Jumat, 23 Desember 2016

Tafsir, Tajwid, dan adab tilawah alquran




Adab Tilawah Al-Qur'an (اداب التلاوة)
Al-Qur'an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk menjadi petunjuk bagi umatnya. Kitab suci Al-Qur'an yang juga menjadi mukjizat bagi Rasulullah SAW ini sekaligus merupakan sumber hukum Islam yang pertama. Karenanya sangat tepat jika harakah Islam menjadikan Al-Qur'an Dusturuna(القران دسترنا) sebagai slogan yang diimplementasikan dalam kehidupan berjamaah dan berharakah.

Salah satu bentuk interaksi yang wajib dilakukan oleh umat Islam terhadap Al-Qur'an adalah membacanya, tilawah Al-Qur'an. Bahkan dalam sebuah hadits diungkapkan bagaimana kebiasaan yang dianjurkan Rasulullah dalam membaca Al-Qur'an; yakni khatam Al-Qur'an tidak lebih dari satu bulan dan tidak kurang dari tiga hari. Dalam membaca Al-Qur'an, ada adab-adab tilawah yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh kaum muslimin sebagai berikut :

Suci Badan (طهارة البدن)
Diantara adab tilawah adalah suci badan. Al-Qur'an merupakan firman Allah SWT; wahyu yang dimuliakan. Maka sangat tidak tepat jika kita tilawah Al-Qur'an sementara badan kita dalam kondisi kotor, apalagi terkena najis.

Wudhu (الوضوء)
Adab tilawah Al-Qur'an yang kedua adalah wudhu. Hendaknya kita mengambil air wudhu terlebih dahulu sebelum tilawah Al-Qur'an, karena pada saat kita tilawah kita menyentuh mushaf Al-Qur'an Al-Karim. Hendaknya kita sadari bahwa Al-Qur'an ini tidak sama dengan buku-buku, majalah atau koran yang seenaknya kita perlakukan.

Diantara dalil yang sering dipakai dalam adab ini adalah firman Allah SWT:
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (QS. Al-Waqi'ah : 77)

Tetapi membawa ayat itu dalam konteks wudhu sebelum tilawah adalah pengambilan dalil yang kurang tepat, sebab yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan (المطهرون) dalam ayat di atas adalah para malaikat, bukan manusia yang memiliki wudhu. Sebagaimana Al-Qur'an yang dimaksud dalam ayat itu adalah Al-Qur'an yang ada di lauh mahfudz, bukan mushaf Al-Qur'an yang kita pegang saat tilawah.

Dalil yang tepat dalam adab ini adalah hadits yang dibawakan Dr. Yusuf Qardhawi dalam buku Berinteraksi dengan Al-Qur'an:

لايمس القرآن إلا طاهر
Al-Qur'an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang sudah suci. (HR. An-Nasai, Daruquthni, Baihaqi)

Bersih Tempat (نظافة المكان)
Termasuk bagian dari adab tilawah adalah tempat yang bersih/tepat. Tidak boleh bagi kita membaca Al-Qur'an di tempat-tempat yang tidak pantas, seperti tempat pembuangan sampah. Dan larangan yang lebih besar membawa mushaf atau membaca Al-Qur'an di WC.

Khusyu' (الخشوع)
Adab tilawah berikutnya adalah khusyu'. Yakni menghadirkan hati saat membaca ayat-ayat Allah SWT. Jika kita membaca surat dari orang yang kita cintai saja demikian penuh perhatian dan tidak melewatkan satu kata pun, meresapi maknanya, dan jiwa terbawa karenanya, maka Al-Qur'an seharusnya lebih dari itu bagi jiwa kita saat membacanya. Demikian pula, jika kita membaca surat dari pemimpin atau atasan kita kita begitu perhatian dan konsentrasi sehingga paham betul apa isi surat itu, tilawah Al-Qur'an seharusnya lebih berkualitas dari itu. Bukankah ini adalah firman Allah SWT, dzat yang telah menciptakan kita? Bukankah ini adalah petunjuk hidup kita? Menghadirkan hati dan merasa bahwa ayat-ayat itu ditujukan secara khusus buat kita adalah jalan mencapai khusyu'.

سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْسَنُ النَّاسِ صَوْتًا بِالْقُرْآنِ ؟ قَالَ : مَنْ إِذَا سَمِعْتَ قِرَاءَتَهُ رَأَيْتَ أَنَّهُ يَخْشَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
Nabi SAW ditanya: "Siapa yang paling bagus suaranya dengan Al-Qur'an?" Beliau bersabda: "Orang yang apabila kalian mendengar ia membaca Al-Qur'an, kalian lihat ia takut kepada Allah Azza Wa Jalla" (HR. Thabrani, hadits semakna diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah)

Diantara indikasi khusyu' adalah menangis saat membaca Al-Qur'an, terlebih ketika menjumpai ayat-ayat adzab. Karenanya kita tidak saja dianjurkan menangis, bahkan bagi yang tidak mampu menangis supaya berusaha menangis; tangis-tangiskanlah.

اتْلُوُا الْقُرْآنَ وَابْكُوْا، فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا
Bacalah Al-Qur'an dan menangislah, jika kalian tidak dapat menangis, maka tangis-tangiskanlah (berusahalah untu menangis). (HR. Abu Iwanah, Hadits semakna diriwayatkan oleh Hakim dan Ibnu Majah)

Tenang dan Tenteram (السكينة والوقار)
Diantara adab membaca Al-Qur'an adalah tenang dan tenteram. Sebaliknya, tidak dibenarkan membaca Al-Qur'an dengan tergesa-gesa, gugup, atau merasa dikejar setoran. Bukankah membaca Al-Qur'an merupakan dzikir dan dengan dzikir hati kita akan tenang?

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra'du : 28)

Lebih jauh lagi Allah SWT menghubungkan antara khusyu' dalam adab tilawah sebelumnya dengan ketenangan dan keterteraman dalam adab tilawah kali ini dalam firman-Nya:

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun. (QS. Az-Zumar : 23)

Bersiwak Sebelum Mulai (الإستاك قبل البدء)
Hendaknya kita bersiwak terlebih dahulu sebelum tilawah Al-Qur'an. Dengan begitu, bau mulut kita menjadi harum saat melantunkan ayat-ayat Ilahi. Sebaliknya, tidak sepantasnya kita tilawah sementara mulut kita bau tidak sedap, apalagi bau jengkol yang tidak disukai oleh Rasulullah SAW.

Ta'awudz di Permulaan (التعوذ في البداية)
Diantara adab tilawah adalah membaca ta'awudz di awal tilawah. Sebagaimana firman Allah SWT:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS. An-Nahl : 98)

Basmalah di Setiap Awal Surat (البسملة في مطلع كل سورة)
Di setiap awal surat, hendaknya membaca basmalah. Pada semua mushaf sudah tercantum basmalah di awal setiap surat untuk memudahkan melaksanakan adab tilawah ini. Hanya ada satu surat yang dikecualikan yakni Surat At-Taubah atau Surat Bara'ah. Tidak boleh mendahului dengan basmalah, tetapi cukup dengan ta'awudz.

Tartil (الترتيل)
Diantara adab yang sangat penting dalam tilawah adalah tartil. Yaitu membaca Al-Qur'an secara perlahan dan sesuai dengan kaidah tajwid.

Allah SWT berfirman :

وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا

Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan (QS. Al-Muzammil : 4)

Umumnya, sikap orang yang membaca Al-Qur'an terhadap adab ini ada empat:
Pertama, mampu tapi tidak mau. Yaitu mereka yang sebenarnya bisa membaca tartil, juga menguasai tajwid, tapi tidak menggunakannya. Entah karena alasan buru-buru mengejar "setoran buku putih" atau karena salah paham dalam memahami pahala membaca Al-Qur'an ditentukan oleh kuantitas bacaan, atau karena "ditarget" oleh lingkungan seperti orang-orang khataman Qur'an.

Kedua, mau tapi tidak mampu. Mereka sudah berusaha belajar tajwid dengan sungguh-sungguh. Mereka bahkan ikut dalam program tahsin, diantaranya. Tetapi masih saja belum mampu untuk tilawah dengan tartil sesuai tajwid. Jika golongan ini memang sudah berusaha belajar dan tetap semangat tilawah Al-Qur'an, maka Rasulullah memiliki kabar gembira buat mereka :

مَثَلُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهْوَ حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ ، وَمَثَلُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهْوَ يَتَعَاهَدُهُ وَهْوَ عَلَيْهِ شَدِيدٌ ، فَلَهُ أَجْرَانِ

Orang yang membaca Al-Qur'an dan mahir, maka akan bersama para malaikat, pesuruh Allah yang mulia. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur'an dengan terbata-bata dan merasa berat, maka ia akan dapat dua pahala. (HR. Bukhari)

Ketiga, tidak mampu dan tidak mau. Yaitu mereka yang tidak mampu membaca dengan tartil, tidak mau untuk berusaha belajar, sekaligus tidak memiliki kemauan untuk membaca Al-Qur'an dengan tartil.

Keempat, mau dan mampu. Maka, beruntunglah golongan yang keempat ini. Merekalah yang mendapat kabar gembira pertama dalam hadits riwayat bukhari di atas. Dan seyogyanya, semua kader tarbiyah berupaya menjadi golongan keempat ini.

Masuk juga dalam adab ini adalah melagukan Al-Qur'an. Jadi tartilnya bukan sekedar membaca sesuai kaidah tajwid, tetapi juga dilagukan dengan indah. Kalau kita mendengar tilawahnya Syaikh Sudais, Syaikh Shuraim, Al-Mathrud, Al-Mishary, dan ulama-ulama lain hati kita mudah tersentuh karena mereka membaca Al-Qur'an tidak hanya tartil tetapi juga memiliki lagu-lagu khas yang menyentuh hati.

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ

Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur'an (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, Baihaqi, Thabrani)

زينوا القرآن بأصواتكم

Perindahlah Al-Qur'an dengan suara kalian (HR. Bukhari, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim)

Sujud bila bertemu Ayat Sajdah (السجود عند آيات السجود)
Termasuk adab tilawah adalah bersujud ketika membaca ayat-ayat sajdah. Ayat-ayat sajdah ini ada pada lima belas tempat di dalam Al-Qur'an, yaitu: Al-A'raf : 206, Ar-Ra'du : 105, An-nahl : 50, Al-Isra' : 109, Maryam : 58, Al-Hajj : 18, Al-Hajj : 77, Al-Furqan : 60, An-Naml : 28, As-Sajdah : 15, Shad : 24, Fushilat : 38, An-najm : 62, Al-Insyiqaq : 21, dan Al-Alaq : 19.

Ketika kita bersujud tilawah, Syaitan menangis dan menyadari tempat kembalinya di neraka, sekaligus iri karena orang yang bersujud tilawah ini berhak mendapatkan surga.

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ - وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى - أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ

Ketika Anak Adam membaca ayat-ayat sajdah lalu bersujud, syaitan menangis sambil mengatakan: "Celakalah aku, anak Adam diperintah bersujud maka mereka bersujud dan memperoleh surga, sementara aku diperintah bersujud, lalu aku mendurhakai, maka aku mendapatkan neraka". (HR. Muslim)

Tadabbur (التدبر)
Termasuk adab tilawah juga adalah tadabbur. Yakni memikirkan ayat yang dibaca, berusaha secara sistematis untuk memahami Al Qur’an, sehingga dapat melakukan petunjuk Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

Rasulullah SAW pernah menangis di waktu Shubuh. Ketika ditanya oleh sahabat, beliau menjawab bahwa semalam turun ayat :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS. Ali Imran : 190)

Beliau mentadabburi ayat ini hingga menangis semalaman.

Diantara buah dari tadabur adalah bertambahnya keimanan orang yang tilawah Al-Qur'an. Allah SWT berfirman :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. Al-Anfal : 2)

Demikian adab-adab tilawah Al-Qur'an. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah SWT untuk mengamalkan adab-adab ini. Wallaahu a'lam bish shawab. [Abu Nida]
Hukum mengajarkan alquran dan mengambil upah darinya

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”

Masih dalam hadits riwayat Al-Bukhari dari Utsman bin Affan, tetapi dalam redaksi yang agak berbeda, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ أَفْضَلَكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ .
“Sesungguhnya orang yang paling utama di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”
Dari hadits dia atas dapat disimpulkan bahwa mengajarkan alquran itu wajib kifaya sebagaimana wajib kifaya nya mempelajari alquran

Benar, diperbolehkan mengambil upah dari mengajarkan al-Qur’an menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, sesuai keumuman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

( إن أحق ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله )
”Sesungguhnya yang paling berhak bagi kalian mengambil upah darinya adalah kitab Allah (al-Qur’an)”(HR.Bukhari)

Dan juga karena kebutuhan yang mendesak untuk hal itu.

wabillahi taufiq wa shallatu wa salamu ‘ala Nabiyina Muhammad wa alihi wasalam.
(Fatawa Lajnah Daimah )

Makna tafsir,  terjemah, ta’wil  serta persamaan dan perbedaannya
I.    Pengertian Tafsir
Tafsir atau At-Tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain:

Ø  Menjelaskan, menerangkan, yakni; ada sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan terang.

Ø  Keterangan sesuatu, yakni; perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum dan global, sehingga menjadi lebih terperinci dan mudah dipahami serta dihayati.

 Ø  Kalautafsirah adalah alat kedokteran yang mengungkap penyakit dari seorang pasien, makatasir dapat
mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat Al-Qur’an.[1]
Dalam Al-Qur’anul Karim, kata tafsir diungkapkan hanya satu kali saja dalam surat Al-Furqan ayat 33:
 
(33). وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرً ا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”         (Q.S. Al-Furqan: 33).
Tafsir menurut pengertian istilah (terminologis) yang dikemukakan oleh para ulama adalah sebagai berikut:

Ø  Menurut Syaikh Thahir al-Jazairy, dalam at-Taujih:
“Tafsir pada hakekatnya ialah menerangkan (maksud) lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan (uraian) yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah.”[2] 

Ø  Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam At-Ta’riifat:
“Pada asalnya, tafsir berarti membuka dan melahirkan. Dalam pengertian syara’, (tafsir) ialah menjelaskan makna ayat: dari segi segala persoalannya, kisahnya, asbabun nuzulnya, dengan menggunakan lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang.”[3]

Ø  Rumusan menurut az-Zarkasyi sebagai berikut:
“Tafsir ialah ilmu (pembahasan) yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya, megeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu (hikmah) yang ada di dalamnya.”[4]
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa tafsir adalah:
“Usaha yang bertujuan menjelaskan Al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafazh-lafazhnya, agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit dipahami menjadi mudah dipahami, sehingga Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat dipahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.”

II.    Pengertian Ta’wil

Menurut pendapat yang masyhur kata Ta’wil  dari segi bahasa adalah sama dengan arti kata tafsir, yakni menerangkan dan menjelaskan. Dengan pengertian kataTa’wil bisa mempunyai arti:

Ø  Kembali atau mengembalikan,yakni mengembalikan makna pada proporsi yang sesungguhnya.

Ø  Memalingkan,   yakni memalingkan suatu lafazh tertentu yang mempunyai sifat khusus, dari makna dhahir ke makna batin lafazh itu karena ada ketetapan dan keserasian dengan maksud yang dituju.

Ø  Mensiasati, yakni bahwa dalam lafazh-lafazh tertentu atau kalimat-kalimat yang mempunyai sifat khusus memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan maknanya yang setepat-tepatnya. Untuk memiliki kemampuan siasat itu diperlukan ilmu yang luas.[5]
Ta’wil dalam pengertian istilah:

“Ta’wil ialah memalingkan lafazh dari maknanya yang dhahir kepada makna lain (makna batin) yang dipunyai lafazh itu, jika makna lain yang dilihat itu sesuai dengan (ruh) al-Qur’an dan Sunnah.”

“Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudkannya.”

Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa ta’wil adalah:
Membelokkan atau memalingkan lafazh-lafazh atau kalimat-kalimat yang ada dalam Al-Qur’an dari makna dhahirnya ke makna lain, sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok dan sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.

“Dan tarjamah tafsiriyah, yakni menjelaskan al-Qur’an kedalam bahasa non Arab, juga merupakan sesuatu yang diharuskan atas ummat bahkan ia sangat penting, karena ia membawa pada kemaslahatan yang penting, seperti menyampaikan makna-makna dan hidayah al-Qur’an kepada kaum muslimin dan non muslim yang tidak berbicara dan tidak memahami bahasa Arab dan juga demi menjaga akidah Islamiyah dari rongrongan kaum mulhid dan memeliharanya dari kekeliruan pemahaman, yang (mungkin) dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang sengaja melakukan penterjemahan al-Qur’an berdasarkan akidah yang salah dan ajaran-ajaran yang fasiq, yang bertujuan menampakkan al-Qur’an kepada mereka yang tidak mengerti bahasanya agar lari dari padanya dan terhalang mengikuti petunjuknya. Memang tidak sedikit suara-suara lantang dengan mengadu terjemah-terjemah yang salah itu.”

III.    Pengertian Terjemah

Terjemah ialah pendefenisian dari  satu bahasa ke bahasa yang lain, sebagai contoh dari bahasa arab ke bahasa Indonesia,
Persamaan dan Perbedaan Tafsir dengan Ta’wil
Dalam Manaahilul Irfan Fii Ulumil Qur’an, II, halaman: 5, diterangkan sebagai berikut:
Ta’wil dalam istilah para mufassirin, pengertiannya diperselisihkan. Ada yang berpendapat Ta’wil itu sinonim Tafsir, karena dilihat dari segi tujuan keduanya tidak berbeda, yaitu menjelaskan makna-makna ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagian ulama melihat ada perbedaan-perbedaan antara keduanya yaitu:

Ø  Tafsir berbeda dengan Ta’wil pada ayat-ayat yang menyangkut soal umum dan khusus. Pengertian Tafsir lebih umum dari pada Ta’wil, karena Ta’wil berkenaan dengan ayat-ayat yang khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabihat. Jadi menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an  yang mutasyabihat itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap menafsirkan ayat disebut ta’wil.

Ø  Bahwa Tafsir adalah penjelasan lebih lanjut bagi Ta’wil, dan dalam Tafsir, sejauh terdapat dalil-dalil yang menguatkan penafsiran boleh dinyatakan: demikianlah yang dikehendaki oleh Allah, sedangkan Ta’wil hanya menguatkan salah satu makna dari sejumlah kemungkinan makna yang dipunyai ayat (lafazh) dan tidak boleh menyatakan: demikianlah yang dikehendaki Allah SWT. Demikian antara lain pendapat Maturidi.

Ø  Tafsir menerangkan makna lafazh (ayat) melalui pendekatan riwayat, sedangkan Ta’wil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu).

Ø  Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (ibarat), sedangkan Ta’wil dari yang tersirat (bil Isyarah).

Ø  Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafazh yang biasa-biasa saja, sedangkan Ta’wil berhubungan dengan makna-makna yang kudus(                                                                   ).

Ø  Tafsir, mengenai penjelasan maknanya telah diberikan oleh Al-Qur’an sendiri, sedangkan Tawil penjelasan maknanya diperoleh melalui istinbath (penggalian) dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya.”[6]    

 Persamaan dan Perbedaan Tafsir dengan Terjemah
Terjemah, baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah tafsir. Terjemah tidak identik dengan tafsir. Banyak orang mengira bahwa tarjamah tafsiriyah itu pada hakekatnya adalah tafsir yang memakai bahasa non-Arab, atau tarjamah tafsiriyah itu adalah terjemahan dari tafsir yang berbahasa Arab.
Antara keduanya jelas ada unsur persamaan, yaitu bahwa baik tafsir maupun terjemah bertujuan untuk menjelaskan. Tafsir menjelaskan sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, sedangkan terjemah juga menjelaskan makna dari suatu bahasa yang tak dikuasai melalui bahasa lain yang dikuasai. Ada unsur persamaan antara keduanya bukan berarti keduanya sama secara mutlak.  Perbedaan-perbedaan keduanya, antara lain:

Ø Pada terjemah terjadi peralihan bahasa, dari bahasa pertama ke bahasa terjemah, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata bahasa pertama itu melekat pada bahasa terjemahnya. Bentuk terjemah telah lepas sama sekali dari bahasa yang diterjemahkan. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Tasir selalu ada keterikatan dengan bahasa asalnya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Yang terpeting dan menonjol dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufrad (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat.

Ø  Pada terjemah sekali-kali tidak boleh melakukan , yakni penguraian meluas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak hanya boleh melakukan penguraian meluas itu, tetapi justru uraian luas itu wajib dilakukan, jika usaha menjelaskan makna ayat/Al-Qur’an yang dikehendaki baru dapat dicapai dengan mantap melalui penguraian masalahnya secara luas. Lagi pula dalam terjemah (terutama harfiyah) makna yang diungkap sebaiknya tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa pertama, sehingga sekiranya terjadi kesalahan dalam bahasa pertama, niscaya kesalahan itu akan terjadi pula pada terjemahnya. Berbeda dengan tafsir, bahwa yang dituntut dari padanya ialah meyampaikan penjelasan pesan dari bahasa asalnya. Terkadang penjelasan itu dapat dikembangkan kearah pendapat yang beraneka ragam, melalui uraian meluas tersebut di atas. Itulah rahasianya, mengapa kebanyakan kitab-kitab tafsir Al-Qur’an memuat uraian luas yang beraneka macam pembahasannya, meliputi ilmu bahasa, akidah, ilmu fiqih, usul fiqih, asbabun nuzul, dan sebagainya.

Ø   Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan di penuhi semua makna yang dikehendaki oleh bahasa pertama, tidak demikian halnya dengan tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terinci, baik mencakup keseluruhan makna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan mufassir dan orang yang menerima tafsir itu.

Ø  Terjemah pada lazimnya megandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud, yang telah dialih bahasakan oleh penterjemah adalah makna yang ditunjuk oleh pembicaraan bahasa pertama dan memang itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relatif, tergantung pada faktor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan jika dalam menafsir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya, sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsirannya itu tidak didukung oleh dalil-dalil.[7]         


[1] Rifat Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 139-140.
[2] Titik perhatian dalam rumusan tersebut ialah lafazh yang sulit dipahami, yang terdapat dalam rangkaian ayat al-Qur’an.  Rifat Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, hal. 140.
[3] Titik perhatian dalam rumusan ini ialah ayat Al-Qur’an,  yang merupakan kelompok yang terpadu dari lafazh-lafazh. Lihat, Rifat Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, hal. 141.
[4] Titik perhatian rumusan Az-Zarkasyi tersebut ialah Kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,  yang di dalamnya terdiri dari sejumlah ayat, yang mengandung hukum-hukum dan ilmu (hikmah) Allah SWT untuk manusia.  Lihat, Rifat Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, hal. 141.
[5]  Rifat Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, hal. 144.
[6]  Rifat Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, hal. 146-147.
[7]  Rifat Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, hal, 177.

Macam-macacm kaidah pentafsiran alquran
a.    Penafsiran denga alquran itu sendiri

b.    Penafsiran dengan sunnah

c.    Masalah Nalar dan Bukan Nalar
Wilayah bukan nalar meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah. Sedangkan yang termasuk wilayah nalar meliputi masalah-masalah kemasyarakatan. Wilayah pertama, apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun wilayah yang kedua menempatkan penafsiran terhadap teks sesuai dengan proporsinya yang tepat. Dalam hal ini wilayah kedua menjadi lahan garapan bagi para mufasir untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks Al Qur’an

d.    Qath’i dan Dzani
Pemikiran modernis menuntut adalah pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan qath’i  dalam Al Qur’an. Hal ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan realitas baru. Misalnya angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur manusia yang meningkat dibanding tahun-tahun berikutnya, dengan menggunakan ilmu kedokteran. Karenanya pandangan yang selama ini menyatakan bahwa umur merupakan mafatihul ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah seharusnya berubah .
Pembagian wilayah qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan nalar dan wilayah nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berpengaruh pada konsep syariat yang selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu syariat harus dipisahkan dari fiqh. Syariat bersifat qhat’i, sedangkan fiqh bersifat dzanni. Dengan demikian fiqh menjadi wilayah nalar yang dapat ditafsirkan ulang, dengan bantuan ilmu modern.

1.    Tafsir bi al-Matsur
Tasir bil al-Matsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul yaitu tafsir al-Quran yang dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari riwayat para sahabat dan dari riwayat para tabi’in. sebagaimana definisi oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H. A dalam manaa’ul Qaththan.

هوالذي يعتمد علي صحيح المنقول بالترتيب القران بالقران او بالسنة لانها جائت مبينة لكتاب الله او بماروي عن الصحابة لانهم اعلم لناس بكتاب الله او بما قال كبار التابعين لا نهم تلقو ذلك غالبا عن الصحابة.

Artinya:
“Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.”
Tafsir bi al-ma’tsur menurut sebagian pendapat adalah corak tafsir Al-Quran yang dalam operasional penafsirannya mengutip dari ayat-ayat Al-Quran sendiri dan apa-apa yang dikutip dari hadits Nabi, pendapat sahabat dan tabi’in,

namun bagi sebagian mufasir lainya tidak memasukkan pendapat tabi’in kepada tafsir bi al-matsur tetapi sebagai tafsir bi al ra’yi. Hal ini mungkin karena pendapat tabi’in sudah banyak tekooptasi akal atau karena mufasirnya dalam menafsirkan al-quran lebih memprioritaskan kaidah-kaidah bahasa tanpa mementingkan aspek riwayah berbeda dengan sahabat yang memiliki integritas dan kemungkinan besar untuk mengetahui fenafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk nabi bahkan penafsiran sahabat yang menyaksikan nuzul wahyu di hukumi marfu Nabi.

2. Tafsir bi al Ra’yi
Menurut Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A dalam manna’ul Qaththan.

هو يعتميد فيه المفسر في بيان المعن علي فهمه الخاص واستنباطه باارأي المجرد وليس عن الفهم الذي يتفق مع روح الشريعة ويستند الي نصزصها.

Artinya:
“Tafsir bi al Ra’yi ialah (tafsir al-Quran) dimana dalam tafsir tersebut mufasir menerangkan makna hanya berlandaskan kepada pemahaman yang khusus dan tidaklah keterangannya itu dari pemahaman yang sesuai dengan jiwa syari’ah dan yang itu berdasarkan nash-nashnya”.
Kata al ra’yi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) nya dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain.

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan Ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Quran, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Ahli-ahi tafsir dan kitab karangannya

1.     Ismail bin 'Amr Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi, Imaduddin Abu Al-Fida Al-Hafizh Al-Muhaddits Asy-Syafi'iKitab karangannya tafsir ibnu katsir

2.    Muhammad Quraisy shihab
Tafsir karangannnya tafsir al misbah

3.    Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i al-Asy'ari
Tafsir aljalalain
Syarat – syarat menjadi penafsir al-qur’an dan adab-adabnya

Adab – adab Mufassir
Beberapa adab yang telah ditetapkan keatas para Mufassir memperbolehkan mentafsir ayat-ayat al qur-an  diantaranya :

1.    Niat dan tujuan yang baik, kerana setiap amal perbuatan bergantung kepada niat. Orang-orang yang melibatkan diri dalam pentafsiran Al-Qur’an perlu memiliki adab ini dan perlu menjauhkan diri daripada tujuan-tujuan duniawi yang akan mengheret mangsanya ke arah kehinaan.

2.    Berakhlak mulia kerana mufassir adalah bagaikan seorang pendidik yang didikannya tidak akan mempengaruhi jiwa seseorang selama ia tidak menjadi role model kepada masyarakat meneruskan budi pekerti yang mulia.

3.    Taat dan beramal kerana sesuatu ilmu akan mudah diterima oleh orang-orang yang mempraktikannya berbanding dengan orang-orang yang hanya memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi tetapi tidak beramal dengannya. Tingkah laku yang mulia hasil daripada ilmu pengetahuan dan amalannya akan menjadikan seseorang mufassir sebagai sumber inspirasi yang baik kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah agama sebagaimana yang disarankan olehnya.

4.    Berjiwa mulia, kerana seseorang yang mempunyai pengetahuan yang tinggi perlu menjauhkan diri daripada perkara-perkara remeh dan tidak pula mengharapkan pangkat dan penghormatan manusia.

5.    Bersikap tawadu` dan lemah lembut kerana kesombongan ilmiah adalah dinding yang menghalangi seseorang yang berilmu daripada memanfaatkan ilmunya kepada dirinya sendiri dan juga orang lain

6.    Tegas dalam menyampaikan kebenaran kerana jihad yang paling utama ialah menyampaikan kebenaran
di hadapan pemerintah yang zalim.
7.    Mendahulukan orang-orang yang lebih utama daripada dirinya sendiri.

8.    Menggaris dan mengemukakan langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik, seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, erti perkataan, menerangkan susunan perkataan, memberi penerangan kepada aspek-aspek balaghah dan i`rab yang mana penentuan makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu serta membuat kesimpulan dan menentukan hukum.
Syarat-Syarat Mufassir

1.    Akidah yang benar. Syarat yang pertama ini adalah adalah syarat yang paling penting kerana akidah memainkan peranan yang besar kepada setiap mufassir dan menjadi faktor pendorong kepada seseorang mufassir untuk melakukan penyelewengan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan juga penipuan dalam periwayatan. Mereka juga mudah terdorong kepada mazhab-mazhab yang menyeleweng dengan mengemukakan pentakwilan yang bertentangan dengan akidah yang benar.

2.    Bersih daripada hawa nafsu kerana ia akan mendorong dirinya membela dan menegakkan kepentingan dan keperluan mazhabnya semata-mata sehingga ia berupaya menipu manusia lain dengan ucapan-ucapan lembut dan keterangan-keterangan yang menarik minat seseorang seperti yang dilakukan oleh golongan yang menyeleweng daripada ajaran Islam.

3.    Mendahulukan tafsir Al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri, di mana perkara yang diterangkan secara ringkas di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain.

4.    Mentafsirkan Al-Qur’an dengan al-Sunnah karena al-Sunnah adalah penjelasan daripada al-Qur’an. Sunnah Nabawiyah berfungsi untuk mensyarah Al-Quran, menjelaskan yang mujmal (umum), memuqayyadkan yang mutlak, mengkhususkan yang umum, menerangkan yang mubham (tidak dierti), mentafsirkan yang musykil (rumit), mendetilkan yang ringkas, menyingkap bahagian yang samar, dan memperlihatkan maksudnya.

5.    Jika tidak terdapat tafsiran Al-Qur’an dari Al-Sunnah, maka hendaklah dirujuk kepada pandangan para sahabat karena mereka lebih memahami perkara tersebut disebabkan mereka telah menyaksikan penurunan wahyu dan latar belakangnya.

6.    Merujuk kepada pendapat tabi`in jika tidak terdapat tafsiran para sahabat dengan syarat terdapat pada riwayat yang sahih.

7.    Mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pentafsiran, ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan erat dengan i`rab perkataan dan tatabahasa.

(Sumber : http://faizalmulia.blogspot.co.id/2009/10/adab-dan-syarat-mufassir-umkl.html)


Sejarah Ilmu Tafsir
a.    Tafsir Pada Masa Rasulullah Dan Sahabat.

Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.

Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.

Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:

a.        Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas.
b.         Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab.
c.        Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.

Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.

Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim:

"Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."

Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikankemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.


b.    Tafsir di Masa Tabi’in

Ada beberapa tempat yang oleh tabi’in dijadikan sebagai pusat perkembangan ilmu tafsir. Para tokoh tabi’in mendapatkan qaul-qaul sahabat di tiga tempat yaitu Makkah, Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu Abbas r.a. seperti Mujahid, ‘Atho’ ibn Abi Riyah, ‘Ikrimah, Jubair, Thawus, dan lain-lain. Begitu juga di Kufah ada murid-murid Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama Madinah di bidang tafsir seperti Zaid Ibnu Aslam.”

Sebagaimana para sahabat, tabi’in pun ada yang menerima tafsir dengan ijtihad ada pula yang menolaknya. Golongan yang tidak membolehkan mengkritik orang yang membolehkan dengan beberapa hadis, seperti

من تكلّم في القرأن فأصاب فأخطأ

Diantara tabi’in yang menolak metode tafsir bi al-ijtihad adalah Sa’id Ibn al-Musayyab dan Ibnu Sirin. Diantara tabi’in yang membolehkan seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.
Para tabi’in juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada Israiliyyat dan Nasraniyyat. Mereka menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan Nashrani yang masuk Isam, kemudian mereka memasukkannya kedalam tafsir. Menurut keterangan yang ditulis Hamka, para mufassir saat itu sangat berbaik sangka kepada pembawa berita. Mereka menganggap orang yang telah masuk Islam tidak mau berdusta. Oleh sebab itu, para mufassir saat itu tidak mengoreksi lagi khabar-khabar yang mereka terima.

c.    Tafsir di  Masa Tadwin

Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun demikian, ayat-ayat al-Quran yang ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai dengan susunan mushaf.

Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama mengumpulkan hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang tafsir. Mereka mengumpulkan hadis bahkan dengan mengambilnya dari berbagai kota. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis dari berbagi daerah ini adalah: Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.

Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-hadis lainnya dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut penelitian Ibnu Nadim, orang yang pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia melakukannya atas permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-muridnya di masjid setiap hari Jum’at.

Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pula ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-Kisaiy mengi’rabkan al-Quran. Para ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab yang dinamakan dengan Ma’ani al-Quran.

Sumber (http://sina-na.blogspot.co.id/2014/09/makalah-sejarah-perkembangan-ilmu-tafsir.html)

Cara-cara mentafisr al qur’an yang diakui ulama.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:

•    Menafsirkan Alquran dengan Alquran

•    Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah

•    Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat

•    Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in

•    Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Al Quran ialah:

•    Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.

•    Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Alquran.

•    Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.

•    Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.

•    Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5).


Israiliyat dan maudhuat dalam kitab Tafsir.

Contoh Kitab Tafsir yang Memuat Kitab Israiliyyat

  Jamiiul Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
Tafsir ini disusun oleh Ibnu Jarir Al-Thabariy (224-310), seorang yang dikenal faqih, mufassir, dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Disebut-sebut sebagai Tafsir yang paling unggul dalam tafsir bil-Ma’tsur. Paling shahih dan terkumpul di dalamnya pernyataan para sahabat dan tabi’in. Tafsir ini dianggap sebagai referensi utama para mufassir. Bahkan sampai Imam An-Nawawi berkata, “Kitab Ibnu jarir dalam tafsir tidak ada duanya.”
Bagi sebagian kalangan, dalam tafsir ini terdapat beberapa riwayat Israiliyyat dan ini dianggap kesalahan. Riwayat itu banyak berasal dari Ka’ab Al-Ahbar, Wahhab bin Munabbih, Ibnu Juraij, As-Sudi dan lain-lain.
Salah satu contoh beliau menafsirkan surat Al-Kahfi ayat 94:

“Mereka berkata: Hai Zulkarnain, ya’juj dan ma’juj itu perusak di muka bumi.”

Ibnu Jarir Al-Thabariy menyebutkan riwayat dengan isnad yang menyatakan: “Telah menceritakan kepada kami Humaid”; ia berkata:”telah menceritakan kepada kami salamah” ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq, yang berkata, “Telah menceritakan kepada kami salah seorang ahli kitab yang telah masuk Islam, yang suka menceritakan kisah-kisah asing:“dari warisan-warisan cerita yang diperoleh, dikatakan bahwa Zulkarnain termasuk salah seorang penduduk Mesir. Nama lengkapnya Mirzaban bin Murdhiyah, bangsa Yunani keturunan Yunan bin Yafits bin Nuh dan seterusnya.”
Oleh para muhaqqiq seharusnya Ibnu jarir tidak menukil riwayat-riwayat yang belum jelas kesahihannya berkenaan dengan Israiliyyat. Namun, bagaimanapun juga beliau selalu menulis lengkap sanad-sanad riwayat yang dinukilnya.
 Hadits Maudhu’ (Palsu)

Secara etimologis merupakan bentuk isim Maf’ul dari يضع – وضع. Dalam bahasa arab kata وضع memiliki beberapa makna. Antara lain menggugurkan, mengada-ada, dan membuat-buat.
Sedangkan menurut istilah, Imam Nawawi mengatakan:

هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ وَشَرُّ الضَّعِيْفِ، وَيَحْرُمُ رِوَايَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِهِ فِيْ أَيِّ مَعْنًى كَانَ إِلاَّ مُبَيَّناً.

“Hadits maudhu’ (palsu) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhaif yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan apapun kecuali disertai dengan penjelasan”.[8]

Inti dari penjelasan Imam Nawawi di atas adalah hadits maudhu’ itu sebenarnya bukanlah hadits Nabi, tetapi dipalsukan sebagai hadits Nabi. Pemalsu hadits mengatakan bahwa apa yang diriwayatkannya adalah hadits Nabi, padahal sebenarnya bukan hadits. Isi hadits palsu tidaklah selalu buruk atau bertentangan dengan ketentuan umum ajaran Islam. Hal itu dapat dimengerti bahwa sebagian dari tujuan pembuatan hadits maudhu’ adalah untuk kepentingan dakwah dan ajakan hidup yang zuhud. Walaupun demikian haram hukumnya meriwayatkan hadits maudhu’ kecuali dengan penjelasan kepalsuannya.
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.

“Barangsiapa berdusta atas diriku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)

Jika dilihat dari konteksnya, setidaknya ada dua bentuk hadits maudhu’:
Perkataan itu berasal dari pemalsu, kemudian disandarkan kepada Rasulullah Saw., sahabat maupun tabiin.
Pemalsu mengambil perkataan itu dari sebagian sahabat, tabiin, sufi, ahli hikmah, orang zuhud atau israiliyyat dan kemudian disandarkan kepada Nabi Saw.
Contoh hadits maudhu’ yang diambil dari perkataan sahabat adalah:

أحب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما, وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوم ما

Yang benar perkataan tersebut adalah milik Ali ra., dan bukan hadits Nabi Saw.
Tema israiliyat yang banyak dinisbatkan kepada Nabi, sahabat maupun tabiin adalah kisah awal mula penciptaan, kisah umat terdahulu, penciptaan alam semesta, kisah para nabi dan lain sebagainya.
Sumber : (https://onlyalthof.wordpress.com/2012/03/25/israiliyat-dan-hadits-hadits-maudhu-dalam-buku-buku-tafsir/)










Disqus Comments