Sabtu, 24 Desember 2016

Hadits Shahih & Syaratnya




Bab I
Pendahuluan
A.    Tujuan Penulisan

Di zaman sekarang ini hadis bukanlah hal yang asing lagi dikalangan umat Islam. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab atau buku-buku yang memuat tentang berbagai macam hadis. Dikalangan umat Islam hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an. Dimana hadis berfungsi sebagai penjelas AlQur’an al Karim.

Semakin banyaknya kitab-kitab atau buku-buku tentang hadis membuat orang Islam semakin mengetahui banyak tentang hadits-hadis Nabi Muhammad SAW. Walaupun demikian, tidak sedikit pula orang-orang yang belum mengetahui hadis, baik tentang bentuk-bentuk hadits, maupun pembagian hadis menurut macam dan jenisnya. Banyak orang yang menggunakan dan mengamalkan hadis tanpa mengetahui apakah hadis itu sahih, hasan, atau dha’if. Bahkan yang lebih berbahaya lagi adalah hadis palsu. Padahal hadis yang semestinya digunakan adalah hadis sahih.
Dari penjelasan diatas penyusun akan sedikit menjelaskan tentang hadis sahih, syarat-syarat, serta contoh-contohnya.


BAB II
PEMBAHASAN
SYARAT-SYARAT HADIS SHAHIH


a.    Pengertian Hadis Shahih

I. Definisi Hadits Shahih

kata Shahih  ((الصحيخ )) dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim ((السقيم))  orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
Sehingga dapat disimpulkan hadits shahih menjadihadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).

Imam As-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
Sedangkan Imam Ibnu al-Shalah mendefinisikan Hadis Shahih sebaai berikutYaitu Hadis Musnad yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang adil dan dhabit, (yang diterimanya) dari perawi (yang lain) yang adil dan dhabith hingga ke akhir (sanad)-nya, serta Hadis tersebut tidak syadz dan tidak ber’illat.
Defisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:

pertama, apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur memahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafazhnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafazh, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafazh, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi shalallahu `alaihi wa sallam. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi shalallahu `alaihi wa sallam.

Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai berikut:
1.    Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai  perawi terakhir.
2.    Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti adil dan dhobith,
3.     Haditsnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan

4.     Para perawi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.

b.      Syarat-syarat Hadis Shahih
            Dari  definisi  tersebut dapat disimpulkan, bahwa suatu hadis dapat dinyatakan Shahih apabila telah memenuhi kriteria tertentu, yaitu: Syarat pada Sanad dan Syarat pada Matan .

•         Syarat Pada Sanad
Kriteria yang telah dirumuskan oleh para Ulama tentang syarat pada sanad nya adalah sebagai berikut :

1.      Sanad hadis tersebut harus bersambung
2.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3.      Seluruh periwayat oleh sanad bersifat dhabith
4.      Sanad hadis itu terhindar dari syadz (syuzuz)
5.      Sanad hadis itu terhindar dari ‘illat

1.      Sanad Hadis tersebut harus Bersambung


Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang berbeda di atasnya, dari awal sanad sampai ke akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hadis tersebut.[4]

Untuk membuktikan apakah antara sanad-sanad itu bersambung atau tidak, di antaranya dilihat dari usianya masing-masing dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya memungkinkan bertemu atau tidak. Selain itu, cara mereka menerima atau menyampaikannya ialah denan cara sama’(mendengar guru memberikan hadis dari perawi itu) atau munawalah (seorang guru memberikan hadis yang dicatatnya kepada muridnya). Atau dengan cara lain.


2.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
Artinya perawi hadis tersebut memiliki ketelitian dalam menerima hadis,memahami apa yang ia dengar,serta mampu mengingat dan menghafalkan sejak ia menerima hadis tersebut sampai pada masa ketika ia meriwayatkannya.
Secara umum telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadis, yakni , berdasarkan :

a.      Popularitas keutamaan periwayat dikalangan  utama ; periwayat  yang terkenal keutamaan pribadinya, misalnya : Malik bin Anas dan Sufyan al-Tsaury tidak lagi diragukan keadilannya.

b.      Penilaian para kritikus periwayat hadis; penilaian ini berisi pengungkapan kelebiha dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.

c.       Penerapan kaedah al-jahr wa al-ta’dil,cara ini ditempuh , bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. Jadi penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama,dalam hal ini ulama ahli kritik periwayat.

3.      Seluruh periwayat oleh sanad bersifat Dhabit

Dhabit menurut bahasa ialah “yang kokoh,yang kuat,yang tepat,yang hapal dengan sempurna. Sedangkan menurut istilah ialah “orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia kehendaki”. Atau Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya kembali.[5]
Dari definisi di atas bias dipahami bahwa seorang bisa disebut dhabit, apabila :
a. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didapatnya (diterimanya).
b. Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya.
c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafal itu dengan baik :
-      Kapan saja ia menghendakinya
-      Sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.[6]

Adapun cara penetapan kedhabitan seseorang periwayat , dapat dinyatakan sebagai berikut :
a.   Kedhabitan periwayatt dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.

b.   Kedhabitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaianriwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhabitan. Tingkat kesesuaiannya mungkin hanya sampai ketingkat makna atau mungkin ketingkatan harfiah

c.   Apabila seorang periwayat sesekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit. Tetapi jika kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.

Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua :
•        Dhabit Shadr(dhabit Fuad)
Artinya terpelihara hadis yang diterimanya dalam hapfalan, sejak ia menerima hadis tersebut sampai meriwayatkannya kepada orang lain, kapan saja periwayatan itu diperlukan.
•        Dhabit Kitab
Artinya terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, ia memahami dengan baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, dijaganya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.


4.      Sanad hadis itu terhindar dari syadz (syuzuz)

dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya. Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.

Sebenarnya kejanggalan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, karena para muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurangpastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat ke-dhabit-annya sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja.

5.       Sanad Hadis itu Terhindar dari ‘Illat (cacat)
Kata ‘illat yang terbentuk jama’nya ‘illa atau al-‘illai, menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Dengan pengerian ini, maka yang disebur hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya.
Maksudnya ialah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat haditsnya. Yakni hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat-cacat tersebut. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits yang shahih


•         Syarat Pada Matan
Kemudian perlu kita ketahui, bahwa hadis itu tidak dipandang shahih dengan karena sanadnya telah shahih, jika matannya nyatanya berlawanan dengan keterangan-keterangan yang lebih kuat dari padanya. Tidak cukup untuk menshahihkan sesuatu hadis, melihat dari sanadnya saja.

Menurut muhadditsin tampak beragam. Salah satu versi tentang criteria keshahihan matan hadits ialah bahwa suatu matan hadits dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan hadits yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
    tidak bertentangan dengan akal sehat
    tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hokum yang telah tetap)
    tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
    tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (Ulama Salaf)
    tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti
    tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.

Dibawah ini adalah contoh Hadis sahih yang mengandung ketiga unsur komponen-komponen hadis, yaitu sanad, matan dan rawi.

ايّوب حدّثنا : حدّثنا عبد الوهّاب الثقفيّ قال : حدّثنا محمّد بن المثنّى قال
عن النبيّ عن ابي قلابة عن انس بن مالك رضي الله عنه
، ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الايمان : عليه وسلّم قال صلّ الله
وان يحبّ المرٔ لا يحبّه الاّ لله ان يكون الله ورسوله احبّ اليه ممّا سواهما
ان يعود فى الكفر كما يكره ان يقذف فى النار وان يكره
-٭( رواه البخارى )٭-

Artinya :
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al Mutsniy, katanya, “ Telah meriwayatkan kepada kami Abdul Wahab Al Tsaqafiy, katanya, ‘ Telah meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, ‘ Ada tiga hal yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, orang itu akan merasakan manisnya iman. Hendaknya Allah dan Rasulnya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Hendaknya ia mencintai orang ( lain ) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan ke dalam neraka. ‘” ( H.R. Bukhari )

من كذب عليّ قال رسول الله صلّ الله عليه وسلّم : عن ابي هريرة قال

-٭( رواه مسلم )٭- فليتبوّأ مقعده من النّار متعمّدا
Artinya :
Dari Abu Hurairah r.a. Rosulullah saw. Bersabda, “ Barang siapa sengaja berdusta atas diriku, hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka.”
( H.R. Muslim )



c.       Macam-macam Hadis Shahih
Para ulama membagi hadis Shahih kepada dua, yaitu (i) Shahih Lidzatihi, dan (ii) Shahih Lighairihi.[13]

a.    Shahih li Dzatihi,
 yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:


حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ

رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ    ؟ قَالَ : ثُمَّ

 أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك 

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.

b.    Shahih li ghairihi,
yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain].Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة.  ٍ

“Hadis yang diriwayatkan oleh muhammad ibn ‘Amrin dari Abu Salamah dari Abu Huahirah, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : jikalau tidaklah memberatkan atas ummatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk ber-siwak setiap hendak sholat”

 Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).


D. Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perawinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.


Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawah tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a)      Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b)      Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c)      Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d)     Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e)      Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f)       Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g)      Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Hadis Shahih adalah Hadis yang brhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dhabit, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula ber ‘illat.
Syarat-syarat hadis sahahih ialah :
a.    Syarat pada Sanadnya

1.      Sanad hadis tersebut harus bersambung
2.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3.      Seluruh periwayat oleh sanad bersifat dhabith
4.      Sanad hadis itu terhindar dari syadz (syuzuz)
5.      Sanad hadis itu terhindar dari ‘illat

b.      Syarat pada Matannya

1.      tidak bertentangan dengan akal sehat
2.      tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hokum yang telah tetap)
3.      tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
4.      tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (Ulama Salaf)
5.     tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti
6.     tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.

Macam-macam Hadis Shahih ada 2, yaitu :

1.      Hadis Shahih Lidzatihi
2.      Hadis Shahih Lighairihi













Disqus Comments