Senin, 26 Desember 2016

Syariat & Ilmu Fiqh, Pengertian & Pembashan Berdasarkan Alquran & Alhadist

 

Pengertian Syariat & ilmu Fiqh

 

BAB II

PEMBAHASAN


Apa Itu Ilmu Fiqh dan apa itu Syariah?

Untuk mengenal Ilmu Fiqh secara umum ada beberapa hal yang perlu  diketahui dari sekedar defenisi, diantaranya kaitan Syari’ah dan Fiqh, pembahasan (maudhu’) Ilmu Fiqh, tujuan dan fungsi, peletak Ilmu Fiqh, posisinya terhadap ilmu-ilmu lain, hukum mempelajarinya dan ciri khas Ilmu Fiqh.

Materi-materi tersebut perlu diketahui untuk memberikan gambaran global tentang Fiqh, hal ini juga telah dilakukan para ulama-lama dari zaman dahulu sebelum mereka masuk ke dalam pembahas Fiqh, dan mereka merangkumkannya dalam sebuah istilah mabadi’ ‘asyrah Fiqh (sepuluh dasar Ilmu Fiqh yang mesti diketahui). Dan seiring perkembangan zaman ulama-ulama kontemporer juga melakukan hal yang sama namun dengan sistematika yang lebih jelas dan menambahkan beberapa pembahasannya.


A. Syari’ah dan Fiqh


1.     Defenisi Syari’ah
    Syariat/syariah didefinisikan oleh para ulama ushul adalah sebagai berikut:
1.Syariah adalah perintah Asy-Syari (Pembuat Hukum) yg berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba yg berkaitan ketetapan,pilihan, atau kondisi.
2.Syariah adalah perintah Asy-Syari (Pembuat Hukum) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf.
Ada beberapa ayat dalam Al-qur’an yang menunjuk kata syariah dengan berbagai macam definisinya, yaitu;

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ




2
Artinya: “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS.As-Syura : 13)

2.     Secara etimologi, kata syari’ah berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk mashdar (akar) kata syara’a شرع  . Kata syari’ah sendiri dalam bahasa Arab sering digunakan untuk dua makna:
Pertama: Jalan yang lurus, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:

ثم جعلناك على شريعة من الأمر

Kedua: Sumber air minum yang mengalir, seperti perkataan seharian orang Arab:  شرعت الإبل  , jika onta mendatangi sebuah sumber air minum.

3.     Sedangkan penggunaan kata syari’ah dalam istilah terminologi para ulama terdapat dua pemahaman berdasarkan sudut pandang mereka ketika berbicara masalah defenisi syari’at.

Kelompok pertama, yaitu kalangan ulama dalam bidang Akidah atau Ilmu Tauhid, ketika mereka berbicara dalam mukadimah Ilmu Tauhid di saat menjelaskan defenisi dan kandungan Islam, mereka menyebutkan bahwa Syari’ah adalah salah satu cabang ajaran Islam yang terkosentrasi dalam hal-hal amaliyah yang mengatur masalah ibadah, mu’amalat dan hal lainnya yang berhubungan dengan perbuatan dan tindak tanduk manusia sebagai hamba (mukallaf). Di sini penulis mengutip dua defenisi atau keterangan yang disebutkan oleh dua orang guru besar Ilmu Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar:

a. Dr. ‘Awadhullah Gad Higazi rahimahullah, mantan Rektor Univ. Al-Azhar, menjelaskan:

“Sedangkan Syari’ah adalah sebuah ungkapan/istilah tentang segala jenis perbuatan/amalan yang dilakukan manusia, yang dilaksanakan sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah swt dan ketaatan menjalankan perintah-Nya, dan yang demikian itu seperti shalat, zakat dan puasa (ibadah), dan seperti nikah, talak  dan wasiyat (ahwal syakhshiyah), dan juga seperti jual beli, gadai dan hibah (mu’amalat) dan hal-hal lainnya.”

b. Dr. Muhammad Rabi’ Muhammad Jauhari, Dekan Fak. Ushuludin, Univ. al-Azhar, menyebutkan lebih gamblang lagi tentang hal ini:

“Dan Syari’ah adalah sekumpulan perbuatan dan amalan yang ditutut oleh agama dari seorang muslim dalam bentuk ibadah dan mu’amalah (interaksi sosial). Ini adalah sisi praktis (amaliyah) dari Islam, dan dipelajari dalam Ilmu Fiqh”
3
Dengan demikian, mereka menjadikan Syari’ah dan Ilmu Fiqh itu satu atau dengan kata lain jika berbicara masalah syari’ah berarti itu berkaitan dengan Fiqh

Kelompok kedua, yaitu kalangan ulama Fiqh (Fuqaha’), kalimat Syari’ah dalam istilah mereka berarti sekumpulan hukum yang ditetapkan oleh Allah swt bagi hamba-hamba-Nya melalui lisan para Rasul-Nya. Dan dengan demikian istilah Syari’ah Islam dapat bermakna sekumpulan hukum yang ditetapkan Allah swt bagi seluruh umat manusia melaui lisan Rasul-Nya, Muhammad saw, yang terangkum dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Dapat juga ditarik kesimpulan dari defenisi syari’ah menurut kalangan Fuqaha’ bahwa Syari’ah yang mereka maksudkan lebih luas cakupannya dan termasuklah di dalamnya masalah-masalah akidah, fiqh dan akhlak, yang mana defenisi seperti ini di kalangan ulama Akidah mereka gunakan dalam mendefenisikan Agama Islam (ad-Din al-Islami).

II. Defenisi Fiqh

a. Dari sudut pandang etimologi, secara umum kata fiqh berasal dari bahasa Arab فقه  yang berarti pemahaman terhadap sesuatu ( فهم الشيء ) , seperti yang termaktub dalam firman Allah :

قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول

“Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu”. (QS Hud: 91)

فمالِ هؤلآء القوم لا يكادون يفقهون حديثاً

“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”. (QS. An-Nisa': 78)

Berangkat dari itu para ulama juga berbeda dalam penggunaannya secara bahasa ini:
– Imam Abu Hamid al-Ghazali dan al-Amidi berpendapat bahwa kata Fiqh bermakna pemahaman secara mutlak, baik pemahaman tersebut bersifat mendalam maupun sebaliknya, atau pemahaman itu adalah pemahaman terhadap maksud pembicara maupun sebagainya.
– Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi dan para pengikutnya berpendapat bahwa kata Fiqh itu secara bahasa bermakna pemahaman terhadap sesuatu yang rumit dan mendalam, maka penggunaannya dalam kalimat seperti: “Saya mengetahui (فقهت) bahwa langit berada diatas kita dan bumi dibawah kita” tidak dianggap bagian dari Fiqh, karena hal tersebut adalah sesuatu yang sudah jelas.
– Sementara Syekh Abu al-Hasan al-Bashri dan Imam ar-Razi berpendapat bahwa kata fiqh itu digunakan secara bahasa dengan makna pemahaman terhadap maksud dari perkataan si pembicara, makanya pemahaman terhadap bahasa burung tidak dikategorikan fiqh.

b. Dari sudut terminologi, banyak sekali ulama yang mencoba mendefenisikannya, sehingga banyak pula terjadi perdebatan diantara mereka.

Sebelum menerangkan makna terminologi ini perlu diketahui bahwa kalimat fiqh di masa awal Islam, masa Rasul saw dan Sahabat, bermakna umum,

mencakup sisi keyakinan, amalan dan akhlak, sebagaimana makna syari’ah yang dikemukakan ulama Akidah.Maka istilah faqih aktu itu dipakai bagi siapa saja yang bisa memahami Islam secara utuh. Sampai akhirnya muncul Imam Abu Hanifah yang mencoba meletakkan defenisi fiqh tersebut, beliau berkata: “Fiqh adalah mengetahui atau mengenal mana yang baik dan mana yang buruk bagi diri”.  Namun pengertian ini hanya bentuk kongkrit dari makna fiqh yang sebelumnya masih belum tersusun dan masih berada dalam pemahaman umum, karena defenisi Imam Abu Hanifah ini juga bersifat umum seperti yang dijelaskan tadi. Dengan perkembangan Ilmu Fiqh yang cukup pesat, para ulama baru mulai mencurahkan perhatian pada defenisi terminologi Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu, maka dimulailah perdebatan itu.

Disini kita hanya coba memaparkan beberapa diantara defenisi Fiqh yang diutarakan oleh ulama tersebut.

1. Defenisi Fiqh menurut Imam Abu Ishaq asy-Syairazi:

معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الإجتهاد

“Pengetahuan atau konsep tentang hukum-hukum syari’at yang lahir melalui metode ijtihad”

2. Defenisi Fiqh menurut Imam Baidhawi:

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

“Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis (amaliyah) dan merupakan hasil pengolahan dalil-dalil yang terperinci”
Defenisi ini adalah defenisi yang dikemukakan juga oleh Imam Syafi’i (Lih. Syarh Jam’i al-Jawami’ li al-Mahalli: I/32) dan kemudian menjadi defenisi yang paling banyak dipakai para ulama dalam menjelaskan makna Ilmu Fiqh.

Dua defenisi di atas adalah defenisi Ilmu Fiqh yang masyhur dikalangan ulama Ushul. Satu hal yang ingin dipertegas para pakar Ushul dalam defenisi-defenisi yang mereka kemukakan adalah bahwa Fiqh merupakan hasil ijtihad yang hanya menjadi hak khusus para mujtahid, tidak golongan lain.

Sedang di kalangan ulama Fiqh (Fuqaha’) sendiri memiliki defenisi lain tentang Fiqh. Dr. Sya’ban Muhammad Isma’il menjelaskan bahwa terdapat dua defenisi yang sering digunakan Fuqaha’ untuk kata fiqh ini:

Pertama, fiqh bermakna menghafal (hifzh) sekumpulan masalah-masalah hukum syari’ah amaliyah yang terdapat di al-Qur’an dan Sunnah, serta hukum-hukum yang lahir dari pengolahan (istinbath) kedua sumber tersebut.
Maka fiqh dengan makna seperti ini tidak khusus bagi mujtahid saja sebagaimana yang dipahami ulama Ushul, akan tetapi lebih luas sampai menjadi hak setiap orang yang ingin menggeluti bidang ini meskipun belum mencapai derajat mujtahid.

Kedua, ulama Fiqh juga sering menggunakan kata fiqh dengan maksud kumpulan hukum dan masalah itu sendiri.

Dari defenisi di atas kita dapat memahami dan menjawab pertanyaan “Apa itu Fiqh?”, dan penulis sendiri lebih cenderung kepada defenisi yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah yang juga banyak digunakan para ulama sepanjang zaman dalam mendefenisikan Ilmu Fiqh.
Untuk menguatkan pilihan penulis ada baiknya di sini penulis terangkan sedikit tentang penjelasan defenisi Imam Baidhawi yang menjadi defenisi paling masyhur hingga saat ini, namun di sini penulis tidak juga ingin berpanjang-panjang dengan masalah ketatabahasan.
(العلم ) yaitu ilmu atau pengetahuan, kalimat ilmu ini bersifat umum mencakup semua ilmu, segala jenis ilmu dan belum dibedakan apakah ilmu itu berkaitan dengan suatu zat, sifat, hukum atau amalan, karena ulama membagi sesuatu yang deketahui (المعلوم) atau objek ilmu kepada empat hal tersebut.

Kemudian setelahnya disebutkan kalimat (بالأحكام), ini adalah hal pertama yang membatasi kata ilmu tadi dan sekaligus menjelaskan bahwa al-ma’lum atau objek ilmu disini adalah hukum, atau ringkasnya ini adalah ilmu tentang hukum.

Ini juga masih butuh penjelasan, apakah hukum disini hukum syar’i atau tidak?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ditambahkanlah kalimat (الشرعية) yang merupakan sifat dari hukum tadi, yaitu syar’i, maka hukum tadi sudah dibatasi juga dan otomatis batasan ilmu diatas juga semakin jelas, bahwa yang dibahas dalam ilmu ini adaslah hukum yang bersifat syar’i atau hukum syar’i, dan hukum-hukum yang tidak syar’i tidak termasuk dalam pembahasan ilmu ini. Akan tetapi hukum syar’i juga masih ada bagiannya, apakah ia yang berhubungan dengan amaliah (praktis) ataukah ilmiah (teoritis).

Selanjutnya defenisi ditambahkan dengan kalimat (العملية) yang merupakan sifat dari syari’i tadi, dan sekaligus juga menjelaskan bahwa ilmu ini adalah ilmu yang membahas tentang hukum syar’i yang menyentuh sisi-sisi praktis bukan teoritis, karena sisi teori (ilmiah) dibahas dalam ilmu Ushul , maka dengan tambahan sifat ini keluarlah Ilmu Ushul dari gambaran kita terhadap ilmu ini.

Batasan selanjutnya adalah (المكتسب), ini adalah sifat ilmu bukan sifat hukum seperti dua hal kata yang sebelumnya, artinya ilmu ini merupakan ilmu yang membutuhkan usaha-usaha pembahasan, penalaran dan penelaahan untuk sampai kepada ilmu tersebut. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa ilmu yang tidak didapat dengan cara seperti ini tidak dikatakan ilmu Fiqh, seperti ilmu Allah swt, ilmu malaikat, ilmu para nabi yang bukan hasil ijtihad, ilmu sahabat Nabi saw yang bukan hasil ijtihad, dan juga ilmu atau pengetahuan yang termasuk kategori al-ma’lum fi ad-din bi adh-dharurah  seperti shalat itu wajib dan lain-lain.

(من أدلتها) maksudnya ilmu hukum syari’i yang bersifat praktis tadi merupakan hasil pembahasan dan penelaahan dari sekumpulan dali-dalil, kemudian untuk menjelaskan jenis dalil yang dibahas ditambahkanlah kata (التفصيلية), yang rinci, karena dalil terbagi dua, ada dalil yang ijmali (umum) dan ada yang tafshili (yang rinci), maka dengan adanya sifat terakhir ini, dalil yang ijmali otomatis keluar dengan sendirinya, karena ia adalah baigan dari ilmu Ushul Fiqh.

Penulis merasa penjelasan di atas sudah mencukupi untuk mendapat gambaran tentang defenisi Fiqh yang cukup komprehensif.


 Dan kita disini tidak akan memperpanjang tulisan ini sampai pembahasan alasan-alasan dan perdebatan yang terkait defenisi ini, karena justru hanya akan memutar kembali pemahaman yang telah kita dapatkan. Untuk lebih lengkap dan menghilangkan rasa penasaran mungkin pembahasan tersebut bisa kita baca sendiri dalam buku-buku Ushul Fiqh atau di beberapa buku Fiqh yang ada.

B. Hubungan Syari’ah dan Fiqh


Di atas telah kita singgung sedikit tentang perbedaan ulama dalam mendudukkan dan memposisikan Syari’ah terhadap Fiqh. Kalangan ulama Akidah menjadikan Syari’ah dan Fiqh sebagai sinonim, jika berbicara Syari’ah berarti yang mereka maksudkan adalah Fiqh,atau paling jauh hubungannya adalah hubungan antara sebuah ilmu dengan kanduangan ilmu tersebut, jika Fiqh adalah nama bagi ilmu tersebut maka Syari’ah adalah kandungan ilmu tersebut, sebagaimana yang penulis pahami dari defenisi yang diutarakan Dr. Muhammad Rabi’ Jauhari di atas.

Di lain pihak kalangan ulama Fiqh yang lebih sering bergelut di bidang hukum Islam memandang hubungan keduanya adalah hubungan umum-khusus. Syari’ah mereka pandang lebih bersifat umum dan Fiqh adalah salah satu cabang atau bagian dari Syari’ah yang pembahasannya khusus seputar huku-hukum praktis (amaliyah).

Perbedaan antara dua istilah ini diringkaskan Dr. Rasyad Hasan Khalil dalam empat poin:

a. Syari’ah  bersifat umum dan mencakup seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan keyakinan (akidah), akhlak dan perbuatan (amaliyah).

b. Fiqh adalah bagian dari Syari’ah, yang khusus berhubungan dengan hukum-hukum praktis perorangan, seperti shalat, pidana, jual beli, kehakiman dan seluruh tindak-tanduk manusia.

c. Syari’ah adalah sebuah ungkapan untuk sejumlah hukum dan aturan yang menjadi latar belakang penurunan al-Qur’an dan Sunnah.

d. Fiqh adalah hasil pemahaman dan istinbath (pengolahan) al-Qur’an dan Sunnah, dan ia adalah sisi praktis (tathbiqi) dari Syari’ah.

Dan beliau menambahkan bahwa meskipun Syari’ah lebih umum dari Fiqh, tapi tidak salah juga jika ada yang menyamakan istilah Fiqh dengan Syari’ah dalam pemakaiannya, sebagaimana yang sering terjadi belakangan ini, khususnya di bidang hukum.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Madkhal li ad-Dirasah al-Islamiyah juga mencoba menarik benang merah antara kedua istilah ini setelah menerangkan makna masing-masing istilah, dan menyimpulkan bahwa “Syari’ah adalah tujuan dan Fiqh adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut”.

Dengan demikian agaknya tidak salah jika kita berkesimpulan bahwa hubungan dua istilah ini adalah hubungan umum-khusus, term Syari’ah lebih umum daripada term Fiqh, tanpa maksud mengenyampingkan sebagian pendapat yang cenderung menyamakan kedua term ini. Sehingga kesimpulan terakhir penulis terhadap defenisi kedua term ini adalah;

Syari’ah adalah semua hukum dan aturan yang diturunkan Allah SWT kepada
 Rasulullah SAW yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW, sedangkan Fiqh adalah sebuah disiplin
ilmu yang merupakan hasil olah dan telaah para ulama terhadap aturan dan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah setelah wafatnya Rasulullah SAW, dan aktifitas pengolahan dan penelaahan inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah Ijtihad. Maka kesimpulan ini sangat sejalan kiranya dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas, dan sekaligus memantapkan bahwa ilmu Fiqh merupakan instrumen penting untuk mewujudkan satu slogan “Asy-Syari’ah al-Islamiyah Shalihah li Kulli Zaman wa Makan” (Syari’at Islam bisa berlaku kapan saja dan dimana saja).

Setelah mendudukkan pemahaman tentang term Fiqh dan Syari’ah, ada satu term lagi yang sebaiknya dikenal sedikit, yaitu istilah Tasyri’. Dikatakan sedikit karena kata tasyri’ sendiri masih satu rumpun kata dengan kata syari’ah, sehingga pemahamannya tidak terlalu jauh berbeda, jika syari’ah bermakna hukum atau aturan, maka tasyri’ bermakna proses pembentukan dan penentapan hukum/aturan (sannu asy-syari’ah wa bayan al-ahkam wa insya’ al-qawanin) . Hubungan antara kata syari’ah dengan tasyri’ ini berimplikasi pada pemahaman bahwa tasyri’ islami (proses pembentukan hukum Islam) pada hakikatnya hanya terjadi pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW, sedangkan hukum-hukum Islam yang lahir pasca wafat Nabi SAW, yang kita sebut Fiqh, tidak termasuk kedalamnya. Namun dalam perkembangannya term tersebut mengalami perluasan makna, dan menjadikan semua proses pembentukan hukum Islam sepanjang zaman dalam ruang lingkup tasyri’ islami.

Oleh karena itu tidak perlu heran jika kita mendapatkan Tarikh at-Tasyri’ al-Islami merupakan pembahasan tentang sejarah perkembangan Syari’at Islam dan Fiqh secara keseluruhan, bukan hanya pada masa Rasulullah SAW saja.
§Masa Nabi Muhammad saw[sunting | sunting sumber]
Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fikih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.

Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan [5], walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Masa Khulafaur Rasyidin[sunting | sunting sumber]Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fikih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup.

 Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul
semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.
Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.[1]
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.[6]
Masa Awal Pertumbuhan Fikih[sunting | sunting sumber]

Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang menghasilkan ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.
Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fikih, karena akan muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.

Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas'ud kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.[1]
 Pembahasan (Maudhu’) Ilmu Fiqh

Berdasarkan defenisinya, maka yang menjadi pembahasan dalam ilmu Fiqh secara umum mencakup seluruh perbuatan dan tindak-tanduk manusia di muka bumi, tanpa terkecuali.

Kemudian para ulama memilah-milah dan menjadikan perbuatan manusia itu ke dalam beberapa kategori, sehingga semakin jelaslah apa saja yang disinggung di dalam Ilmu Fiqh tersebut.
Sebagian ulama membagi pembahasan Fiqh kepada dua kategori besar:
1.    Ibadah, yang mencakup shalat, puasa, zakat dan haji

2. Adat, yaitu semua perilaku manusia yang tidak termsuk kategori ibadah, baik itu dalam ruang lingkup kriminalitas, muamalat, wasiat, hukum waris dan sebagainya.

Sebagian ulama lainnya membaginya kedalam empat kategori:
1. Ibadat
2. Yang berhubungan dengan individu, inilah yang dinamakan mu’amalat seperti jual beli dan lain sebagainya.
3. Yang berhubungan dengan keluarga dan rumahtangga, yaitu masalah nikah dan hal lain yang berhubungan dengannya.
4. Yang berhubungan dengan urusan masyarakat dan kenegaraan, inilah yang termasuk kategori ‘uqubat (hukuman) dan hal lain yang berkaitan dengannya.

Ada juga yang membagi menjadi tiga kategori besar saja:
1. Ibadat, yang mencakup shalat, zakat, puasa, haji dan jihad
2. Mu’amalat, yang mencakup transaksi barang, amanah, nikah dan hal-hal yang berhubungan dengannya serta waris.
3. ‘Uqubat, yang mencakup qishash, hukuman mencuri, zina, qadzaf dan murtad.

Pembagian Fiqh menjadi dua kategori besar seperti di awal lebih banyak dipakai oleh ulama kontemporer, karena memberikan ruang gerak yang luas sehingga Fiqh benar-benar bisa menjadi solusi kehidupan. Hal ini bisa kita saksikan dalam karangan-karangan Syekh Mahmud Syaltut, Dr. Salam Madkur, Dr. Sya’ban Muhammad Isma’il, Dr. Wahbah Zuhaili dan lain sebagainya.

Belakangan banyak sekali kita dengar tentang tawaran-tawaran pembaharuan dalam bidang Fiqh, salah satu yang paling penulis setujui adalah konsep yang ditawarkan oleh Dr. Jamal ‘Athiyah dalam buku Tajdid al-Fiqh al-Islami, terutama yang berkenaan dengan materi pembahasan yang dibutuhkan oleh Fiqh kontemporer, beliau menyusun 16 masalah besar yang mesti ada dalam menyusun sebuah karangan Fiqh kontemporer yang kompleks dan memasukkan masalah iman dan akhlak sebagai salah satu bab yang dibutuhkan agar Fiqh tidak kehilangan ruh.

C. Tujuan, Fungsi dan Peletak Ilmu Fiqh


Berbicara tentang tujuan berarti kita berbicara tentang sesuatu yang ingin dicapai ketika kita mencapai akhir dari suatu yang dilakukan, bagi seorang mukmin tidak ada tujuan dari hidupnya kecuali dikerucutkan kepada satu kalimat “mengharapkan ridha Allah serta kebahagiaan di dunia dan akhirat”. Demikian juga halnya dengan mempelajari ilmu apa saja, termasuk Fiqh, bagi seorang mukmin tujuannya juga diarahkan ke sana, ridha Allah swt dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Adapun tentang fungsi Ilmu Fiqh, di dalam mukadimah al-Iqna’ karangan asy-Syarbaini al-Khathib disebutkan bahwa fungsi ilmu Fiqh adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun jika boleh menambahkan penjelasan di sini, alangkah lebih tepatnya jika ditambahkan “untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya”, dengan kata lain fungsi Ilmu Fiqh adalah agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang dituntut oleh Allah swt.

Dengan demikian fungsi akan selaras dengan tujuan.

Sedangkan peletak ilmu Fiqh tidak lain adalah Dia yang mememiliki hak menetapkan aturan hidup manusia, yaitu Allah swt .

D. Posisi Ilmu Fiqh Terhadap Ilmu-Ilmu Lainnya Dan Hukum Mempelajarinya


Untuk menjelaskan masalah ini kita cukup mengetahui pembagian ilmu oleh beberapa kalangan ulama.

- Ibnu Khaldun, beliau membagi ilmu secara garis besar menjadi dua kelompok:
1. Ilmu alat, seperti: Nahwu, Bahasa, Mantiq (Logika), Filsafat, Berhitung dan Geografi

2. Ilmu yang dijadikan tujuan (maqshudah bi adz-dzat), seperti: Tafsir, Hadits dan Fiqh.  Dalam lain kesempatan kategori ini disebut juga ilmu ghayah.

- Imam Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi di dalam mukadimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab menerangkan tentang pembagian ilmu syar’i kepada tiga jenis, sekaligus memperjelas hukum mempelajari tiap-tiap ilmu tersebut :

1. Fardhu ‘Ain, yaitu ilmu yang dipelajari atau dibutuhkan seorang mukalaf  untuk mengerjakan sesuatu yang hukumnya fardhu ‘ain, atau dengan ungkapan lain ilmu yang terkait dengan sahnya hukum ibadah, mu’amalah dan nikah . Diantara ilmu ini seperti cara berwudhu, shalat, puasa dan lain sebagainya yang menjadi fardhu ‘ain bagi seorang mukalaf.

2. Fardhu Kifayah, yaitu ilmu yang dibutuhkan untuk memperkuat agama seseorang, seperti menghafal al-Qur’an, hadits, Ushul, Fiqh, Nahwu, Bahasa, Sharaf, ilmu perawi hadits, Ijma’, ilmu Khilaf, dan termsauk juga ilmu yang dibutuhkan untuk kemaslahatan seseorang di dunia seperti ilmu kedokteran dan berhitung.

3. Nafilah, seperti mendalami dalil-dalil dasar dan menekuni sesuatu yang melebihi kadar ilmu fardhu kifayah.

Dari hal di atas bisa kita simpulkan bahwa secara umum ilmu Fiqh bisa dikategorikan ilmu ghayah,  yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan seorang muslim untuk mencapai tujuan asasi, kebahagian di dunia dan akhirat. Sedangkan hukum mempelajarinya secara umum bisa kita katakan fardhu kifayah kecuali dibeberapa permasalahan yang berkaitan dengan fardhu ‘ain, maka hukumnya berobah menjadi fardhu ‘ain, atau bisa dikatakan juga bahwa jika ilmu ini sejalan dan termasuk kedalam sesuatu yang dibutuhkan untuk menyempurnakan yang wajib, maka hukumnya juga wajib (ما لا يتوقف الواجب إلا به فهو واجب) .

 

E. Kelebihan dan Ciri Khas Ilmu Fiqh


Dr. Wahbah Zuhaili menyebutkan sekitar 8 ciri khas fiqh yang menjadikannya berbeda dari ilmu-ilmu hukum lainnya yang tergolong hukum konvensional :

1. Dasarnya Wahyu Ilahi

2. Mencakup seluruh kebutuhan kehidupan, sebagaimana yang dijelaskan dalam pembahasan cakupan pembahasan Ilmu Fiqh terdahulu.

3. Selalu memiliki sifat religius karena keterkaitannya dengan halal dan haram

4. Fiqh berhubungan dengan akhlak dan moral

5. Balasan atau hukuman dalam fiqh selalu berkaitan dengan dua sisi duniawi dan ukhrawi

6. Fiqh memelihara kepentingan individu dan kepentingan umum bersama sekaligus, dan jika terjadi pertentangan antara kedua sisi tersebut maka didahulukan kepentingan umum.

7. Fiqh mampu bertahan dan dipraktekkan untuk selama-lamanya, karean Fiqh memiliki standar-standar baku yang tidak berubah sepanjang masa, seperti ridha atau prinsip suka sama suka sebagai salah satu standar dalam bentuk-bentuk transksi dalam Islam. Dan di sisi lain Fiqh juga memiliki sisi yang melentur sesuai perkembangan zaman, seperti qiyas, prinsip menjaga maslahat dan adat, dan lain sebagainya.

8. Tujuan dari standarisasi Fiqh dan ilmu-ilmu yang berkaitan denganya adalah untuk kesempurnaan fungsi yang diembannya baik bagi tataran praktis individu maupun tataran legalisasi karena ia juga bisa menjadi sumber hukum dan aturan di negara Islam manapun.

Disqus Comments