafsir yaitu perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran mad, takhfif, imalah, dsb. Sedangkan yang berpengaruh pada tafsir terbagi dua, yaitu:

1.    Perbedaan dalam huruf atau kata, seperti pada : مَالَكَ – مََلَكَ

2.    Perbedaan dalam harakat fi’il, seperti pada يَصَدُّوْنَ – يَصُدَّوْنَ
Misalnya saja kataكُفوٌ ُا yang mempunyai versi qira’at lain seperti - كُفْؤًا – كًفًؤ ketiganya mempunyai makna sama yaitu: setara atau sebanding. Ini berart perbedaan huruf atau kata tidak selamanya berpengaruh pada tafsir.

Ibrahim Al-Abyari mengemukakan bahwa ada tiga hal yang terkait dengan masalah qira’at al-Qur’an, yaitu:

1.    Berhubungan dengan huruf-huruf Arab atau bahasanya.

2.    Berhubungan dengan penulisan mushhaf yang dibiarkan kosong tanpa titik dan tanpa syakal sampai masa Abdul Malik yaitu ketika Hajjaj menyuruh kepada dua orang yaitu Yahya bin Ya’mar dan Hasan Basri untuk memberi titik dan harakat, lalu keduanya melaksanakannya.

3.    Berhubungan dengan penempatan kata di tempat kata yang lain atau mendahulukan kata atas kata yang lain atau menambah atau mengurangi.
Masalah pertama terkait dengan masalah imalah, isymam, tarqiq, tafkhim, dan lain sebagainya. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pelafalan kalimat oleh kabilah-kabilah Arab yang masing-masing tidak bisa mengucapkan seperti yang diucapkan oleh kabilah lainnya. Menurut hemat penulis, perbedaan ini dapat terjadi baik sebelum dibukukannya al-Qur’an dan dibakukannya tanda baca (syakal ) maupaun sesudahnya, karena masalah ini terkait pada kebiasaan yang sulit diubah.

 Masalah kedua terkait pada penentuan i’rab dan standarisasi tulisan (mushhaf) al-Qur’an. Seperti dikatakan oleh Nasaruddin Umar bahwa dalam prosesstandarisasi rasm al-Qur’an ditempuh beberapa tahapan. Pertama, ketika al Qur’an masihberangsur-angsur diturunkan. Setiap ayat yang turun langsung disusun Nabiv melalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui tadarrusan atau bacaan dalam shalat di depan sahabat. Sampai di sini belum ada masalah, tetapi setelah dunia Islam melebar ke wilayah-wilayah non-Arab mulailah muncul masalah, karena tidak semua umat Islam dapat membaca al-Qur’an tanpa tanda huruf dan tanda baca. Pemberian tanda baca (syakl) pertama kali diadakan pada masa pemerintahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680M), terutama ketika Ziyad ibn Samiyyah yang menjabat Gubernur Bashrah, menyaksikan kekeliruan bacaan dalam masyarakat terhadap Q.S. al-Taubah (3). Sebelumnya, menurut hemat penulis, penentuan i’rab banyak ditentukan oleh ijtihad masing-masing pembaca atau menurut riwayat bacaan yang sampai.

Sedangkan masalah ketiga, penulis cenderung mengatakan bahwa peran periwayatan bacaan –secara lisan ke lisan sampai kepada Nabi—mempunyai kontribusi yang sangat besar. Kita tahu bahwa penyampaian al-Qur’an pada masa-masa awal hanya lewat periwayatan sampai al-Qur’an dihimpun dan diverifikasi dari periwayatan-periwayatan yang “tidak memenuhi syarat” Sejauh periwayatan itu shahih dan mutawatir maka, meskipun berbeda dengan mushhaf Utsmani, tetap diakui keabsahannya.

2.4    Macam-Macam Qira’at, Hukum dan Ketentuannya
 

2.4.1    Macam-Macam Qira’at
Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam macam:

1.    Mutawathir, yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dan sejumlah orang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yaitu Rasulullah saw. Dan inilah yang umum dalam hal qira’at.

2.    Masyhur, yaitu qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawathir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan Rasm Utsmani serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at sehingga karenanya tidak dikategorikan qira’at yang salah atau syadz. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk qira’at yang dapat dipakai atau digunakan.

3.    Ahad, yaitu qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur yang disebutkan. Qira’at macam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya. Di antara contohnya adalah yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca “muttaki-iina ‘alaa rafaarifa khudl-riw wa ‘abaaqariya hisaan” (ar-Rahmaan: 76) (hadits Hakim) dan yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa ia membaca “laqad jaa-akum rasuulum min anfusikum” (at-Taubah: 128), dengan membaca fathah huruf fa’. (Hadits Hakim)

4.    Syadz, yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at “malaka yaummad diin” (al-Faatihah: 4) dengan bentuk fi’il madli dan menasabkan “yauma”.

5.    Maudlu’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya

6.    Mudraj, yaitu ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibn ‘Abbas: “laisa ‘alaikum junaahun an tabtaghuu fadl-lam mir rabbikum fii mawaasimil hajji fa idzaa afadltum min ‘arafaatin” (al-Baqarah: 198) (HR Bukhari), kalimat “fii mawaa simil hajji” adalah penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat.
Keempat macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.
Jumhur berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu mutawathir. dan yang tidak mutawathir, seperti masyhur, tidak boleh dibaca dalam maupun di luar shalat.

2.4.2    Hukum dan Ketentuan Qira’at


Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab berkata: “Qira’at yang syadz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan al-Qur’an. Al-Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawathir, sedang qira’at yang syadz tidak mutawathir. orang yang berpendapat selain ini adalah salah atau jahil. Seandainya seseorang menyalahi selain ini dan membaca dengan qira’at yang syadz, maka ia harus diingkari baik bacaan itu di dalam maupun di luar shalat. Para fuqaha Bagdad sepakat bahwa orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at yang syadz harus disuruh bertobat. Ibn ‘Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa al-Qur’an tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syadz dan juga tidak sah shalat di belakang orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at-qira’at syadz itu.”
Menurut sebagian ulama, dabit atau kaidah qira’at yang shahih adalah sebagai berikut:

a.       Qira’at tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi,baik segi itu fasih maupun lebih fasih,sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad,bukan ra’yu (penalaran).

b.      Qira’at sesuai dengan salah satu  mushaf  usmani,meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf  itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at  yang mereka ketahui.

c.       Qira’at itu harus shahih sanadnya sebab qira’at merupakan sunnah  yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalam dabit bagi qira’at yang sahih. Apabila ke tiga syarat ini telah terpenuhi maka, qira’at tersebut adalah qira’at sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah,syaz atau batil.
Berkata Abu ‘Amr ad-Dani, ” para imam qira’at tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf al-qur’an. Menurut aturan yang paling populer dalam dunia     kebasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan adalah aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak menolak dan mengingkarinya. Sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. “Zaid bin tsabit berkata, “ Qira’at adalah ssunnah muttabi’ah  yaitu sunnah yang harus diikuti. Maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraa’at al-qur’an merupakan sunnah atau tradisi yang harus diikuti,tidak boleh menyalahi qira’at-qira’at yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.”


BAB III

PENUTUP


3.1 Kesimpulan


Qira’at merupakan salah satu cara membaca Al-Quran yang selaras dengan kaidah bahasa Arab, serta cocok dengan salah satu dari beberapa mushaf Utsmani. Macam-macam qira’at jika ditinjau dari para qurra’ (seorang imam yang ahli membaca Al-Quran) ada tiga yaitu, qira’at sab’ah (qira’at yang disandarkan pada tujuh ahli qira’at), qira’at asyrah (qira’at yang disandarkan pada sepuluh ahli qira’at), dan qira’at arba’ata asyrata (qira’at yang disandarkan pada 14 ahli qira’at). Jika ditinjau dari para perawinya ada qira’at mutawatiroh, masyhurah, ahad, syadzdzah, maudhu’ah, dan mudraj. Sedangkan jika ditinjau dari segi nama jenis ada qira’at, riwayah, thariq, dan wajah.

Perbedaan qira’at ternyata mengakibatkan perbedaan dalam istinbat hukum. Sebagai contoh dalam surat Al-Maidah ayat 6. Yang menyebabkan perbedaan pendapat apakah dalam berwudhu kedua kaki harus dicuci atau hanya dibasuh saja. Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at  وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.

2.3    Saran-Saran


Bila qira’at merupakan sebuah ilmu berarti telah jelas juga bahwa al-qur’an adalah cahaya yang akan menerangi kita dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu kita lestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok ajaran al-qur’an.
Pada point di atas penyusun mengharapkan pada para pembaca untuk senantiasa meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca dan membaca, karena disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan, membaca juga merupakan terapi  atas keterpurukan yang kita sandang saat ini.

Bagi para pembaca umumnya, jangan merasa malas untuk membaca, apapun itu, karena membaca adalah pengiring pertama menuju ridho-Nya.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.alsofwa.com/17161/macam-macam-qiraat-hukum-dan-kaidah-kaidahnya.html
https://abuthalhah.wordpress.com/2012/02/26/nama-nama-imam-ahli-qiraat-qurra/
http://acerahmatds.blogspot.co.id/2011/06/tentang-sejarah-dan-latar-belakang.html
http://darismah.blogspot.co.id/2012/12/makalah-ilmu-qiraat-alquran.html
https://alquranmulia.wordpress.com/2014/01/15/macam-macam-qiraat-hukum-dan-kaidahnya/
http://didiaananggariani.blogspot.co.id/2013/12/ilmu-qiraat-al-quran.html




Disqus Comments