Sabtu, 24 Desember 2016

Ulumul Quran, Pembahasannya berdasarkan Ayat-Ayat Alquran & Pendapat Ulama



A.    Defenisi Ulumul qur’an

Menurut Ash-Shabuni bahwa yang dimaksud Ulum Alquran  ialah seluruh pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an al-majid yang abadi, baik dari segi penyusunanya, pengumpulannya, sistimatikannya, perbedaan antara surat Makiyah dan Madaniyah, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, pembahasan tentang  ayat-ayat  yang  muhkamat  dan  mutasyabihat,  serta  pembahasan-pembahasan lain yang berhubungan dan ada sangkut pautnya dengan Al-Qur’an’Azim.

Menurut Al-Suyuti dalam kitab Itmamu al-Dimyah: ialah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan
Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna-maknanya baik yang berhubungan dengan lafaz-lafaznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya dan sebagainya. Sedangkan menurut al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-‘Irfan fi Ulum Al-Qur’an menyebutkan bahwa

Ulumul Qur’an ialah pembahasan-pembahasan masalah yang berhungan dengan Al-Qur’an, dari segi terunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mu’jizatnya, nasikh dan mansukhnya, dan bantahan terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan kebingungan terhadap Al-Qur’an dan sebagainya. Sementara itu Manna al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum Al-Qur’an merumuskan bahwa Ulumul Qur’an ialah: ilmu yang membahas tentang Alquran dari segi asbab al-nuzul, pengumpulan Alquran, tartibnya, mengetahui makkiyah dan madaniyah, nasikh mansukh, muhkam mutasyabih dan lain-lain yang berkaitan dengan Alquran.

Baca Juga 

1. Syarat-syarat Menjadi Penafsir Al Quran
2. Resume Kitab Mazhab Maliki & Hambali
3. Tafsir Tajwid & Adab Tilawah Alquran
4. Nasakh & Mansukh dalam Alquran
5. Hadits Shahih & Syaratnya


B.    Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Qur’an.

Mengingat banyaknya ilmu yang berkaitan dengan pembahasan Al-Qur’an, maka dalam ruang lingkup pemabahasan ulumul quran itu jumlahnya sangatlah banyak. Menurut Abu Bakar Al-‘Arabi, ilmu-ilmu Al-Qur’an itu mencapai 77.450. hitungan ini diperoleh dari hasil perkalian jumlah kalimat Al-Qur’an dengan empat, karena masing-masing kalimat mempunyai maknazhahir, batin, had dan mathla.
Menurut M. Hasbi Ash-Shiddieqy, beliau berpendapat bahwa ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an terdiri dari enam hal pokok yaitu :

1.    Persoalan turunnya Al-Qur’an
2.    Persoalan sanad
3.    Persoalan Qira’at
4.    Persoalan kata-kata
5.    Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
6.    Persoalan Makna-makna Al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata Al-Qur’an
7.    Pokok-pokok

C.    Cabang-cabang Ilmu al-Qur’an.
Ilmu-ilmu Al-Qur’an pada dasarnya terbagi kedalam dua kategori.Pertama ilmu Riwayah yaitu ilmu yang dapat di ketahui melalui riwayat seperti bentuk-bentuk qiraat,tempat turunnya Al-Qur’an,Waktu turunnya,dan sebab turunnya.Kedua,ilmu dirayah,yaitu ilmu-ilmu yang di ketahui melalui jalan renungan,berpikir,dan penyelidikan,seperti mengetahui pengertian lafal yang gharib,makna-makna yang menyangkut hokum,dan penafsiran ayat-ayat yang perlu di tafsirkan.
Menurut T.M Hasbi Ash-Shiddiqy,ada tujuh belas ilmu-ilmu Al-Qur’an yang terpokok.

1.    Ilmu Mawathin al-Nuzul
Ilmu ini menerangkan tempat-tempat turun ayat,masanya,awalnya dan akhirnya.

2.    Ilmu Tawarikh al-Nuzul
Ilmu ini menjelaskan masa turun ayat dan urutan turunnya satu persatu dari pemulaaan sampai akhir serta urutan turun surah dengan sempurna.

3.    Ilmu Asbab al-Nuzul
Ilmu ini menjelaskan sebab turun ayat

4.    Ilmu Qiraat
Ilmu ini menerangkan bentuk-bentuk bacaan Al-Qur’an yang telah di terima dari Rasul SAW

5.    Ilmu Tajwid
Ilmu ini menerangkan cara membaca Al-Qur’an dengan baik.

6.    Ilmu Gharib Al-Qur’an
ILmu ini menerangkan makna kata-kata yang ganjil dan tidak terdapat dalam bahasa arab yang biasa atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari.

7.    Ilmu I’rab al-Qur’an
Ilmu ini menerangkan baris kata-kata Al-Qur’an dan kedudukannya dalam susunan kalimat.

8.    Ilmu Wujuh wa al- Nazair
Ilmu ini menerangkan kata-kata Al-Qur’an yang yang mengandung banyak arti dan menerangkan makna yang di maksud pada tempat tertentu.

9.    Ilmu Ma’rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih
ILmu ini menjelaskan ayat-ayat yang di pandang muhkam jelas maknanya dan mutasyabih samar maknanya.

10.    Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
Ilmu ini menerangkan ayat-ayat yang di anggap mansukh {yang di hapuskan} oleh sebagian para mufassir

11.    Ilmu Badai’al-Qur’an
Ilmu ini bertujuan menampilkan keindahan Al-Qur’an,dari sudut kesusteraan, keanehan,dan ketinggian balaghahnya.

12.    Ilmu I’jaz al-Qur’an\
Menerangkan kekuatan susunan dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga dapat membungkem para sastrawan Arab.

13.    Ilmu Tanasub Ayat Al-Qur’an
Ilmu ini menerangkan persesuaian dan keserasian antara suatu ayat dan ayat yang di depan dan yang di belakangnya.

14.    Ilmu Aqsam al-Qur’an
Ilmu ini menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah tuhan yang terdapat dalam Al-Qur’an.

15.    Ilmu Amtsal al-Qur’an
Menerangkan maksud perumpamaaan-perumpamaan yang di kemukakan Al-Qur’an.

16.    Ilmu Jidal al-Qur’an
Membahas bentuk-bentuk dan cara-cara debat dan bantahan al-Qur’an yang di hadapkan kepada kaum musyrik yang tidak bersedia menerima kebenaran dalam Al-Qur’an

D.    Sejarah Perkembangan Al-qur’an Pada Masa Rasululluah.

1.    Penulisan dan penghafalan Al-Qur’an

Pada zaman Rasulullah SAW dan pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ilmu-ilmu Al-Quran belum dibukukan, karena umat islam belum memerlukannya. Sebab umat islam pada waktu itu adalah bangsa Arab asli sehingga mereka mampu memahami Al-Qur’an dengan baik, karena bahasa Al-Qur’an adalah bahasa mereka sendiri dan mereka mengetaahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. Oleh karenanya jarang sekali sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang maksud-maksud ayat.
Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukukan seperti sekarang. Karena disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an mulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan dalam satu mushaf.

 Pengumpulan Al-Qur’an pada masa nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan pada benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi para sahabat yang pandai baca tulis.

Rasulullah telah mengangkat para sahabat-sahabat terkemuka untuk menulis wahyu Al-Qur’an, yaitu: Ali, Muawiyah, Ubai bin K’ab dan Zaid bin Sabit, jika ayat turun ia memerintahkan mereka menulis dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati. Sebagian sahabat menuliskan Al-Qur’an yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa diperintah nabi.

Al-Qur’an turun kepada Nabi yang Ummi (tidak bisa baca-tulis) dan diutus Allah di kalangan orang-orang yang Ummi. Karena itu perhatian Nabi hanyalah menghafal dan menghayati agar beliau dapat menguasai Al-Qur’an yang diturunkan. Rasulullah sangat menyukai wahyu, beliau senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Seperti yang dijanjikan Allah:

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah: 17).
Proses turunnya Al-Qur’an terkadang turun hanya satu ayat dan kadang sampai sepuluh ayat. Setiap kali ayat turun kemudian dihafal didalam dada dan ditempatkan dalam hati. Bangsa arab secara kodratnya memunyai daya hafal yang kuat, karena umumnya mereka buta huruf.

2.          Pengumpulan Al-Qur’an

Ali bin Abi Thalib sebagai pengumpul pertama al Qur`an pada masa Nabi berdasarkan perintah Nabi sendiri. Di kalangan Syi`ah menegaskan Ali bin Abi Thalib sebagai orang pertama yang mengumpulkan al Qur`an setelah wafatnya Nabi. Sumber-sumber Sunni juga mengungkapkan bahwa Ali memiliki kumpulan al Qur`an. Di kalangan ortodok Islam, pengumpula al Qur`an dapat dilakukan secara resmi pada masa pemerintahan Abu Bakar al- Shiddiq. Al Khatthabi berkata, “ Rasulullah tidak mengumpulkan al Qur`an dalam satu mushaf karena senantiasa menunggu ayat yang menghapus terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasulullah maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya “.

Pengumpulan pada masa Nabi cuma bisa dengan cara menghafal. Rasulullah sangat menyukai wahyu ia senantias menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu pada saat wahyu itu turun, Rasul langsung menghaal dan memahaminya.

 Oleh sebab itu, ia adalah Hafidz (penghafal) pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok masalah dan risalah. Setiap kali ayat turun, dihafal dan di temptkan dalam hati, sebab bangsa arab secara kodrati mempunyai hafalan yang kuat.
Pada setiap kali Rasulullah menerima wahyu yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an beliau membacanya didepan para sahabat, kemudian para sahabat menghafalkan ayat-ayat tersebut sampai hafal di luar kepala. Namun kemudian beliau menyuruh kuttab (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru di terimanya itu. Mereka yang termasyhur adalah; Abu Bakar, Umar bin khatab, ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin khaab, zayd bin tsabit, az-zubayr bin Awwam, Mu’awiyah bin Abi sufyan, Al-arqam bin maslamah, Muhammad bin Maslamah, Abban bin Sa’it bin AL-‘As, Maslamah bin khalid, qais bin Shasha’ah, Tamim Al-Dari, Salamah bin Makhlad, Abu Musa AL-Asy’ari, Uqbah bin Amir, Ummu faraqah binti Abdillah binti Harits.

3.          Perkembangan Al-Qur’an

Pada masa nabi ilmu-ilmu al-quran belum di bukukan, karena umat islam belum memerlukannya serta ulumul quran masih belum ada, sebab pada waktu itu Rasulullah SAW masih hidup, sehingga jika terdapat suatu pertanyaan atau permasalahan mengenai al-Quran bisa ditanyakan langsung kepada Rasul kemudian diingat dalam pikiran dan hati para sahabat. Selain alasan di atas,

belum adanya kebutuhan untuk menulis kitab-kitab tentang ulumul quran merupakan alasan di balik belum munculnya ulumul quran pada masa Nabi. Terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

E.    Nama-nama dan Sifat al-Qur'an

1.    Nama-nama al-Qur'an
Selain al-Qur'an, Allah SWT. juga menyebutnya dengan nama-nama yang lain. Dalam hal ini, bisa disebutkan sebagai berikut:

1.1.    Kitâb: Allah menyebut al-Qur'an dengan sebutan Kitâb, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Jâtsiyah: 2:

[تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيم ]

“Kitab (ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
1.2.    Dzik: Allah menyebut al-Qur'an dengan sebutan Dzikr, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Hijr: 9:

[إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُون ]

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.

1.3.     Furqân: Allah juga menyebut al-Qur'an dengan sebutan Furqân, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Fuqân: 1:

[تَب ارَكَ ال ذِي ن زَّلَ الْفُرْق انَ عَل ى عَب دِهِ لِيَك ونَ لِلْع الَمِيننَذِيرًا ]

“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”

1.4.     Tanzîl: al-Qur'an disebut Tanzîl oleh Allah SWT. Dalam banyak ayat, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat as- Syu'arâ': 192:

[وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِين ]
“Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam.”

2.     Sifat-sifat al-Qur'an
Allah SWT. juga menyebut sejumlah sifat sebagai sifat al- Qur'an. Antara lain bisa disebutkan sebagai berikut:
2.1.    Mubârak: Allah menyifati al-Qur'an dengan sifat Mubârak, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Shad: 29:

[كِت ابٌ أَنْزَلْن اهُ إِلَي كَ مُب ارَكٌ لِي دَّبَّرُوا ءَايَات هِ وَلِيَت ذَكَّرَ أُول والأَلْبَاب ]

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuhm dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
2.2.    Hakîm: Allah juga menyifasinya dengan al-hakîm, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Yasin: 2:

[وَالْقُرْءَانِ الْحَكِيم ]

“Demi al-Qur'an yang penuh hikmah”.
2.3.     Majîd: Allah juga menyifati al-Qur'an dengan al-Majîd, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Qaf: 1:

[ق وَالْقُرْءَانِ الْمَجِيد ]

“Qaaf. Demi Al Qur'an yang sangat mulia.”
Dan masih banyak sifat-sifat yang lain. Bagi yang ingin menambah pengetahuan akan sifat-sifat tersebut, hendaknya merujuk kepada kitab al-Burhân, karya az-Zarkasyi ataupun al-Itqân, karya as-Suyuthi.

F.    Perbedaan al-Qur'an dengan Hadits secara Umum

Adapun perbedaan al-Qur'an dengan hadits secara umum, bisa diuraikan sebagai berikut:
1.    Perkataan, perbuatan maupun pembenaran dalam hadits itu merupakan ekspresi manusia, meski bersumber dari wahyu. Berbeda dengan al-Qur'an yang merupakan kalam Allah.
2.    Al-Qur'an selalu dinukil dalam bentuk kalam atau ungkapan kata, sedangkan hadits tidak.
3.    Al-Qur'an selalu diriwayatkan secara Mutawatir, ayat per ayatnya, sedangkan hadits tidak.
4.    Al-Qur'an dilindungi oleh Allah dari berbagai kesalahan, tetapi hadits tidak. Karenanya, terjadi pemalsuan hadits dan sebagainya.

G.    Tahap Turunnya al-Qur’an.
Allah SWT menjelaskan secara umum tentang turunnya Al-Qur‟an dalam tiga tempat dalam Al-Qur‟an, masing-masing :
1.    Al-Qur‟an diturunkan pada bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur`an (Al-Baqarah : 185).

2.    Al-Qur‟an diturunkan pada malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam lailatul qadar. (Al-Qadr : 1)

3.    Al-Qur‟an diturunkan pada malam yang diberkahi
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Qur`an) pada malam yang diberkahi. (Ad-Dhukhan : 3)
Ketiga ayat diatas tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qadar dalam bulan ramadhan. Tetapi lahir (zahir) ayat-ayat itu bertentangan dengan kehidupan nyata Rasulullah SAW, dimana Al-Qur`an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun.

H.    Hikmah Diturunkannya Al-qur’an.

1.     Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah SAW

Rasulullah SAW telah menyampaikan dakwahnya kepada manusia, tetapi ia menghadapi sikap mereka yang membangkang dan watak yang begitu keras. Ia ditantang oleh orang-orang yang berhati batu, berperangai kasar dan keras kepala. Mereka senantiasa melemparkan berbagai macam gangguan dan ancaman kepada Rasul. Wahyu turun kepada Rasulullah SAW dari waktu ke waktu sehingga dapat meneguhkan hatinya atas dasar kebenaran dan memperkuat kemauannya untuk tetap melangkahkan kaki di jalan dakwah tanpa menghiraukan perlakuan jahil yang dihadapinya dari masyarakatnya sendiri.
`Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.` (Al-Muzammil :10-11)
Setiap kali penderitaan Rasulullah SAW bertambah karena didustakan oleh kaumnya dan merasa sedih karena penganiayaan mereka, maka Al-Qur`an turun untuk melepaskan derita.

2.     Menjawab Tantangan dan sekaligus Mukjizat.

Orang-orang musyrik senantiasa berkubang dalam kesesatan dan kesombongan hingga melampaui batas. Mereka sering mangajukan pertanyaan-pertanyaan dengan maksud melemahkan dan menentang. Untuk menguji kenabian Rasulullah. Mereka juga sering menyampaikan kepadanya hal-hal batil yang tak masuk akal, seperti menanyakan tentang hari kiamat, lalu turunlah ayat :

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui". (Al-A'roof 187)
Hikmah seperti ini telah diisyaratkan oleh keterangan yang terdapat dalam beberapa riwayat dalam hadis Ibn Abbas mengenai turunnya Al-Qur`an : `Apa bila orang-orang musyrik mengadakan sesuatu, maka Allah pun mengadakan jawabannya atas mereka.`

3.     Mempermudah Hafalan dan Pemahamannya

Al-Quran Al-Karim turun di tengah-tengah umat yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis, catatan mereka adalah daya hafalan dan daya ingatan. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang tata cara penulisan dan pembukuan yang dapat memungkinkan mereka menuliskan dan membukukannya, kemudian menghafal dan memahaminya. Umat yang buta huruf itu tidaklah mudah untuk menghafal seluruh Al-Qur`an, apa bila Al-Quran Al-Karim diturunkan sekaligus, dan tidak mudah pula bagi mereka untuk memahami maknanya serta memikirkan ayat-ayatnya, jelasnya bahwa Al-Quran Al-Karim secara berangsur itu merupakan bantuan terbaik bagi mereka untuk menghafal dan memahami ayat-ayatnya.

4.     Kesesuaian dengan Peristiwa-peristiwa Pentahapan dalam Penetapan Hukum

Manusia tidak akan mudah mengikuti dan tunduk kepada agama yang bau ini seandainya Al-Quran Al-Karim tidak menghadapi mereka dengan cara yang bijaksanadan memberikan kepada mereka beberapa obat penawar yang ampuh yang dapat menyembuhkan mereka dari kerusakan dan kerendahan martabat. Setiap kali terjadi suatu peristiwa, diantara mereka , maka turunlah hukum mengenai peristiwa itu yang menjelaskan statusnya dan penunjuk serta meletakkan dasar-dasar perundang-undangan bagi mereka, sesuai dengan situasi dan kondisi, satu demi satu. Dan cara ini menjadi obat bagi hati mereka.

Hikmah penetapan hukum dengan sistem bertahap ini lebih lanjut diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a ketika mengatakan : `Sesungguhnya yang pertama kali turun dari Al-Qur`an ialah surah Mufassal yang didalamnya disebutkan surga dan neraka, sehingga ketika manusia telah berlari kepada Islam, maka turunlah hukum haram dan halal. Kalau sekiranya yang turun pertama kali adalah `Janganlah kamu meminum khamr` tentu meraka akan menjawab: `Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya.` Dan kalau sekiranya yang pertama kali turun ialah ; ‘janganlah kamu berzina’, tentu mereka akan menjawab: `Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.`
5. Bukti Yang Pasti Bahwa Al-Quran Al-Karim Diturunkan Dari Sisi Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.

Al-Qur`an yang turun secara berangsur kepada Rasulullah SAW dalam waktu lebih dari dua puluh tahun ini ayat-ayatnya turun dalam selang waktu tertentu, dan selama ini orang membacanya dan mengkajinya surah demi surah. Ketika ia melihat rangkaiannya begitu padat, tersusun cermat sekali dengan makna yang saling bertaut, dengan gaya yang begitu kuat, serta ayat demi ayat dan surah demi surah saling terjalin bagaikkan untaian mutiara yang indah yang belum ada bandingannya dalam perkataan manusia .
Seandainya Al-Qur`an ini perkataan manusia yang disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian, tentulah di dalamnya terjadi ketidak serasian dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya, serta sulit terjadi keseimbangan.

I.    Surah Makkiyah dan Madaniyah
a.    Pengertian Ilmu Makki dan Madani
Para Sarjana Muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminology Makki(Makiyyah) dan Madani(Madaniyah). Keempat perspektif itu adalah:
1.    Massa turun (zaman an-nuzul)
2.    Tempat turun (makan an-nuzul)
3.    Objek pembicaraan (mukhatahab)
4.    Tema pembicaraan (maudu’).

1)      Dari perspektif Masa turun(zaman an-nuzul), mereka mendefinisikan kedua terminology diatas sebagai berikut;
Makiyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun tidak turun di Makkah. Sedangkan,
Madaniyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun tidak turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyya walaupun turun di Makkah atau Arafah.
Dengan demikian, surat An-Nisa’[4:58] termasuk kategori Madaniyyah kendatipun diturunkan di Makkah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota Makkah (fath al-Makkah). Begitu pula surat Al-Ma’idah[5:3] termasuk kategori Madaniyyah kendatipun tidak diturunkan di Madinah karena ayat ini diturunkan pada peristiwa haji wada’.

2)      Dari perspektif Tempat turun(makan an-nuzul), mereka mendefinisikan kedua terminology diatas sebagai berikut; Makiyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan di madinah dan sekitarnya, seperti Mina,Arafah, dan Hudaibiyyah. Sedangkan, Madaniyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud,Quba’ dan Sul’a. Terdapat celah kelemahan dalam pendefinisian di atas sebab terdapat ayat-ayat tertentu,yang tidak diturunkan di Makkah dan Madinah dan sekitarnya. Misalnya surat At-Taubah[9:42] diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf[43:45] diturunkan di Bait Al-Muqadas, dan surat Al-Fath diturunkan ditengah perrjalanan antara Makkah dan Madinah. Ketiga ayat di atas, jika melihat definisi yang kedua, maka tidak dapat di kategorikan dalam Makiyyah dan Madaniyyah.

3)      Dari perspektif Objek pembicaraan(mukhatahab), mereka mendefinisikan kedua terminology diatas sebagai berikut;
Makiyyah ialah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang makkah. 
Sedangkan,
Madaniyyah ialah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Madinah.
Pendefinisian di atas dirumauskan oleh para Sarjana Muslim berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat Al-Qur’an yang dimulai dengan lafadz”Yaa Ayyuhan-naasu” menjadi criteria Makiyyah. Dan lafadz “Yaa Ayyuhal-ladziina” menjadi criteria Madaniyyah. Namun, tidak selamanya asumsi tersebut benar. Misalnya surat Al-Baqarah termasuk kategori Madaniyyah, padahal didalamnya ada salah satu, yaitu ayat 21 dan 168 dimulai dengan lafadz  ”Yaa Ayyuhan-naasu”. Banyak pula ayat Al-Qur’an yang tidak dimulai dengan dua lafadz diatas.

4)      Adapun pendefinisian Makiyyah dan Madaniyyah dari perspektif tema pembicaraan, akan disinggung lebih terinci dalam uraian karakteristik kedua klasifikasi tersebut.

Kendatipun menggunggulkan pendefinisian Makiyyah dan Madaniyyah dari perspektif Masa turun, Subhi Shalih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian di atas. Pad ketiga pendefinisian ini terkandung komponen masa, tempat dan orang. Bukti lebih lanjut dari tesis Subhi Shalih di atas dapat dilihat dalam kasus surat Al-Mumtahanah. Bila dilihat dari perspektif  Tempat turun(makan an-nuzul), surat itu termasuk Madaniyyah karena diturunkan sesudah Hijrah. Akan tetapi dalam Objek pembicaraan(mukhatahab) termasuk Makiyyah karena menjadi khitab bagi orang-orang Makkah. Oleh karena itu, para Sarjan Muslim memasukkan surat itu kedalam “Ma nuzila bil-Madinah wa hukmuhu Makki”(ayat-ayat yang diturunkan di Madinah sedangkan muatan hukumnya termasuk ayat-ayat yang diturunkan di Makkah).

B.     Tanda-tanda Makki dan Madani

a.    Tanda- tanda Makiyyah

1.    Setiap surat yang didalamnya mengandung “ayat-ayat sajdah” adalah Makiyyah.

2.    Setiap surat yang mengandung lafadz “Kalla” adalah Makiyyah. Lafadz ini hanya terdapat dalam separo terakhir dari Al-Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surat.

3.    setiap surat yang mengandung lafadz ”Yaa Ayyuhan-naasu” dan tidak mengandung “Yaa Ayyuhal-ladzina Aamanu” adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Hajj yang pada akhir suratnya terdapat kalimat “Yaa Ayyuhal-ladzina Aamanur-ka’uu wasjuduu” . namun demikian, sebagian besarr Ulama’ berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makiyyah.

4.    Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah.

5.    Setiap surat yang mengandung kisan nabi Adam dan Iblis adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah.

6.    Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf muqatha’ah atau hija’I, seperti  Alif Lam Mim, Alif Lam Ra’, Ha Mim dan lainnya, adalah Makiyyah. Kecuali surat Al-Baqarah dan Al-Imran. Adpun surat Ar-Ra’dul masih diperselisihkan.
b.    Tanda-tanda Madaniyyah

1.    Setiap surat yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak perdata dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata serta kemasyarakatan dan kenegaraan, termasuk Madaniyyah.

2.    Setiap surat yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan perang, hukum-hukumnya, perdamaian dan perjanjian, termasuk Madaniyyah.

3.    Setiap surat yang menjelaskan hal ihwal orang-orang munafik termasuk Madaniyyah, kecual surat Al-Ankabut yang di nuzulkan di Makkah. Hanya sebelas ayat pertama dari surat tersebut yang termasuk Madaniyyah dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik.

4.    Menjelaskan hukum-hukum amaliyyah dalam masalah ibadah dan muamalah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, qisas, talak, jual beli, riba, dan lain-lain.

5.    Sebagian surat-suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasanya cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum agama.

c.     Cara-cara menentukan Makki dan Madani

Untuk mengetahui dan menentukan Makiyyah dan Madaniyyah, para Ulama’ bersandar pada dua cara utama:

1.    Sima’I naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan

2.    Qiyasi ijtihadi (bersifat ijtihad).

Cara pertama didasarkan pada riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, dimana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan  turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makiyyah dan Madaniyyah itu didasarkan pada cara yang pertama ini.

Namun demikian,  semua itu tidak terdapat sedikitpun keterangan dari Rasulullah, karena ia tidak termasuk dalam kewajiban, kecuali terdapat dalam batas yang membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh. Al-Qadhi Abu Bakar bin Ath-Thayib Al-Baqillani dalam  Al-Intishar  menegaskan, “Pengetahuan tentang Makiyyah dan Madaniyyah itu mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi’in. tidak ada satupun keterangan dari Rasulullah mengenai hal itu, karena Beliau tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan Ilmu Pengetahuan itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nash dari Rasulullah.”

Cara kedua didasarkan pada cirri-ciri Makiyyah dan Madaniyyah. Apabila dalam surat Makiyyah terdapat suatu ayat yang mengandung  sifat Madani atau mengandung peristiwa Madani, maka dikatakan bahwa ayat itu Madaniyyah. Dan apabila surat dalam Madaniyyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki atau mengandung peristiwa Makkki, maka yat tadi dikatakan sebagai ayat Makiyyah. Bila dalam surat terdapat cirri-ciri Makiyyah, maka surat itu dinamakan surat Makiyyah. Demikian pula bila dalam satu surat terdapat cirri-ciri Madaniyyah, maka surat itu dinamakan surat Madaniyyah. Inilah yang disebut Qiyas Ijtihadi.
Oleh karena itu, para ahli mengatakan, “ setiap surat yang didalamnya ada kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, maka surat itu adalah Makiyyah. Dan setiap surat yang didalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan hokum, maka surat itu adalah Madaniyyah.” Al-Ja’bari mengatakan, “untuk mengetahui Makiyyah dan Madaniyyah ada dua cara; sima’i(pendengaran) dan qiyasi (analogi).” Sudah tentu Sima’I pegangannya berita pendengaran, sedangkan Qiyasi berpegang pada penalaran. Baik berita pendengaran maupun penalaran, keduanya merupakan metode pengetahuan yang valid dan metode peneliian ilmiah.    




d.    Contoh surat Makkiyah dan Madaniyah
Berikut merupakan surat-surat yang tergolong Makkiyah dan Maddaniyah.

1)    Surat-surat Makkiyah : Al-Fatehah, Al-An’aam, Al-A’raaf, Yunus,Huud,Yusuf, Ibrahim, Al-Hijr, An-Nahl, Al-Isroo’, Al-Kahfi, Maryam, Thaha, Al-Anbiya’, Al-Mu’minuun, Al-Furqaan, Asy-Syu’aro’, An-Naml, Al-Qashash, Al-Ankabuut, Ar-Ruum, Luqman, As-Sajdah, Sabaa, Al-Faathir, Yaasiin, Ash-Shaffaat, Shaad, Az-Zumar, Ghaafir, Fushshilat, Asy-Syuuroo, Az-Zukhruf, Ad-Dukhoon, Al-Jaatsiyah, Al-Ahqaaf, Qaaf, Adz-Dzaariyaat, Ath-Thuur, An-Najm, Al-Qamar, Al-Waaqi’ah, Al-Mulk, Al-Qalam, Al-Haaqqah, Al-Ma’aarij, Nuuh, Al-Jin, Al-Muzzammil, Al-Muddatstsir, Al-Qiyaamah, Al-Muraasalaat, An-Naba’, An-Naazi’aat ,Abasa,At-Takwiir, Al-Infithaar, Al-Muthaffifiin, Al-Insyiqaaq,Al-Buruuj, Ath-Thaariq, Al-A’laa, Al-Ghaasyiyah, Al-Fajr,Al-Balad, Asy-Syams, Al-Lail, Adh-Dhuhaa, Al-’Ashr, At-Tiyn,Al-’Alaq, Al-Qadr, Al-’Aadiyaat, Al-Qaari’ah, At-Takatsur, Al-Ashr,Al-Humazah, Al-Fiil, Quraisy, Al-Maa’uun, Al-Kautsar, Al-Kaafiruun,Al-Masad, Al-Ikhlaash, Al-Falaq, An-Naas.

2)    Surat-surat Madaniyah : Al-Baqarah,Ali Imran,An-Nisaa’,Al-Maa`idah,Al-Anfaal,At-Taubah, Ar-Ra’d, Al-Hajj, An-Nuur,Al-Ahzaab, Muhammad, Al-Fat-h, Al-Hujuroot, Ar-Rahman, Al-Hadiid, Al-Mujaadalah, Al-Hasyr, Al-Mumtahanah, Ash-Shaf, Al-Jumu’ah, Al-Munaafiquun, At-Taghaabun, Ath-Thalaaq, At-Tahriim, Al-Insaan, Al-Bayyinah, Al-Zalzalah, An-Nashr.

J.    Urgensi mempelajari Al-Qur’an

Adapun tujuan dari mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:
1.    Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan keterangan yang
dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap  Al-Qur’an

2.    Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam
menafsirkan  Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.

3.    Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

4.    Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Disqus Comments