Senin, 02 Januari 2017

Syarat Seorang Perawi dan Proses Transformasi menurut Quran & Hadits

 

Syarat Seorang Rawi Hadits & proses Transformasi

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    LATAR BELAKANG

Dalam penyampaian sebuah hadits tidak hanya asal diucapkan saja, tetapi harus benar-benar diperhatikan dari isi sampai yang meriwayatkannya. Seorang perawi tidak menjamin sebuah hadits itu berkualitas shahih atau tidaknya. Maka dibutuhkan pengamatan tentang bagaimana kondisi perawi tersebut.
Dalam hadits ada yang menerima dan mendengarkan sebuah periwayatan haadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode. Lebih lanjutnya kita akan bahas dalam makalah ini.

1.2    RUMUSAN MASALAH

1.    Apa saja Syarat-Syarat Seorang Perawi ?
2.    Tahanmul Wa al-Ada



BAB II

PEMBAHASAN


1.    Syarat-Syarat Seorang Perawi


Raawi menurut bahasa berasal dari kata riwaayah yang merupakan   bentuk mashdar dari kata kerja rawaa-yarwii,yang berarti”memindahkan atau meriwayatkan”. Bentuk plural dari kata raawii adalah ruwaat. Jadi raawii adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.
Seorang perawi mempunyai peran yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadist juga tergantung padanya. Mengenai hal-halyang seperti itu, jumhur ahli Hadits, ahli ushul dan fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, yaitu sebagai berikut:

a.    Islam

Pada waktu periwayatan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut Ijma, periwayat seseorang yang kafir tidak dapat diterima. Seandainya seorang fasik pun kita disuruh tawaquf, maka lebih-lebih orang kafir. Allah berfirman:

 “ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. AL-Hujarat (49) :6)

b.    Baligh

Yang dimaksud Baligh adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, walau pun menerimanya sebelum baligh. Rasulullah bersabda:

رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق النإم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)

“Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”.(HR. Abu Daud dan Nasa’i)


c.    Adil

Yang dimaksud adil adalah suatu sifat yang meletak pada jiwa seseorang yang menyebabakan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap bertaqwa, menjaga kepribadian dan percaya kepada diri sendiri.

d.    Dhabit

يتقظ الراوى حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت
التحمل الى وقت الاداء

Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang iya dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahuin kedhabitan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada juga yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat yang disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat Al-Quran.




2. Proses Transmisi  Hadis

A.    Definisi.

Metode transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis (thuruq at-tahammul) dan Penyampaiannya” yaitu: cara-cara menerima hadis mengambilnya dari Syaikh/Guru.  Kata transmisi berarti penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadis bisa diartikan dengan proses peralihan atau perpindahan suatu hadis dari sanad ke sanad sampai ke perawi.

B.    Cara-cara Rasulullah ketika menyampaikan hadisnya:

1. Rasulullah menyampaikan hadis pada dasarnya dengan cara natural saja. Ketika ada masalah, lalu beliau memberikan penyelesaian.
2. Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan subuh.
3. Dalam bentuk tulisan. Banyak riwayat menyatakan bahwa Rasulullah telah berkirim surat kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam.
Berbagai hadis Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal mulanya adalah hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau hal-ihwal Nabi. Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada zaman nabi tidaklah sama dengan pada zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada zaman sahabat nabi tidaklah sama dengan zaman sesudahnya.

C.    Proses transmisi hadis pada masa Nabi sampai pada zaman sesudah generasi sahabat.

1.     Periwayatan hadis pada zaman Nabi
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Mereka (sahabat) secara bergantian menemui nabi. Seandainya Umar tidak datang maka berita dari nabi akan disampaikan oleh sahabat lainnya kepadanya.
Proses transmisi hadis pada masa Nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi karena 2 hal yaitu:

a)     Cara penyampaian hadis oleh Rasulullah secara langsung.
b)     Minat yang besar dari para sahabat.

2.     Periwayatan Hadis Pada Zaman Sahabat Nabi

A.  Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq

Abu bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadis. Ini didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Beliau tidak melihat petunjuk al-Qur`an dan praktek nabi yang memberikan harta warisan kepada nenek. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap perkataan sahabat tersebut. Dia meminta sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian.

Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkannya relative tidak banyak. Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadis di kalangan umat Islam pada masa khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini karena pada saat pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintahan dan Negara.

B. Pada Zaman Umar bin Khattab

Pada masa Umar penyebaran hadis kurang berjalan. Karena pada masa Umar lebih memfokuskan pada membaca dan mendalami al-Qur`an. Akan tetapi lebih banyak dari masa Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar sangat tegas. Beliau sangat berhati-hati. Karena Umar ingin ummat lebih konsentrasi dengan al-Qur`an dan lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis.


C.  Pada Masa Utsman bin Affan

Secara umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah sebelumnya. Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin Khattab. Utsman meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tak pernah didengar pada masa Abu Bakar dan Umar. Penyebaran hadis pada masa Utsman lebih banyak dibanding dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah Islam pada saat itu mulai meluas dan perawipun jumlahnya bertambah dan meluas.
D.  Pada Masa Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya dalam periwayatan hadis. Secara umum Ali bersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayat hadis mengucapkan sumpah,  bahwa hadis itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya dengan periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta untuk bersumpah.
Transmisi hadis pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan tetapi pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi dampak negatif dalam penyebaran hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak- pihak tertentu melakukan pemalsuan hadis. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis dapat dipercaya riwayatnya.

3.     Periwayatan Hadits Pada Zaman Sesudah Generasi Sahabat
Pada zaman sesudah generasi sahabat Nabi, khususnya pada saat hadis Nabi dihimpunkan dalam kitab-kitab hadis, telah dibakukan tata cara penyampaian dan penerimaan riwayat hadis Nabi. Pembakuan periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan upaya ulama dari hadis-hadis palsu.
Pada masa ini konsentrasi kepada hadis sangat meningkat. Yang mereka kaji bukan hanya matan saja, namun juga sanad-nya. Periwayatan hadis Nabi pada zaman ini tidak memperoleh hadis secara langsung dari Nabi, karena mereka memang tidak se zaman dengan Nabi.
Periwayatan hadis pada zaman sesudah sahabat Nabi telah makin meluas, rangkaian periwayat hadis yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan pada zaman sahabat Nabi.

D.    3  Unsur yang harus dipenuhi di dalam periwayatan hadis, yaitu:


1)     At-tahammul (Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis)
2)     al-ada’  (Kegiatan menyampaikan hadis kepada orang lain)
3)     Al-isnad (Penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan  hadis)

3.    Tahammul wal’ada

Para ulama cenderung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain,  Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn    ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh. Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut, dapat di simpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadis menurut jumhur adalah tamyizyaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya.

Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadis yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka mem¬berikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa me¬ringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:

Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadis Muhammad ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”

Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan keledai. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar.
 
 Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadis didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan  jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pende¬ngarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mende¬ngar hadis tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.




BAB III

Penutup

A.    Kesimpulan
 

Seorang perawi mempunyai peran yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadist juga tergantung padanya. Raawi menurut bahasa berasal dari kata riwaayah yang merupakan   bentuk mashdar dari kata kerja rawaa-yarwii,yang berarti”memindahkan atau meriwayatkan”. Bentuk plural dari kata raawii adalah ruwaat. Jadi raawii adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.

Metode transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis (thuruq at-tahammul) dan Penyampaiannya” yaitu: cara-cara menerima hadis mengambilnya dari Syaikh/Guru.  Kata transmisi berarti penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadis bisa diartikan dengan proses peralihan atau perpindahan suatu hadis dari sanad ke sanad sampai ke perawi.

B.     Kritik Dan Saran


Dari pemaparan kami di atas tentunya banyak kekeliruan atau kesalahan dalam penuliasan dan isi,oleh karna itu kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun agar kami bisa belajar skaligus memperbaiki kesalahan kami. Atas kekurangannya kami mohon maaf.

Daftar Pustaka


Ibn, Al Hafidz Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, tt Ismail,
Syahudi, M, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Suparta, Munzier dan Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996
Sohari. Sahrani,. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang : UIN-Malang Press
Uwayd ,Salah Muhammad Muhammad. 1989. Taqrib Al-tadrib . Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah
Abdurrahman, mifdol, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Jakarta, Ulumul Hadist, 2005

Disqus Comments