Rabu, 18 Januari 2017

Tasawuf (Pengertian, Akhlak, dan Perkembangan Tasawuf )

Tasawuf (Pengertian, Akhlak, dan Perkembangan Tasawuf )

 

Halo Pembaca Caratipsahoi, kali ini saya ingin melampirkan mengenai makalah tentang pengertia tasawuf, akhlak tasawuf serta perkembangannya dari zaman ke zaman dan perkembangannya di indonesia, hal ini juga akan menjabarkan mengenai aliran-aliran tasawuf yang ada. untuk lebih jelasnya akan di jelaskan pada makalah ini ya.

BAB I

PENDAHULUAN


1.1     LATAR BELAKANG

Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah. Tulisan ini akan berusaha memberikan paparan tentang zuhud dilihat dari sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai dengan peralihannya ke tasawuf.

1.2    RUMUSAN MASALAH


1.2.1)      Apa pengertian akhlak dan tasawuf ?
1.2.2)   Bagaimana sejarah tasawuf ?
1.2.3)   Apa hakikat tasawuf ?
1.2.4)   Apa ajaran tasawuf ?
1.2.5)   Apa macam-macam aliran tasawuf ?
1.2.6)   Apa perdebatan tentang tasawuf ?
1.2.7)  Apa hubungan akhlak dan tasawuf ?

1.3 TUJUAN PENULISAN

    Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah memperoleh pengetahuan mengenai pengertian akhlak dan tasawuf


BAB II
PEMBAHASAN

1.2     Pengertian Akhlak dan Tasawuf


2.1.1 Pengertian Akhlak

Akhlak Menurut Bahasa
Akhlaq berasal dari bahasa arab, yaitu jama’ dari kata “khuluq” ( خلوق ) secara bahasa kata ini memiliki arti perangai atau yang mencakup diantaranya: sikap, prilaku, sopan, tabi’at, etika, karakter, kepribadian, moral dll. timbang”.

Akhlak Menurut Ulama
Menurrut Imam Maskawaih akhlak adalah suatu keadaan bagi jiwa yang mendorong seseorang melakukan tindakan – tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi menjadi dua: ada yang berasal dari tabi’at aslinya, dan ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang – ulang.

Kemudian Al – Ghozali mendifinisikan akhlak sebagai suatu ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang melahirkan macam – macam tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.

Sedangkan menurut syekh Muhammad Nawawi Al Jawiyydalam kitabnya “Murooqiyul ‘Ubudiyah” Akhlak adalah

 اخلاق حال للنفس داعية لها الي افعالها من غير فكر و لاروايةٍ 

“akhlak adalah kedaan didalam jiwa yang mendorong prilaku yang tidak terpikir dan tidak ditimbang”. Dalam buku lain dijeaskan bahwasanya akhlak menurut terminologi akhlak adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama:” Gambaran batin seseorang “. Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran :

•    Gambaran zhahir (luar): Yaitu bentuk penciptaan yang telah Allah jadikan padanya sebuah tubuh. Dan gambaran zhahir tersebut di antaranya ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan ada pula yang berada pada pertengahan di antara keduanya atau biasa-biasa saja.

•    Gambaran batin (dalam): Yaitu suatu keadaan yang melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatan- perbuatan, baik yang terpuji maupun yang buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berfikir atau kerja otak.

2.1.2    Pengertian Tasawuf

Tasawuf Menurut Bahasa
Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.

Ada beberapa pendapat tentang kata Tasawuf : 
•    Dr Abu al-Wafa ‘ al-Ghanimi at-Taftazani : Kata tasawuf yang berkaitan dengan kata sufi hanyalah merupakan sebutan atau gelar, dan tidak terdapat dalam akar kata bahasa arab.

•     Dr. Zaky Mubarok : Kata tasawuf tidak dapat dipastikan dari mana asalnya. Kata tasawuf mungkin dari berasal dari kata ash-shuf, yang artinya bulu,. Karena orang-orang sufi itu pada umumnya mencirikan dirinya dengan memakai pakaina dari bulu domba.

•    Prof. Dr. Harun Nasution : Shuf adalah kain yang terbuat dari bulu atau disebut wol. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol yang kasar yang merupakan simbol kesederhanaan. Ash- Shuffah , nama serambi Masjid Nabawi di Madinah yang biasanya ditempati oleh orang- orang fakir dari golongan Muhajirin dan Anshar yang ikut berhijrah bersama Nabi. Karena  meninggalkan harta bendanya maka mereka tidak mempunyai apa-apa lagi. Mereka tinggal di serambi masjid dan tidu diatas pelana kuda yang disebut suffah, olehkarena itu mereka dijuluki ahl-suffah. Kendati mereka miskin namun mereka berhati mulia. Tasawuf berasal dari kata shafa’ yang artinya suci, Jadi maksudnya adalah mereka itu menyucikan dirinya melalui latihan, yang kita sebut riyadhah.

•    Menurut al-Qusyairi dan AT-Thusy : Tasawuf berasal dari kata ash-shaff, yang dinisbatkan kepada orang-orang yang ketika sholat berada di shaf terdepan. Sebagaimana orang yang berada di shaf pertama dalam jamaah sholat itu mendapatkan kemuliaan, maka orang-orang penganut tasawuf ini dimuliakan oleh allah. Kata Tasawuf berasal dari kata ash-Shifah yang artinuya sifat, dimana orang-orang penganut tasawuf itu lebih mementingkan sifat-sifat mahmudah (terpuji) dan meninggalkan sifat-sifat tercela (madzmumah).

Tasawuf Menurut Ulama dan Ahli

DR.YUSUF AL-QARDHAWI (Ketua Ulama Islam Internasional dan juga guru besar Universitas al Azhar. Beliau merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini) di dalam kumpulan fatwanya mengatakan:”Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah,ubudiyyah,dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.

ABU ‘ALA AL MAUDUDI “Dalam Mabadi’ al-Islam(hal.17),”Tasawuf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw,dimana seseorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka(cinta),dan seseorang meniadakan dari segala sesutau selain cinta Allah dan Rasul”.

Syaikh Ibn Ajiba (pensyarah kitab al-Hikam) menyatakan bahwa tasawuf ialah ilmu yang membawa anda agar bersama Tuhan Yang Maha Ada, melalui penyucian batin dan memepermanis dengan amal shaleh. Jalan tasawuf diawali dengan ilmu, tengahnya amal, dan akhirnya adalah karunia Ilahi.

 Sayyed Hossein Nasr menyatakan bahwa tasawuf ialah melatih upaya jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi dan mendekatkanya kepada allah sehingga jiwanya bersih serta memancarkan akhlak mulia.

Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani (Sufi dari zaman ke zama) menyatakan bahwa tasawuf ialah sebuah pandangan filosofis terhadap kehidupan yang bertujuan mengembangkan moralitas jiwa manusia dan dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis tertentu, sehingga perasaan menjadi larut dalam hakikat transendental. Pendekatan yang digunakan ialah dzauq (cita rasa) yang menghasilkan kebahagiaan spiritual. Pengalaman yang muncul pun tidak kuasa diekspresikan melalui bahasa, karena begitu emosional dan personal.

H. M. Amin Syukur (“Intelektualisme Tasawuf”) menyatakan bahwa tasawuf ialah sistem latihan dengan kesungguhan (riyadhah mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memeperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) sehingga segala perhatian hanya tertuju kepadaNya.

Drs Samsul Munir Amin M.A.(Ilmu Tasawuf) menyatakan bahwa tasawuf ialah usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya menjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupan, dan menemukan kebahagiaan spiritualitas.

  Asy-Syekh Muhammad Amin al-Qurdy menyatakan bahwa tasawuf adalah Suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya).

Menurut Abu Muhammad Al-Jurairi mengatakan,”Tasawuf adalah masuk ke dalam budi/aklak menurut contoh yang di tinggalkan oleh Nabi dan keluar dari budi/aklak yang rendah.
Menurut Dr. Hamka menyatakan tasawuf ialah membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau alam, dengan tujuan untuk mempermudah menuju kepada Allah.
Menurut Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshory, Tasawuf adalah ilmu yang menerangkan hal-hal tentang cara mensucikan jiwa, memperbaiki aklak dan pembinaan kesejahteraan lahir batin untuk mencapai kebahagiaan abadi

1.3    Sejarah Perkembangan Tasawuf


Menurut sejarah, orang yang pertama kali memakai kata “sufi” adalah Abu Hasyim al Kufi (zahid Irak, w. 150). Sedangkan menurut Abdul Qosim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talha bin Muhammad al Qusyairi (tokoh sufi dari Iran 376-465 H), istilah ”tasawuf” telah dikenal sebelum tahun 200 H. Tetapi ajaran pokok yang selanjutnya merupakan inti tasawuf itu baru muncul secara lengkap pada abad ke 3 Hijriyah. Pada abad ke 2 Hijriyah itu belum diketahui adanya orang-orang yang disebut sufi yang terlihat adalah aliran Zuhud (penganutnya disebut zahid).

Seperti diketahui dalam sejarah, para zahid besar dalam abad ke 2 H. (seperti al Hasan al Basri, abu Hasyim al Kufi, Sufyan as Sauri, Fudail bin Iyad, Rabi’ah al Adawiyah dan Makruf al Karkhi) dan lebih-lebih lagi mereka yang hidup pada abad2-abad berikutnya (eperti al Bistaami, al Halaj, Junaid al Bagdadi, al Harawi, al Gazali, Ibn Sab’in, Ibni Arabi, abu al Farid, Jalaluddin ar Rumi) telah mengolah atau mengembangkan sikap atau emosi agamadalam hati mereka dengan kesungguhan yang luar biasa. Sebelum munculnya Ar Rabbi’ah al Adawiyah (w.185 H) tujuan tasawuf yang diupayakan oleh para zahid menurut penilaian para ahli, tidak lain dari terciptanya kehidupan yang diridhai oleh Tuhan didunia ini, sehingga di akhirat terlepas dari azab Tuhan (neraka) dan memperoleh surga-Nya.

Untuk tiba pada identifikasi akhir tasawuf denga thariqah, yang kita ketahui terjadi pada abad ke 3 H, kita harus meneliti apa yang sebenarnya terjadi dalam tradisi Islam yang mengakibatkan timbulnya tasawuf. Ada sejumlah peristiwa yang berlangsung pada masa itu, yang kesemuanya membuat tasawuf mengemuka : 1) kecenderungan mencampuradukan asketisme dengan jalan itu; 2) semakin mantapnya aliran-aliran yurisprudensi eksetorik; 3) pernyataan-pernyataan kaum syi’ah mengenai para imam; 4) munculnya filsafat Islam; 5) meningkatnya formalism ahli-ahli hokum; dan 6) tuntutan untuk memastikan bahwa pesan integral dari wahyu, sejak saat itu dikaitkan dengan tasawuf. Jika diperhatikan keenam hal tersebut, kelihatan kaitan erat dengan kemunculan tasawuf.

Tasawuf yang sering kita temui dalam khazanah dunia islam, dari segi sumber perkembangannya, ternyata muncul pro dan kontra, baik dikalangan muslim maupun dikalangan non muslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf islam merupakan sebuah faham yang bersumber dari agama-agama lain. Pandangan ini kebanyakan diwakili oleh para orientalis dan orang-orang yang banyak terpengaruh oleh kalangan orientalis ini.

Dengan tidak bermaksud untuk tidak melibatkan diri pada persoalan pro dan kontra itu, dalam tulisan ini, kami akan mempertengahkan paham tasawuf dalam tinjauan yang lebih universal karena tentang asal usul atau ajaran tasawuf, kini semakin banyak orang menelitinya. Kesimpulannya perbedaan paham itu disebabkan pada asal usul tasawuf tersebut. Sebagian beranggapan bahwa tasawuf berasal dari masehi (Kristen), sebagian lagi mengatakan dari unsur Hindu-Budha, Persia, Yunani, Arab, dan sebagainya. Untuk itulah, kami akan menguraikan asal usul tasawuf dalam konteks kebudayaan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah tasawuf yang ada di dunia islam terpengaruhi dengan konteks kebudayaan tersebut atau tidak.

1.      Unsur Nasrani (Kristen)
Bagi mereka yang berbbanggpan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani, mendasarkan argumennya pada dua hal. Pertama, adanya interaksi antara orang Arabdan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman islam. Kedua adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran  cara  mereka melatih jiwa dan mengasingkan diri dengan kehidupan Al-masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.

2.      Unsur Hindu Budha
Tasawuf dan system kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi, cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.

3.      Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani seperti Filsafat, telah masuk ke dunia islam pada akhir Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani.

4.      Unsur Persia dan Arab
Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama manu dan mazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dan paham Hormuz dalam agama zarathustra.

  Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf Dalam Islam

1.      Pertumbuhan Tasawuf
Jauh sebelum lahirnya agama islam, memang sudah ada ahli Mistik yang menghabiskan masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya; antara lain terdapat pada India Kuno yang beragam Hindu maupun Budha. Orang-orang mistik tersebut dinamakan Gymnosophists oleh penulis barat dan disebut al-hukama’ul uroh oleh penulis Arab. Yang dapay diartikan sebagai orang-orang bijaksana yang berpakaian terbuka. Hal tersebut dimaksudkan, karena ahli-ahli mistik orang-orang India selalu berpakaian dengan menutup separuh badannya.
Selanjutnya dapat dikemukakan beberapa nash yang mengandung ajaran tasawuf yaitu:

a.      Nash-nash al-qur’an, antara lain QS; Al-Ahzab ayat 41-42 yang artinya: : Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya di waktu pagi dan petang”.

b.      Nash-nash hadits yang antara lain artinya berbunyi;” Bersabda Rosulullah saw: takutilah firasat orang-orang mu’min, karena ia dapat memandang dengan nur (petunjuk Allah). H.R.Bukhary yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudriyyi.
Kehidupan Rosulullah saw yang menggambarkan kehidupan sebagai sufi yang sangat sederhana, karena beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang sebenarnya merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf.

2.      Perkembangan Tasawuf

a)      Pada abad pertama dan kedua Hijriyah


1)      Perkembangan tasawuf pada masa sahabat
Para sahabat juga mencontohi kehidupan rosulullah yang serba sederhana, dimana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada tuhannya.
Beberapa sahabat yang tergolong sufi di abad pertama, dan berfungsi sebagai maha guru bagi pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik kepada kehidupan shufi, para sahabat-sahabat tersebut antara lain, Khulafaurrasyidin, Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr Al-Ghifary, dll.

2)      Perkembangan tasawuf pada masa tabi’in
Ulama-ulama sufi dari kalangan tabi’in adalah murid dari ulama-ulama sufi dari kalangan shahabat. Kalau berbicara tasawuf dan perkembangannya pada abad pertama, dengan mengemukakan tokoh-tokohnya dari kalangan shahabat, maka pembicaraan perkembangan tasawuf pada abad kedua dengan tokoh-tokohnya pula. Tokoh-tokoh ulama sufi Tabi’in antara lain, Al-Hasan Al-Bashry,Rabi’ah Al-Adawiyah, Sufyaan bin sa’id Ats-Tsaury, Daud Ath-Thaaiy, dll.

b)      Pada abad ketiga dan keempat hijriyyah.


1)      Perkembangan tasawuf pada abad ketiga hijriyyah
Pada abad ini perkembangan tasawuf pesat, hal ini ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya ke dalam tiga macam, yakni; Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan Metafisika. Tokoh-tokoh sufi pada masa ini diantaranya; Abu Sulaiman Ad-Daaraany, Ahmad bin Al-Hawaary Ad-Damasqiy, Abul Faidh Dzuun Nun bin Ibrahim Al-Mishry, dll.

2)      Perkembangan tasawuf pada abad ke empat hijriyyah
Pada abad ini ditamdai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan kemajuannya di abad ketiga hijriyyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Tokoh-tokoh sufinya antara lain Musa Al-Anshaary, Abu Hamid bin Muhammad, Abu Zaid Al-Adamy, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab, dll.

c)      Pada abad kelima hijriyyah

Disamping adanya pertentangan yang turun temurun antara Ulama sufi dengan ulama Fiqih, maka pada abad kelima ini, keadaan semakin rawan ketika berkembangnya mahzab Syi’ah ismaa’iliyah; yaitu suatu mahzab yang hendak mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Karena menganggapnya bahwa dunia ini harus diatur oleh imam, karena dialah yang langsung menerima petunjuk dari Rosulullah saw.

Menurut mereka ada 12 imam yang berhak mengatur dunia ini yang disebut sebagai imam mahdi, yang akan mmenjelma ke dunia dengan membawa keadilan dan memurnikan agama islam. Kedua belas imam itu adalah:

•         Ali bin Abi Thalib
•         Hasan bin Ali
•         Husein bin Ali
•         Ali bin Husein
•         Muhammad Al-Baakir bin Ali bin Husein
•         Ja’far shadiq bin Muhammad Al Baakir
•         Musa Al-Kazhim bin Ja’far Shadiq
•         Ali Ridhaa bin Kazhim
•         Muhammad Jawwad bin Ali Ridha
•         Ali Al-Haadi bin Jawwaad
•         Hasan Askary bin Al-Haadi
•         Muhammad bin Hasan Al-Mahdi

d)     Pada abad keenam, ketujuh dan kedelapan Hijriyyah


1)      Perkembangan tasawuf pada abad keenam Hijriyyah; abad ini suasana kemelut antar ulama syariat dengan ulama Tasawuf memburuk, karena dihidupkannya lagi pemikiran-pemikiran al-Huluul, Widatul wujud dan Widatul Adyan oleh kebanyakan ulama Tasawuf. para ulama yang sangat berpengaruh pada zaman ini adalah Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy, Al-Ghaznawy,

2)      Perkembangan tasawuf pada abad ketujuh Hijriyyah; pada abad ini tercatat dalam sejarah bahwa masa menurunnya gaerah masyarakat Islam untuk mempelajari Tasawuf karena :

(a)    Semakin gencarnya serangan ulama syariat memerangi ahli Tasawuf, yang diiringi dengan serangan golongan Syiah yang menekuni ilmu kalam dan fiqih

(b)   Adanya tekat penguasa pada masa itu untuk melenyapkan ajaran Tasawuf di dunia Islam karena dianggap kegiatan itu menjadi sumber perpecahan umat Islam. ada beberapa ahli tasawuf yang berpengaruh di abad ini diantaranya; Umar Abdul Faridh, Ibnu Sabi’iin, Jalaluddin Ar-Ruumy, dll.

3)      Perkembangan Tasawuf pada abad kedelapan Hijriyyah; Perkembangan Tasawuf abad ini tidak terdengar perkembangannya dan pemikiran baru dalam Tasawuf, meskipun banyak pengarang kaum shufi yang mengemukakan pemikiran tentang ilmu Tasawuf, namun kurang mendapat perhatian sungguh-sungguh dari umat Islam. Sehingga nasib ajaran Tasawuf hampir sama dengan abad ketujuh.

e)      Pada abad kesembilan, kesepuluh Hijriyyah dan sesudahnya.

Dalam beberapa abad ini, betul-betul ajaran tasawuf sangat sunyi di dunia islam, artinya nasibnya lebih buruk lagi dari keadaannya pada abad keenam, ketujuh dan kedelapan Hijriyyah. Factor yang menyebabkan runtuhnya ajaran tasawuf ini antara lain; ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat islam. Serta adanya penjajah bangsa eropa yang beragama Nasrani ynag menguasai seluruh negeri islam.
   Tahap-tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf
Praktik - praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang disebutkan di atas. Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap :

1.      Tahap Zuhud

Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi


2.      Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)

Pada tahap ini, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagian ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami dalam aliran ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfan (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma'rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.

3.      Tahap Tarekat (Abad ke 7 dan seterusnya)

Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Al Qasim Al Juanid Al Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa ini tarekat berkembang dengan pesat.
Seperti tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (Wilayah Iran sekarang); Tarekat Rifa'iyyah didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawardi (w. 563 H). Tarekat Naqsabandiyah yang memiliki pengikut paling luas, tarekat ini sekarang telah memiliki banyak variasi , pada mulanya didirikan di Bukhara oleh Muhammad Bahauddin Al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.

F.     Perkembangan Tasawuf Di Indonesia

Tersebarnya ajaran tasawuf di Indonesia tercatat sejak masuknya agama islam di Negara ini. Ketika pedagang-pedagang muslim mengislamkan orang-orang Indonesia, tidak hanya menggunakan pendekatan bisnis, tetapi juga mengguanakan pendekatan tasawuf.

1.      Perkembangan Tasawuf di pulau Jawa

Penyebaran ajaran Islam dipulau Jawa adalah Wali songo dengan menggunakan pendekatan mistik, yang didalamnya diisi dengan ajaran Tasawuf. Mereka dalam menentukan taktik dan srategi, mula-mula dalam menyebarkan dakwahnya melalui pendekatan mistik atau Tasawuf unr\tuk mengislamkan masyarakat di pulau Jawa karena dilatar belakangi oleh kepercayaan agama Hindu Budha yang berinti ajarannya adalah mistik. Pendekatan tahap ini tidak memperketat kemurnian ajaran Islam, karena merupakan suatu taktik dan strategi dakwahnya tetapi tahap selanjutnya baru dilakukan pemurnian ajaran Islam.dalam perkembangan Tasawuf di pulau Jawa dimana mereka dihadapkan dua ailran Tasawuf yang bertentangan yaitu aliran Sunni atau salaf dan alira Falsafati. Aliran Sunni dikembangkan oleh masyarakat Muslim dengan tidak meninggalkan unsur-unsur keIslaman.

2.      Perkembangan Tasawuf di sumatera

Ulama-ulama yang berpengaruh di sunatera yaitu

a)      Syeh Hamzah Pansuri, beliau salah satu penyebab ajaran Tasawuf dapat dikenal oleh orang banyak, karena kemampuannya membuat karya tulis yang bermutu tinggi; baik prosaya merupakan buku yang menguasai syair-syair maupun prosa yang berintikan ajaran Tasawuf.

b)      Syeh Syamsudin bin Abdillah as-Sumatrany, beliau belajar ilmu Tasawuf pada syeh hamzah pansuri di Sunan Bonang. Dia lebih giat menulis buku Tasawuf dari pada gurunya dan keberhasilannya karena ditunjang oleh dana yang memadai.

3.      Perkembangan Tasawuf dikalimantan

Salah seorang shufi’ yang terkemuka di Kalimantan barat adalah syeh Ahmad Khatib as-Syambasih, beliau banyak berguru kepada Ulama shufi yang berkainan aliran dengannya. Sehingga segala macam tarekat memasukinya dan sempat menguasai seluk beluk tarekat tersebut karena ketekunannya berlajar dan cita-citanya untuk menguasai berbagai aliran ilmu Tasawuf maka banyak ulama Tasawuf yang menimba ilmu kepadanya.

4.      Perkembangan Tasawuf di pulau sulawesi

Ajaran Tasawuf dipulau ini bercorak sunni dam falsafati Karena kebanyakan penganut Tasawuf falsafati mencampur baurkan ajaran Tasawuf dengan ilmu hitam. Sehingga semakin membingungkan masyarakat awam, hal ini yang membuat masyarakat kurang minat belajar Tasawuf. Namun berkat kemampuan karomah yang dimiliki oleh ulama yang bernama Syeh Yusuf Tajul Khalwati al-Makassary yang ajaran Tasawufnya beraliran sunni dapat mengajarkan ilmunya kepada masyarakat meskipun ia sendiri masih merasakan kekurangan ilmu.

1.4    Hakikat Tasawuf 

Ibrahim Basyuni, sebagaimana disebutkan oleh Amin Syukur (2000: 12) mengklasifikasikan definsi tasawuf ke dalam tiga carian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, Al-bidayah, kedua, Al-Mujahadah, ketiga, Al-Mazaqat.

     Elemen pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara fitri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena di balik yang ada terdapat realitas mutlak. Elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf. Contohnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhi: “Tasawuf adalah mencari hakikat, dan memutuskan apa yang ada pada tangan makhluk.”

     Elemen kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang mengatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak.

     Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
  
  Dengan demikian, pada dasarnya, hakikat tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah)—spiritual, psikologis, keilmuan, dan jasmaniah—yang dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam kitab suci. (Haidah Bagir, 1999: 7)


1.5      Ajaran Tasawuf

Sebenarnya inti dari ajaran tasawuf adalah pencapaian kesempurnaan serta kesucian jiwa. kebersihan jiwa yang dimaksud adalah merupakan hasil perjuangan (mujahadah) yang tak henti-hentinya, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam mengontrol dri pribadi, setia dan senantiasa merasa di ahadapan Allah swt. (HM. Amin Syukur, 2002: 165)

Untuk mencapai hal tersebut, tidak ada lain kecuali membutuhkan latihan-latihan mental yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan disiplin tingkah laku yang ketat. (HM. Amin Syukur, 2002: 166)

Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati atau jiwa manusia itu sebagai cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat. Jika tertutup oleh noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuat manusia. Namun apabila manusia tersebut mampu menghilangkan titik-titik noda yang senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tadi akan gampang menerima apa-apa yang bersifat suci dri pancaran nur ilahi, dan bahkan lebih dari itu, hati/jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa. (HM. Amin Syukur, 2002: 166)

Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang, takhalliy, tahalliy, dan tajalliy.
Takhalliy berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-kotoran dan penyakit hati yang merusak. Adapun sifat-sifat atau penyakit hati yang perlu diberantas adalah: hirshu (keinginan yang berlebih-lebihan terharap masalah keduniawiaan), hasud (iri dan dengki), takabbur (keseombongan), ghadhab (marah), riya’ dan sum’ah, ujub, dan syirik.

Tahap kedua adalah tahalliy, yaitu menghias diri dari jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap perbuatan yang baik, berusaha agar dalam setiap gerak dan perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama. Dari sekiab banak sifat-sifat terpuji, maka yang perlu mendapat perhatian antara lain: tauhid, taubah, zuhud, cinta (hubb), wara’, sabar, faqr, syukur, muraqabah dan muhasabah, ridha, tawakkal.
Setelah seseorang sanggup melalui dua tahap tersebut, maka ia akan sampai pada tahap ketiga, yakni tajalliy. Tajalliy berarti lenyap/hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah) atau terangnya nur yang selama itu bersembunyi (ghaib); atau fana’ segala sesuatu (selain Allah) ketika nampak wajah Allah. Pencapaaian tajalliy tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq dengan alat qalb (hati nurani). Qalb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih apabila dibandingkan dengan kemampuan akal. (HM. Amin Syukur, 2002: 166-186)

1.6    Aliran Tasawuf

Orang yang pertama memberikan perhatian kepada tumbuhnya aliran-aliran dalam tasawuf Islam itu adalah Fakhruddin Al Razi. Secara garis besar, alam pemikiran tasawuf dalam Islam telah melahirkan tujuh aliran besar. Ketujuh aliran itu adalah :

1.      Aliran Ittihad (bersatunya manusia dengan tuhan)

Ittihâd berasal dari kata ittahad-yattahid-ittihâd (dari kata wâhid) yang berarti bersatu atau kebersatuan. Sedangkan ittihâd menurut Abû Yazîd al-Busthâmî secara komprehensif maupun secara etimologis berarti integrasi, menyatu, atau persatuan. Dan secara istilah, ittihâd merupakan pengalaman puncak spiritual seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta, dan mengenal Allah sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Allah. Ittihâd dicapai dengan beberapa proses (maqâmât) dengan tazkiyat al-nafs hingga melewati mahabbah dan ma‘rifah kemudian mengalami fanâ’ dan baqâ’ sebagai pintu gerbang menuju ittihâd. Dengan kata lain sebelum mengalami ittihâd para sufi harus mengalami al-fanâ’ ‘an al-nafs dan al-baqâ’ bi Allâh. Fanâ’ secara etimologis berarti keluruhan diri kemanusiaan, hancur, lenyap dan hilang. Sedangkan baqâ’ secara etimologis berarti kekal, abadi, tetap dan tinggal.

Zun Nun Almisry (245 H) adalah sufi yang pertama kalinya mengemukakan faham ma`rifah dalam tasawuf dan dalam perkembangannya. Menurut Zun Nun, bahwa ma`rifah yang hakiki adalah ma`rifah sifat wahdaniyyah yang bagi wali-wali Allah secara khusus karena mereka menyaksikan Allah dengan hati mereka, maka terbukalah bagi mereka apa-apa yang tidak terbuka bagi orang lainnya. Dan ma’rifat adalah proses akhir, dan justru menjadi awal beragama secara sejati. Inilah makna dari perkataan yang masyhur dari salah seorang sahabat Rasul Ali r.a.: “Awaluddiina Ma’rifatullah”. Awalnya Ad-Diin adalah mengenal Allah. Makrifat justru baru awalnya beragama, bukan tujuan. Karena dengan mengenal Dia yang sebenarnya, barulah seseorang berinteraksi dengan Ad-Diin yang sebenarnya pula.

2.      Aliran Hulul (Inkarnasi)

Al-Hulul adalah kepercayaan bahwa Allah bersemayam di tubuh salah seorang, yang kiranya bersedia untuk itu, karena kemurnian jiwanya dan kesucian ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut akidah dan kepercayaan ini ialah Al-Hallaj. Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma' sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi:

"Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan". Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thaiwasim. Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, la hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf.

Tokoh yang mengembangkan paham al- Hulul, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. la lahir tahun 244 H. (858 M.) di Negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di Negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H.

 ia masuk kota Baghdad dan belajar pada. al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasair pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam. Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar ma­suk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang ulama fiqh bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas pahamnya.

Al-lsfahani dikenal sebagai ulama fikih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan zahir Nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sifir penjara.

3.      Aliran Ittishal

Aliran tasawuf Ittishal dikemukakan oleh para filsuf Islam terutama Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, dan Ibnu Tufail.

Abu Nasr Muhammad Al-Farabi di dalam mengemukakan konsepsinya tentang tasawuf, tidak terlepas dari keahliannya sebagi filsuf. Tasawuf menurut Al-Farabi, bukan hanya membahas masalah amal untuk kebersihan jiwa, memerangi hawa nafsu, dan kelezatan badaniyah saja, tetapi juga harus melalui akal dan pemikiran itu sendiri.

Al-Farbi memandang tingkat ma`rifah manusia dalam tasawuf adalah berjenjang naik dan apabila manusia telah berada diatas jenjang Al-Aqlul Mustafad maka manusia mampu menerima nur ketuhanan, berhubungan langsung dengan Al-Aqlul Fa`al.di tingkat ini manusia tidak lagi berada dalam tingkat ijtihad tetapi telah berda dalam tingkat pemberian Tuhan hingga dapat berhubungan langsung dengan Tuhan(Ittishal).

Al-Farabi mengemukakan bahwa sentral segal sesuatu adalah akal, maka dalam tasawufnya ia berpendapat bahwa tujuan tasawuf terkhir adalah pencapaian sa`dah yang tertinggi dalam wujud kesempurnaan ittishal dengan Al Aqlu Fa`al. Perkembangan akal dan peningkatannya tidak bisa lepas dari perkembangan jiwa, peningkatan dan pembersihannya.

4.      Aliran isyarq

Tokoh aliran Isyraq adalah Syihabuddin Yahya bin Hafash Suhraward. Sejak kecil ia telah belajar agamadan menghafal Al-Qur`an kemudian belajar di Maraghah berguru dengan Imam Mahyuddin Al Jilli, dilanjutkan dengan belajar kepada Zahiruddin Al Qari di Asfahan, dan diteruskan dengan belajar kepada Al Mardini.
Suhrawardi mendasarkan teori filsafatnya kepada Isyraq. Kata Isyraq berasal dari bahasa Arab yang berarti timur. Secara etimologi mengandung maksud terbitnya matahari dengan sinar yang terang.

5.      Aliran Ahlul Malamah

Kaum ini, setingkali disebut dengan sebutan Malamatiyyah, Malamiyyah atau terkadang juga disebut sebagai Ahl al-Malamah, yang pada dasarnya, memiliki pengaruh yang cukup besar dalam dunia tasawuf.

Nama kaum ini, diambil dari kata malamah, yang secara bahasa yang artinya “celaan”, malamah mengandung arti bahwa mereka tidaklah menganggap pendapat orang dalam tingkah peribadatan mereka terhadap Tuhan. Kaum Malamati adalah orang-orang suci yang dengan sengaja menjalani kehidupan hina, dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritual mereka. Aliran Ahlul Malamah lahir di Nishapor pada bagian kedua abad ketiga hijriyah.Ahlul Malamah adalah sekumpulan orang yang mencela dan merendahkan diri mereka karena itulah tempat kesalahan-kesalahan.
Ajaran kaum malamatiyah ini pada dasarnya ialah mencela diri sendiri, merendahkan dan menghinakannya didepan orang untuk melindungi keikhlasan dan kedekatan dirinya dengan Tuhan, menjaga kemurnian ketulusan dan menjauhkan diri dari kesombongan.

Pendiri kaum Malamatiyyah ini, adalah Hamdun al-Qashshar, sufi abad ke-3 H/9 M, yang berasal dari Naisyapur di Khurasan. Kaum Malamatiyyah mengikuti teladan dirinya, yaitu hidup secara batiniah dalam kebersatuannya dengan Allah, sementara secara lahiriah, mereka bertindak seolah-olah terpisah dari Tuhan. Dalam tasawuf, sikap pembawaan kaum Malamati ini merupakan sebuah watak permanen dalam spiritualitas Islam, meskipun, banyak penyalahgunaan yang dinisbatkan terhadap namanya, misalnya untuk mencampakkan syariat dan etika atau adab tradisional.

 Kaum Malamatiyyah adalah guru serta pembimbing dan pemimpin manusia di jalan Tuhan. Meskipun, tidak ada tindakan dari mereka yang tampak berbeda dari orang-orang awam. Satu di antara mereka, adalah Muhammad, Rasul Allah, orang bijak yang menempatkan segala sesuatunya di tempat yang seharusnya.

6.      Aliran Wahdatul Wujud (pantheisme)


      Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demi­kian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang se­lanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.

 Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat al-wujud, nast yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut Khalq dan yang sebelah dalam disebut Haqq. Kata-kata khalq dan haqq inj; merupakan padanan kata al-'Arad (accident) dan al-Jauhar (substance) dan al-Zahir (lahir-luar-tampak), dan al-bathin (da­lam, tidak tampak).

      Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-Khalq (makhluk) Al'arad (accident-kenyataan luar), zahir (luar-tampak), dan aspek dalam yang disebut al-haqq (Tuhan), al-jauhar (substance-hakikat), dan al-bathin (dalam).
    
 Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang sebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat, essensi atau substansi. Sedangkan aspek al-khalq, luar dan yang tampak merupakan bayangan yang ada karena adanya aspek yang pertama (al'haqq).

Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau foto copy dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalam al-hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini.

Dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi Allah. Pada saat la ingin meli­hat diri-Nya, ia cukup dengan melihat alam ini. Pada benda-benda yang ada di alam ini Tuhan dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-benda alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham ini juga menga­takan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu.

Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya dirinya hanya satu. Dalam Fushush al'Hikam seba­gai dijelaskan oleh al-Qashimi dan dikutip Harun Nasution, fama wahdatul wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan: “Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”

      Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M. Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, di antaranya ada yang hanya 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Futuhah al'Makkah. Disamping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang juga berisi tentang tasawuf.

Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.

7.      Aliran Ahlus Sunah

As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam perkara kebaikan maupun perkara kejelekan. Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Nabawiyyah serta menyebarkan dan membelanya. Menurut bahasa Arab pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu’ dengan arti mengumpulkan yang tercerai berai.

Istilah ahlu sunnah yang paling tua pernah dicatat adalah berasal dari kata-kata Ibnu Siiriin, seorang tabi'i yang hidup dizaman akhir pemerintahan Muawiyah dan awal pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Ibnu Siiriin hidup pada tahun 33H-110H. Kata-kata ibnu siiriin itu diabadikan dalam Sahih Muslim hadits nomor 27 sbb:

حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ عَنْ عَاصِمٍ الأَحْوَلِ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ قَالَ لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ.

Dahulu kami tidak bertanya soal sanad, namun ketika terjadi fitnah maka sebutkanlah pada kami rijal2 kamu dan lihatlah bila itu dari ahlu sunnah maka ambillah hadits mereka dan lihatlah bila dari ahli bid'ah  maka janganlah kamu ambil hadits mereka.

  Walaupun dari asal kata ahlu sunnah di sini adalah orang yang mengikuti sunnah nabi, namun di balik itu bisa kita lihat muatan politisnya. Zaman fitnah yang dikatakan ibnu siiriin tentulah apa yang dia lihat dari pergolakan politik Muawiyah/Yazid melawan Ali ra.

Sehingga ahlu bid'ah yang dimaksud pastilah Syiah. Hal ini berarti bahwa istilah ahlu sunnah pertama kali diperkenalkan bukan mengacu pada "yang mengikuti sunnah nabi" - karena Syiah juga meriwayatkan hadits/sunnah nabi-  melainkan lebih sebagai istilah anti syiah/golongan yang berseberangan dengan syiah, yaitu orang-orang yang berada di sisi muawiyah/yazid. Nampaknya kata-kata Ibnu siiriin inilah yang dikemudian hari membuat dua golongan yang asalnya merupakan golongan yang berbeda dalam orientasi politik berkembang menjadi dua aliran dalam islam: ahlu sunnah dan syiah.

1.7    Perdebatan Mengenai Tasawuf

Ada beberapa ulama yang tidak sependapat dengan adanya Ilmu Tasawuf. Ada juga yang berpendapat bahwa Ilmu Tasawuf itu bid’ah.  Mereka mengatakan bahwa istilah Tasawuf itu tidak ada dalam Alquran dan Alhadist.

Beberapa pendapat bahwa tasawuf bukan berasal dari islam diantaranya:
Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).

(Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).

Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing.

Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan.

Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan mempengaruhi aliran-aliran di daam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).

Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu
 (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,

(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980).
Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak.

Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah.

Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc)

Para ahli yang menolak tasawuf sebagai bagian dari islam mengambil contoh kesalahan pemahaman tasawuf yaitu Faham Wujud. Faham wujud adalah berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Quran yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS:

“...Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (As Shaad; 72)”

Sehingga ruh manusia dan Ruh Allah dapat dikatakan bersatu dalam sholat karena sholat adalah me-mi'rajkan ruh manusia kepada Ruh Allah Azza wa Jalla . Atas dasar pengaruh 'penyatuan' inilah maka kezuhudan dalam sufi dianggap bukan sebagai kewajiban tetapi lebih kepada tuntutan bathin karena hanya dengan meninggalkan/ tidak mementingkan dunia lah kecintaan kepada Allah semakin meningkat yang akan bepengaruh kepada 'penyatuan' yang lebih mendalam.

Paham ini dikalangan penganut paham kebatinan juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti yang berarti bersatunya antara hamba dan Tuhan (Wikipedia bahasa Indonesia).



BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pertumbuhan Tasawuf Islam dilatar belakangi oleh kegiatan mistik yang berkembang pada saat itu, yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan perkembangan Tasawuf dimulai pada masa sahabat sampai pada abad ke empat hijriyah mengalami perkembangna yang pesat, sehingga pada abad ke tiga dan keempat hijriyah ajaran Tasawuf dibagi menjagi tiga macam yaitu:

1) Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa
2) Tasawuf yang berintikan ilmu Akhlak
3) Tasawuf yang berintikan ilmu metafisika.

Sedangkan pada abad kelima hijriyah sampai selanjutnya mengalami penurunan.
Zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf. Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya.

Munculnya aliran –aliran zuhud pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar – pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat.

Pada akhir abad ke II Hijriyyah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis –analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian,menurut Nicholson,untuk membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang – orang zuhud. Oleh sebab itu menurut at-taftazani,mereka lebih layak dinamai zahid daripadasebagai sufi.

2.7   Hubungan Akhlak dan Tasawuf

Ilmu tasawwuf pada umumnya dibagi menjadi tiga, pertama tasawwuf falsafi, yakni tasawwuf yang menggunakan pendekatan rasio atau akal pikiran, tasawwuf model ini menggunakan bahan – bahan kajian atau pemikiran dari para tasawwuf, baik menyangkut filsafat tentang Tuhan manusia dan sebagainnya. Kedua, tasawwuf akhlaki, yakni tasawwuf yang menggunakan pendekatan akhlak.

 Tahapan – tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang [hijab] yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Illahi tampak jelas padanya). Dan ketiga, tasawwuf amali, yakni tasawwuf yang menggunakan pendekatan amaliyah atau wirid, kemudian hal itu muncul dalam tharikat.

Sebenarnya, tiga macam tasawwuf tadi punya tujuan yang sama, yaitu sama – sama mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan yang terpuji (al-akhlaq al-mahmudah), karena itu untuk menuju wilayah tasawwuf, seseorang harus mempunyai akhlak yang mulia berdasarkan kesadarannya sendiri.

Bertasawwuf pada hakekatnya adalah melakukan serangkaian ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Ibadah itu sendiri sangat berkaitan erat dengan akhlak. Menurut Harun Nasution, mempelajari tasawwuf sangat erat kaitannya dengan Al-Quran dan Al-Sunnah yang mementingkan akhlak.

Cara beribadah kaum sufi biasanya berimplikasi kepada pembinaan akhlak yang mulia, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Di kalangan kaum sufi dikenal istilah altakhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau juga istilah al-ittishaf bi sifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat – sifat yang dimiliki oleh Allah.

Jadi akhlak merupakan bagian dari tasawwuf akhlaqi, yang merupakan salah satu ajaran dari tasawwuf, dan yang terpenting dari ajaran tasawwuf akhlaki adalah mengisi kalbu (hati) dengan sifat khauf yaitu merasa khawatir terhadap siksaan Allah. Kemudian, dilihat dari amalan serta jenis ilmu yang dipelajari dalam tasawwuf amali, ada dua macam hal yang disebut ilmu lahir dan ilmu batin yang terdiri dari empat kelompok, yaitu syariat, tharikat, hakikat, dan ma`rifat.


DAFTAR PUSTAKA


https://harkaman01.wordpress.com/2013/04/21/pengantar-tasawuf-1%E2%80%8E-%E2%80%8Epengertian-tasawuf%E2%80%8E/comment-page-1/
http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/11/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan_23.html
http://fatkhurrohman.weebly.com/pengertian-tentang-tasawuf.html
http://www.tintaguru.com/2013/05/hakikat-sejarah-ajaran-tokoh-dan-aliran.html
http://tapsikusuka.blogspot.com/2013/05/aliran-aliran-tasawuf.html
http://tanjungbunut.blogspot.com/2011/05/hubungan-antara-akhlak-dan-tasawuf.html
Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, DR Mustafa Zahri
https://kamaliaida.wordpress.com/2013/12/16/pengertian-akhlak/
Disqus Comments