Jumat, 23 Desember 2016
Syarat – syarat menjadi penafsir al-qur’an dan adab-adabnya
Syarat – syarat menjadi penafsir al-qur’an dan adab-adabnya
Adab – adab Mufassir
Beberapa adab yang telah ditetapkan keatas para Mufassir memperbolehkan mentafsir ayat-ayat al qur-an diantaranya :
1. Niat dan tujuan yang baik, kerana setiap amal perbuatan bergantung kepada niat. Orang-orang yang melibatkan diri dalam pentafsiran Al-Qur’an perlu memiliki adab ini dan perlu menjauhkan diri daripada tujuan-tujuan duniawi yang akan mengheret mangsanya ke arah kehinaan.
2. Berakhlak mulia kerana mufassir adalah bagaikan seorang pendidik yang didikannya tidak akan mempengaruhi jiwa seseorang selama ia tidak menjadi role model kepada masyarakat meneruskan budi pekerti yang mulia.
3. Taat dan beramal kerana sesuatu ilmu akan mudah diterima oleh orang-orang yang mempraktikannya berbanding dengan orang-orang yang hanya memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi tetapi tidak beramal dengannya. Tingkah laku yang mulia hasil daripada ilmu pengetahuan dan amalannya akan menjadikan seseorang mufassir sebagai sumber inspirasi yang baik kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah agama sebagaimana yang disarankan olehnya.
4. Berjiwa mulia, kerana seseorang yang mempunyai pengetahuan yang tinggi perlu menjauhkan diri daripada perkara-perkara remeh dan tidak pula mengharapkan pangkat dan penghormatan manusia.
5. Bersikap tawadu` dan lemah lembut kerana kesombongan ilmiah adalah dinding yang menghalangi seseorang yang berilmu daripada memanfaatkan ilmunya kepada dirinya sendiri dan juga orang lain
6. Tegas dalam menyampaikan kebenaran kerana jihad yang paling utama ialah menyampaikan kebenaran di hadapan pemerintah yang zalim.
7. Mendahulukan orang-orang yang lebih utama daripada dirinya sendiri.
8. Menggaris dan mengemukakan langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik, seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, erti perkataan, menerangkan susunan perkataan, memberi penerangan kepada aspek-aspek balaghah dan i`rab yang mana penentuan makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu serta membuat kesimpulan dan menentukan hukum.
Syarat-Syarat Mufassir
1. Akidah yang benar. Syarat yang pertama ini adalah adalah syarat yang paling penting kerana akidah memainkan peranan yang besar kepada setiap mufassir dan menjadi faktor pendorong kepada seseorang mufassir untuk melakukan penyelewengan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan juga penipuan dalam periwayatan. Mereka juga mudah terdorong kepada mazhab-mazhab yang menyeleweng dengan mengemukakan pentakwilan yang bertentangan dengan akidah yang benar.
2. Bersih daripada hawa nafsu kerana ia akan mendorong dirinya membela dan menegakkan kepentingan dan keperluan mazhabnya semata-mata sehingga ia berupaya menipu manusia lain dengan ucapan-ucapan lembut dan keterangan-keterangan yang menarik minat seseorang seperti yang dilakukan oleh golongan yang menyeleweng daripada ajaran Islam.
3. Mendahulukan tafsir Al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri, di mana perkara yang diterangkan secara ringkas di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain.
4. Mentafsirkan Al-Qur’an dengan al-Sunnah karena al-Sunnah adalah penjelasan daripada al-Qur’an. Sunnah Nabawiyah berfungsi untuk mensyarah Al-Quran, menjelaskan yang mujmal (umum), memuqayyadkan yang mutlak, mengkhususkan yang umum, menerangkan yang mubham (tidak dierti), mentafsirkan yang musykil (rumit), mendetilkan yang ringkas, menyingkap bahagian yang samar, dan memperlihatkan maksudnya.
5. Jika tidak terdapat tafsiran Al-Qur’an dari Al-Sunnah, maka hendaklah dirujuk kepada pandangan para sahabat karena mereka lebih memahami perkara tersebut disebabkan mereka telah menyaksikan penurunan wahyu dan latar belakangnya.
6. Merujuk kepada pendapat tabi`in jika tidak terdapat tafsiran para sahabat dengan syarat terdapat pada riwayat yang sahih.
7. Mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pentafsiran, ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan erat dengan i`rab perkataan dan tatabahasa.
(Sumber : http://faizalmulia.blogspot.co.id/2009/10/adab-dan-syarat-mufassir-umkl.html)
Sejarah Ilmu Tafsir
a. Tafsir Pada Masa Rasulullah Dan Sahabat.
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:
a. Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas.
b. Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab.
c. Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim:
"Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikankemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
b. Tafsir di Masa Tabi’in
Ada beberapa tempat yang oleh tabi’in dijadikan sebagai pusat perkembangan ilmu tafsir. Para tokoh tabi’in mendapatkan qaul-qaul sahabat di tiga tempat yaitu Makkah, Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu Abbas r.a. seperti Mujahid, ‘Atho’ ibn Abi Riyah, ‘Ikrimah, Jubair, Thawus, dan lain-lain. Begitu juga di Kufah ada murid-murid Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama Madinah di bidang tafsir seperti Zaid Ibnu Aslam.”
Sebagaimana para sahabat, tabi’in pun ada yang menerima tafsir dengan ijtihad ada pula yang menolaknya. Golongan yang tidak membolehkan mengkritik orang yang membolehkan dengan beberapa hadis, seperti
من تكلّم في القرأن فأصاب فأخطأ
Diantara tabi’in yang menolak metode tafsir bi al-ijtihad adalah Sa’id Ibn al-Musayyab dan Ibnu Sirin. Diantara tabi’in yang membolehkan seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.
Para tabi’in juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada Israiliyyat dan Nasraniyyat. Mereka menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan Nashrani yang masuk Isam, kemudian mereka memasukkannya kedalam tafsir. Menurut keterangan yang ditulis Hamka, para mufassir saat itu sangat berbaik sangka kepada pembawa berita. Mereka menganggap orang yang telah masuk Islam tidak mau berdusta. Oleh sebab itu, para mufassir saat itu tidak mengoreksi lagi khabar-khabar yang mereka terima.
c. Tafsir di Masa Tadwin
Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun demikian, ayat-ayat al-Quran yang ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai dengan susunan mushaf.
Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama mengumpulkan hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang tafsir. Mereka mengumpulkan hadis bahkan dengan mengambilnya dari berbagai kota. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis dari berbagi daerah ini adalah: Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-hadis lainnya dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut penelitian Ibnu Nadim, orang yang pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia melakukannya atas permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-muridnya di masjid setiap hari Jum’at.
Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pula ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-Kisaiy mengi’rabkan al-Quran. Para ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab yang dinamakan dengan Ma’ani al-Quran.
Sumber (http://sina-na.blogspot.co.id/2014/09/makalah-sejarah-perkembangan-ilmu-tafsir.html)
Cara-cara mentafisr al qur’an yang diakui ulama.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:
• Menafsirkan Alquran dengan Alquran
• Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah
• Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat
• Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in
• Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Al Quran ialah:
• Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.
• Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Alquran.
• Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
• Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
• Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5).
Israiliyat dan maudhuat dalam kitab Tafsir.
Contoh Kitab Tafsir yang Memuat Kitab Israiliyyat
Jamiiul Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
Tafsir ini disusun oleh Ibnu Jarir Al-Thabariy (224-310), seorang yang dikenal faqih, mufassir, dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Disebut-sebut sebagai Tafsir yang paling unggul dalam tafsir bil-Ma’tsur. Paling shahih dan terkumpul di dalamnya pernyataan para sahabat dan tabi’in. Tafsir ini dianggap sebagai referensi utama para mufassir. Bahkan sampai Imam An-Nawawi berkata, “Kitab Ibnu jarir dalam tafsir tidak ada duanya.”
Bagi sebagian kalangan, dalam tafsir ini terdapat beberapa riwayat Israiliyyat dan ini dianggap kesalahan. Riwayat itu banyak berasal dari Ka’ab Al-Ahbar, Wahhab bin Munabbih, Ibnu Juraij, As-Sudi dan lain-lain.
Salah satu contoh beliau menafsirkan surat Al-Kahfi ayat 94:
“Mereka berkata: Hai Zulkarnain, ya’juj dan ma’juj itu perusak di muka bumi.”
Ibnu Jarir Al-Thabariy menyebutkan riwayat dengan isnad yang menyatakan: “Telah menceritakan kepada kami Humaid”; ia berkata:”telah menceritakan kepada kami salamah” ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq, yang berkata, “Telah menceritakan kepada kami salah seorang ahli kitab yang telah masuk Islam, yang suka menceritakan kisah-kisah asing:“dari warisan-warisan cerita yang diperoleh, dikatakan bahwa Zulkarnain termasuk salah seorang penduduk Mesir. Nama lengkapnya Mirzaban bin Murdhiyah, bangsa Yunani keturunan Yunan bin Yafits bin Nuh dan seterusnya.”
Oleh para muhaqqiq seharusnya Ibnu jarir tidak menukil riwayat-riwayat yang belum jelas kesahihannya berkenaan dengan Israiliyyat. Namun, bagaimanapun juga beliau selalu menulis lengkap sanad-sanad riwayat yang dinukilnya.
Hadits Maudhu’ (Palsu)
Secara etimologis merupakan bentuk isim Maf’ul dari يضع – وضع. Dalam bahasa arab kata وضع memiliki beberapa makna. Antara lain menggugurkan, mengada-ada, dan membuat-buat.
Sedangkan menurut istilah, Imam Nawawi mengatakan:
هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ وَشَرُّ الضَّعِيْفِ، وَيَحْرُمُ رِوَايَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِهِ فِيْ أَيِّ مَعْنًى كَانَ إِلاَّ مُبَيَّناً.
“Hadits maudhu’ (palsu) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhaif yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan apapun kecuali disertai dengan penjelasan”.[8]
Inti dari penjelasan Imam Nawawi di atas adalah hadits maudhu’ itu sebenarnya bukanlah hadits Nabi, tetapi dipalsukan sebagai hadits Nabi. Pemalsu hadits mengatakan bahwa apa yang diriwayatkannya adalah hadits Nabi, padahal sebenarnya bukan hadits. Isi hadits palsu tidaklah selalu buruk atau bertentangan dengan ketentuan umum ajaran Islam. Hal itu dapat dimengerti bahwa sebagian dari tujuan pembuatan hadits maudhu’ adalah untuk kepentingan dakwah dan ajakan hidup yang zuhud. Walaupun demikian haram hukumnya meriwayatkan hadits maudhu’ kecuali dengan penjelasan kepalsuannya.
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.
“Barangsiapa berdusta atas diriku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)
Jika dilihat dari konteksnya, setidaknya ada dua bentuk hadits maudhu’:
Perkataan itu berasal dari pemalsu, kemudian disandarkan kepada Rasulullah Saw., sahabat maupun tabiin.
Pemalsu mengambil perkataan itu dari sebagian sahabat, tabiin, sufi, ahli hikmah, orang zuhud atau israiliyyat dan kemudian disandarkan kepada Nabi Saw.
Contoh hadits maudhu’ yang diambil dari perkataan sahabat adalah:
أحب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما, وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوم ما
Yang benar perkataan tersebut adalah milik Ali ra., dan bukan hadits Nabi Saw.
Tema israiliyat yang banyak dinisbatkan kepada Nabi, sahabat maupun tabiin adalah kisah awal mula penciptaan, kisah umat terdahulu, penciptaan alam semesta, kisah para nabi dan lain sebagainya.
Sumber : (https://onlyalthof.wordpress.com/2012/03/25/israiliyat-dan-hadits-hadits-maudhu-dalam-buku-buku-tafsir/)
Share this
Recommended
Disqus Comments