BAB 1
PENDAHULUANA. Latar Belakang
Ibadah adalah hal yang paling pokok dalam kehidupan seorang muslim. Bahkan pada hakekatnya, hidup seorang muslim adlah ibadah, tatapi tindakan seorang muslim berakal, berfikir, bahwa tidak setiap ibadah diterima disisi Allah SWT. Ada dua syarat amal ibadah , pertama keikhlasan dan yang kedua mencontoh rasulullah SAW. Setiap ibadah yang tidak mencontoh Rasulullah SAW berujung pada perbuatan bid’ah.
Syafaat merupakan usaha perantaraan dalam memberikan suatu manfaat bagi seseorang atau mengelakkan sesuatu mudharat untuknya. Syafaat akan diberika kepada ahlul ikhlash wa al-tauhid yaitu orang orang yang mentauhidkan Allahdengan mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah SWT. Syafaat akan diberikan kepada ahlul ikhlas wa al-tauhid melalui doa orang yang telah diizinkan Allah untuk memperoleh syafaat. Syafaat tidak akan diberikan kepada mereka yang melakukan kesyirikan kepada Allah SWT.
Tabarruk adalah suatu bentuk mencari berkah dengan cara cara yang telah disyariatkan oleh agama, seperti bertabarruk dengan waktu waktu tertentu, seperti pada hari jum’at, bulan ramadhan, dll. Bertabarruk dengan tempat seperti dengan mesjid mesjid dengan cara beribadah dan berzikir di dalamnya dan kegiatan ibadah lainnya.
B. Rumusan Masalah
Beradasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat disusun rumusan masalah yang akan menjadi pembahsan pada makalah ini yaitu
1. Apa pengertian dan macam macam syafaat?
2. Apa hukum dan dalil dalil syafaat?
3. Apa pengertian tabarruk?
4. Apa hukum dan dalil dalil tabarruk?
5. Apa macam macam tabarruk dan penerapannya di masa kini dan masa lalu?
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah Memjelaskan tentang syafaat dan tabarruk, hukum dalil dan penerapannya pada masa lalu dan masa sekarang.
D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini dalah pembeca dapat mengetahui dan menambah pemahaman tentang syafaat dan tabarruk sesuai dengan syariat islam.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Syafaat
1. Pengertian syafaat
Syafaat berasal dari kata asy-sayafa’ (ganda) yang merupakan lawan dari al-witru (tunggal), yaitu menjadikan sesuatu yang tunggal menjadi ganda, seperti membagi satu menjadi dua, dan sebagainya. Ini pengertian syafaat secara bahasa.
Secara istilah, syafaat berarti menjadi penengah bagi orang lain dengan memberikan manfaat kepadanya atau menolak madharat, yakni pemberi syafaat itu memberi manfaat kepada orang yang diberi syafaat dan menolak madharat untuknya.
Syafaat adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain.
Syafaat menurut para ulama
a) Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi Al-Samarqandi (w.333 H), dalam tafsiran mengisyaratkan tentang adanya sayafaat yang dikabulkan Allah (al-syafa’ah al-maqbullah). Beliau berdalil dengan firman Allah yang berbunyi, “dan mereka tiada member syafaat melainkan kepada orang orang yang diridhai Allah” (QS. Al-anbiya; 21:28), yang pada bagian sebelumnya beliau juga mengemukakan firman Allah yang berbunyi, “dan tidak diterima syafaat darinya” (QS. Al-baqarah; 2:48). Dari kedua ayat tersebut beliau kemudian menyimpulkan bahwa, kendati pun ayat yang pertama menenafikan syafaat, namun tetap dinyatakan adanya syafaat yang di terima seperti diisyaratkan pada ayat yang kedua.
b) Tajul Islam Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.380 H) sepakat pula dengan pendapat yang menyatakan bahwa mengakui adanya syafaat berdasarkan ayat ayat yang difirmankan Allah dan riwayat riwayat yang disampaikan oleh Nabi SAW. Hukumnya adalah wajib , karena adanya firman allah yang berbunyi, “dan kelak tuhanmu akan memberi karunianya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”(QS. Al-Dhuha; 93:5), “dan mudah mudahan tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (QS. Al-Isra’; 17:79), serta “dan tiada member syafaat melainkan kepada orang orang yang diridhai Allah” (QS. Al-Anbiya; 21:28). Sementara itu nabi saw mengatakan
قَ لَ النَّبِيُّ صل الله عليه واله: شَفَاعَتِي لِاَهْل الكَبَا ئِرِ مِنْ اُمَّتِي
“syafaatku adalah untuk pelaku pelaku dosa besar di antara umatku”
c) Syaikh Al-Mufid mengatakan : imamiah sepakat bahawa Rasulullah SAW. Akan memberikan syafaatnya pada hari kiamat kepda sekelompok pelaku dosa besar diantara umatnya, dan bahwa amirul mukminin Ali bin Abi Thalib juga akan memberikan syafaatnya kepada para pelaku dosa besar dikalangan Syi’ahnya; demikian pula halnya denga para imam dari keluarga Muhammad (Aali Muhammad ). Melalui syafaat mereka inilah Allah menyelamatkan banyak orang berdosa. kaum murji’h, kecuali Ibnu Syubaib dan sekelompok ulama ahl al-hadits, sependapat dengan mereka.
Sementar itu kaum mu’tazilah seluruhnya sepakat menolak syafaat, dan menganggap bahnwa syafaat Rasulullah SAW itu hanya di peruntukkan bagi orang orang yang taat dan bukan untuk para pelaku maksiat, dan bahwasanya beliau tidak memberikan syafaat kepada orang yang memang berhak atas siksa. Pada bagian lain belliau mengatakan, bahwa rasullah saw memintakan syafaat bagi umatnya yang melakukan dosa, lalu Allah memperkenankan beliau memberikan syafaat. Kemudian amirul mukminin Ali bin Abi Thalib pun memohon syafaat bagi pengikut pengikutnya yang melakukan maksiat, dan Allah pun memperkenankan beliau untuk memberikan syafaat.
Dalam riwayat yang telah dikemukakan tersebut, para imam juga memohonkan syafaat bagi pengikut pengikutnya yang melakukan dosa, lalu Allah memperkenankan beliau beliau untuk memberikan syafaat. Seterusnya kepada seorang mukmin yang bajik memohon syafaat pula bagi sahabatnya yang melakukan dosa, dan ternyata permohonannya tersebut bermanfaat dan Allah memperkannya untuk memberikan syafaat. Pendapat tersebut disepakati oleh kalangan imamiah, kecuali mereka yang mempunyai pendapat yang tidak popular. Syafaat ini telah dikemukakan Al-Quran menyebut orang orang kafir dan mengemukakan kerugian kerugian mereka di bandingkan orang orang yang beriman, ia menuturkan bahwa orang kafir itu berkata,
فَمَا لَنَا مِنْ شَا فِعِيْنَ,وَلَاصَدِيْقٍ حَمِيْمٍ
“kami tidak mempunyai seorang pemberi syafaat pun, dan tidak pula mempunyai seorang teman yang akrab” (QS. Asy-Syu’ara’: 26:100-101)
Sementara itu Rasulullah SAW bersabda “sesungguhnya pada hari kiamat aku memohonkan syafaat (kepada allah), dan aku pun diperkenankan memberikan syafaat; dan ali pun memohon syafaat, lalu ia diperkenankan pula; dan orang orang mukmin bisa memberikan syafaat maksimal kepada empat puluh orang sahabat mereka”
2. Macam macam syafaat
a) Syafaat yang didasarkan pada dalil yang kuat dan sahih.
Yaitu syafaat yang telah ditegaskan oleh Allah di dalam Alqur’an maupun yang telah dijelaskan oleh Rasulullah. Syafaat tidak diberikan kecuali kepada orang orang yang bertauhid dan iklas karena Allah.
Dan diberitahukan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihiwasallam bahwa beliau akan datng bersujud pada Allah dan menghaturkan segala puji kepadaNya. Beliau tidak langsung memberi syafaat terlebih dahulu. Setelah itu barulah dikatakan kepada beliau: “angkatlah kepalamu, katakanlah niscara akan didengar apa yang kamu katakana, mintalah niscaya akan diberi apa yang kamu minta, dan berilah syafaat niscaya akan diterima syafaat yang kamu berikan itu”. (HR. Ahmad dan al-Bukhari)
Abu hurairah bertanya, “ siapakah orang yang paling beruntung dengan syafaat engkau?” beliau menjawab, “ialah orang yang mengatakan ‘Laa ilaaha illallah’ dengan ikhlas dari dalam hatinya”. (HR. Ahmad dan al-Bukhari)
Syafaat yang ditetapkan ini adalah syafaat untuk ahlul ikhlas wa al-tauhid (orang orang yang mentauhidkan Allah dengan mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah, dengan seizing Allah; bukan untuk orang yang berbuat syirik kepada-Nya. Dan pada hakekatnya Allah lah yang melimpahkan karunia-Nya kepada ahlul ikhlash wa al-Tauhid dengan memberikan magfirah kepada mereka melalui doa orang yang di izinkan Allahuntuk memperoleh dan menerimakan kepadanya maqam al-mahmud (kedudukan terpuji).
b) Syafaat batil
Yaitu syafaat yang tidak berguna bagi pemiliknya, seperti anggapan orang orang musyrik kepada tuhan tuhan mereka yang dapat memerintahkan syafaat kepada Allah. Syafaat seperti ini tidak akan bermanfaat bagi mereka.
Allah berfirman:
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.” (QS. Al-Mudatstsir: 48)
Demikian itu karena Allah tidak rela kepada kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik itu dan tidak mungkin Allah memberi izin kepada para pemberi syafaat itu, untuk memberikan syafaat kepada mereka; karena tidak ada syafaat kecuali bagi orang yang diridhai Allah. Allah tidak meridhai hamba-hamba-Nya yang kafir dan Allah tidak senang kepada kerusakan.
Ketergantungan orang-orang musyrik kepada tuhan-tuhan mereka dengan menyembahnya dan mengatakan,
“Mereka adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah,” (QS. Yunus: 18) adalah ketergantungan batil yang tidak bermanfaat. Bahkan yang demikian itu tidak menambah mereka kecuali semakin jauh dari Allah, karena orang-orang musyrik meminta syafaat kepada berhala-berhala dengan cara yang batil, yaitu menyembahnya. Itu kebodohan mereka yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah, tetapi sebenarnya tidak lain hanya menjadikan mereka semakin jauh.
3. Syarat diterimanya syafaat
Allah meridhoi orang yang memberi syafaat.
Allah berfirman.
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Allah meridhoi orang yang diberi syafaat.
Allah berfirman.
يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
“Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati kerana takuT kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya’: 28)
وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لاَتُغْنِى شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلاَّ مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَى
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (QS. An-Najm: 26)
Allah mengizinkan pemberi syafaat untuk memberi syafaat.
يَوْمَئِذٍ لاَتَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً
“Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (QS. Thaha: 109)
Menurut penjelasan para ulama, syafaat yang diterima, dibagi menjadi dua macam:
Pertama, syafaat umum. Makna umum, Allah mengizinkan kepada salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memberikan syafaat kepada orang-orang yang diperkenankan untuk diberi syafaat. Syafaat ini diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, nabi-nabi lainnya, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang shalih. Mereka memberikan syafaat kepada penghuni neraka dari kalangan orang-orang beriman yang berbuat maksiat agar mereka keluar dari neraka.
Kedua, syafaat khusus, yaitu syafaat yang khusus diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan syafaat terbesar yang terjadi pada Hari Kiamat. Tatkala manusia dirundung kesedihan dan bencana yan tidak kuat mereka tahan, mereka meminta kepada orang-orang tertentu yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi syafaat. Mereka pergi kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa. Tetapi mereka semua tidak bisa memberikan syafaat hingga mereka datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berdiri dan memintakan syafaat kepada Allah, agar menyelamatkan hamba-hamba-Nya dari adzab yang besar ini. Allah pun memenuhi permohonan itu dan menerima syafaatnya. Ini termasuk kedudukan terpuji yang dijanjikan Allah di dalam firman-Nya,
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Israa’: 79)
Di antara syafaat khusus yang diberikan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah syafaatnya kepada penghuni surga agar mereka segera masuk surga, karena penghuni surga ketika melewati jembatan, mereka diberhentikan di tengah jembatan yang ada di antara surga dan neraka. Hati sebagian mereka bertanya-tanya kepada sebagian lain, hinngga akhirnya mereka bersih dari dosa. Kemudian mereka baru diizinkan masuk surga. Pintu surga itu bisa terbuka karena syafaat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
4. Hukum meminta syafaat
Hukum meminta syafaat adalah boleh, bahkan meminta syafaat kepada Rasulullah SAW sangat dianjurkan. Para ulama salaf sampai membuat shalawat yang mana shalawat tersebut , meminta langsung kepada Rasulullah SAW, shalawatnya adalah sebagai berikut:
اللهم صل علي محمد قد ضاقت حيلتي ادركني يا رسول الله
B. Tabarruk
1. Pengertian tabarruk
Bertabarruk, istilah yang sangat kita kenal ini, maknanya adalah mencari barakah (berkah). Mencari barakah tidak terlepas dari dua keadaan:
Pertama, mencari barakah dengan perkara yang telah disyariatkan seperti (dengan) Al-Qur’an. Allah berfirman tentang hal ini:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
“Al-Qur’an yang Kami telah turunkan kepadamu akan dapat memberikan barakah.”
Bentuk barakah Al-Qur’an di antaranya, barang siapa mengambil apa yang ada di dalamnya baik berupa perintah maupun larangan, niscaya akan terwujud kemenangan, dan Allah telah menyelamatkan umat-umat dengan Al-Qur’an ini. Termasuk juga dari barakah Al-Qur’an, bahwa satu huruf memiliki sepuluh kali lipat kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan tentang hal ini:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
”Sesungguhnya Allah mengangkat suatu kaum dengan Al-Qur’an ini dan menghinakan kaum yang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 817 dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu).
Kedua, bertabarruk dengan perkara yang umum dan dapat dirasakan seperti bertabarruk (mencari kebaikan yang banyak) dengan cara mengajar, berdoa dan sebagainya (misalnya: bertabarruk dengan ilmu dan dakwah menuju kebaikan). Tentunya ini merupakan wujud barakah yang karenanya kita mendapatkan kebaikan yang banyak. (Al-Qaulul Mufid, 1/240)
Islam sendiri telah menetapkan adanya barakah pada hal-hal yang telah ditentukan oleh syariat di mana setiap orang berhak untuk mendapatkannya. Barakah tidak hanya didapati oleh murid guru tertentu, kelompok ataupun pengikut tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang Al-Qur’an:
اقْرَؤُا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفَيْعاً لأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an itu akan menjadi pemberi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.” (Shahih, HR. Muslim dan shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu)
اجْتَمِعُوْا عَلىَ طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيِهِ يُبَارِكَ لَكُمْ فِيْهِ
“Makanlah kalian dengan berjamaah dan sebutlah Allah, niscaya Allah akan memberkahi kalian padanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3199, Shahih Sunan Ibni Majah no. 3286, dan di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 664 dari shahabat Wahsyi radhiallahu ‘anhu).
مَنْ تَطَهَّرَ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ وَصَلىَّ فِيْهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
”Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian dia mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, maka ganjarannya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, An-Nasai, dan Ibnu Majah, dan telah dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitabnya Shahih Sunan Ibni Majah, 1/238 no. 1160, dan Ta’liqul Ar-Raghib, 2/138)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang itsmid (celak mata):
عَلَيْكُمْ بِاْلإِثْمِدِ فَإِنَّهُ مَنْبَتَةٌ لِلشَّعْرِ مُذْهِبَةٌ لِلْقَذَرِ مُصْفَاةٌ لِلْبَصَرِ
“Hendaklah kalian memakai itsmid karena sesungguhnya itsmid itu dapat menumbuhkan bulu mata, menghilangkan kotorannya, dan membersihkan penglihatan.” (HR. Al-Bukhari di dalam At-Tarikh, 4/2/412, dan Ath-Thabrani, 1/12/1, dan Abu Nua’im di dalam Al-Hilyah, 3/178, dan dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2/270 no. 665, dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Masih banyak lagi nash-nash yang menjelaskan adanya kebaikan (berkah) yang banyak pada makhluk-makhluk Allah yang lain. Dan itu menjadi sandaran bagi kita bahwa syariat menjelaskan adanya barakah yang dikandungnya.
2. Macam-Macam Tabarruk
Tabarruk terkadang dijadikan sebagai pembenaran atas amalan tertentu yang sebenarnya terlarang menurut syariat, bahkan termasuk dari perbuatan syirik besar. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui macam-macam tabarruk, mana yang diperbolehkan dan yang dilarang:
Pertama, tabarruk yang disyariatkan, sebagai berikut:
a. Tabarruk dengan ucapan, amalan, dan keadaan-keadaan (perilaku).
Di dalam Islam, ada beberapa perkataan, amalan, dan perilaku yang apabila dipraktekkan akan terwujud kebaikan dan barakah yang banyak. Tentu selama hal tersebut mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah dzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an. Di antara barakah dzikir kepada Allah adalah mendapatkan doa dari malaikat, sanjungan di hadapan makhluk-Nya dan ampunan dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari.
Di antara barakah Al-Qur’an adalah sebagai obat, petunjuk, dan rahmat bagi seluruh manusia. Serta sebagai pemberi syafaat kelak di hadapan Allah sebagaimana dalam hadits Abu Umamah yang dikeluarkan Al-Imam Muslim.
Adapun contoh amalan yang mengandung berkah adalah menuntut ilmu dan mengajarkannya. Di antara barakahnya adalah terangkatnya derajat di dunia dan di akhirat. Kemudian shalat secara berjamaah, yang barakahnya adalah dihapuskannya dosa-dosa dan dilipatgandakannya kebaikan-kebaikan.
Contoh perilaku (keadaan) di antaranya makan berjamaah, makan dari pinggir nampan, menjilat lidah dan menakar makanan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang shahih.
b. Tabarruk dengan tempat
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
(آل عمران:96)
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (Q.S. ali Imron : 96)
Ada sejumlah tempat yang oleh Allah dijadikan tempat yang mengandung banyak kebaikan (barakah). Yakni apabila beramal di tempat tersebut dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Contohnya adalah masjid-masjid, di mana mencari barakahnya dengan melaksanakan shalat lima waktu, beri’tikaf, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya dengan cara-cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perlu diketahui, bertabarruk pada masjid-masjid itu bukan dengan cara mengusap-ngusap tembok atau tanah masjid tersebut, atau yang hal-hal lain yang dilarang syariat.
Contoh lain bahwa Allah melalui lisan Rasul-Nya telah menjelaskan barakah kota Makkah, Madinah, Syam, Masjid Al-Haram, Masjid Quba, dan Masjid Al-Aqsha. Mencari barakah padanya bukan dengan menziarahi semata, mencium, atau mengusap tanahnya, namun dengan cara beribadah di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits.
Dalam sebuah hadits tentang perjalanan Isra’ dan mi’raj Jibril mengajak Rasulullah SAW singgah di beberapa tempat untuk bertabarruk dengan mengerjakan shalat dua rakaat seperti di Bait Lahm tempat kelahiran Nabi Isa a.s., di bukit Thurisina, tempat Nabi Musa ber-mukalamah dengan Allah SWT, dan lain-lain. Sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik berikut :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال أُتِيتُ بِدَابَّةٍ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ خَطْوُهَا عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهَا فَرَكِبْتُ وَمَعِي جِبْرِيلُ عليه السَّلَام
فَسِرْتُ فقال انْزِلْ فَصَلِّ فَفَعَلْتُ فقال أَتَدْرِي أَيْنَ صَلَّيْتَ صَلَّيْتَ بِطَيْبَةَ وَإِلَيْهَا الْمُهَاجَرُ ثُمَّ قال انْزِلْ فَصَلِّ فَصَلَّيْتُ فقال أَتَدْرِي أَيْنَ صَلَّيْتَ
صَلَّيْتَ بِطُورِ سَيْنَاءَ حَيْثُ كَلَّمَ الله عز وجل مُوسَى عليه السَّلَام ثُمَّ قال انْزِلْ فَصَلِّ فَنَزَلْتُ فَصَلَّيْتُ فقال أَتَدْرِي أَيْنَ صَلَّيْتَ صَلَّيْتَ بِبَيْتِ
لَحْمٍ حَيْثُ وُلِدَ عِيسَى عليه السَّلَام ثُمَّ دَخَلْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَجُمِعَ لي الْأَنْبِيَاءُ عليهم السَّلَام فَقَدَّمَنِي جِبْرِيلُ حتى أَمَمْتُهُمْ ، رواه النسائي
“Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Didatangkan kepadaku kendaraan Buraq,’ lebih besar dari keledai, dan lebih kecil dari baghal (peranakan kuda dan keledai), langkahnya sejauh pandangannya. Lalu aku menaikinya dan berangkat bersama Jibril a.s. Tiba-tiba Jibril berkata kepadaku, “Turunlah dan shalatlah.” Aku pun mengerjakannya. Kemudian Jibril berkata “Tahukah engkau di mana engkau shalat, engkau tadi shalat di Tayyibah (Madinah) yang akan menjadi tujuanmu hijrah. Kemudian Jibril berkata: “Turunlah dan shalatlah!”, aku pun mengerjakannya, lalu dia berkata: “Tahukah engkau di mana shalatmu tadi, engkau shalat ada di Thurisina tempat Allah ber-mukalamah dengan Musa a.s.” Lalu berangkat lagi dan Jibril berkata: “Turunlah dan shalatlah!”, maka aku pun mengerjakannya, lalu dia bertanya: “Tahukah engkau di mana engkau shalat, engkau shalat ada di Bait Lahm, tempat kelahiran Nabi Isa a.s., kemudian aku masuk ke Baitil Maqdis, di sana telah berkumpul para nabi, lalu Jibril memintaku untuk menjadi imam shalat mereka.” (H. R. An-Nasa’i)
c. Tabarruk dengan waktu
Allah memberi kelebihan dan keberkahan pada waktu-waktu tertentu, seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat ad-Dukhan ayat 3
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرين
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi (malam lailatul qadr) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (Q.S. ad-Dukhan:3)
Rasulullah SAW juga bersabda.
إن لربكم عز وجل في أيام دهركم نفحات ، فتعرضوا لها ، لعل أحدكم أن تصيبه منها نفحة لا يشقى بعدها أبدا » رواه الطبراني
“Sesungguhnya Tuhan kalian di hari-hari kalian memiliki anugerah-anugerah, maka carilah augerah itu, mungkin kiranya salah satu diantara kalian mendapatkannya, maka tidak akan celaka selamanya.” (H.R Thabrani)
Contoh waktu yang telah dikhususkan oleh syariat di mana waktu tersebut mengandung kebaikan yang banyak (barakah) adalah bulan Ramadhan. Caranya, mengisi bulan mulia tersebut dengan berpuasa yang akan terhapuskan dosa-dosa dan bertambahnya rizki orang-orang yang beriman. Contoh lain adalah malam Lailatul Qadar, sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir, dan lain-lain. Mencari barakah pada waktu-waktu tersebut adalah dengan cara melaksanakan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apa-apa yang disebutkan di atas maupun yang belum disebutkan yang sudah jelas nashnya, mencari barakahnya adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan tidak keluar dari pensyariatan tersebut. (At-Tabarruk Al-Masyru’, Al-‘Ulyani, hal. 33-50)
Kedua, tabarruk batil yang tidak diperbolehkan. Di antara bentuk-bentuk tabarruk batil ini adalah:
a. Tabarruk pada tempat-tempat yang tidak dijelaskan oleh syariat baik dengan cara mencium, mengusap, atau mencari syafaat darinya.
b. Pergi ke kuburan dengan tujuan ziarah dan berdoa di sisinya, dengan keyakinan bahwa berdoa di sisinya lebih utama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim (hal. 433) mengatakan, “Bila seseorang shalat di sisi kuburan para nabi atau orang-orang shalih dengan tujuan untuk mencari barakah, maka ini merupakan bentuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama, dan mengada-ada di dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah.“
c. Disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juga (hal. 424-426) contohnya seperti orang yang pergi ke gua Hira kemudian shalat di dalamnya, berdoa ke gua Tsur lalu shalat dan berdoa di dalamnya, atau ke bukit Thursina lalu shalat dan berdoa padanya. Atau pergi ke gunung-gunung atau selainnya yang disebut sebagai maqamat (tempat bersejarah) para nabi.
Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam fatwa beliau (3/334) membantah orang-orang yang menghidupkan peninggalan-peninggalan nubuwwah seperti jalan yang dilalui oleh beliau ketika berhijrah, atau tempat tenda Ummu Abd (atau Ummu Ma’bad ???) atau yang sejenisnya. Beliau menjelaskan bahwa cara demikian dapat mengarah pada perbuatan mengagungkan, berdoa di sisinya, atau shalat, dan lain sebagainya. Semua ini merupakan jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada kesyirikan.
d. Menetapkan waktu-waktu tertentu dengan berbagai macam bentuk pengagungan dan acara-acara serta berbagai bentuk ibadah lainnya. Seperti menyambut hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hari Isra’ Mi’raj, hari hijrah, hari Badr, hari Fathu Makkah, dan sebagainya. Bertabarruk pada hari-hari di atas termasuk perbuatan bid’ah dalam agama.
e. Bertabarruk dengan orang-orang shalih, peninggalan-peninggalan mereka seperti tongkatnya, air ludahnya, rambutnya, keringatnya, pakaian-pakaiannya, tempat tidurnya dan lain sebagainya.
(Ta’liq Al-Qaul Al-Mufid, 1/246-250)
3. Tabarruk Orang-Orang Jahiliyyah
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
أَفَرَأَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى
“Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik menganggap) Al-Lata dan Al-‘Uzza dan Manat yang ketiga. Yang paling terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah)?” (An-Najm: 19-20)
Tiga sesembahan di atas merupakan tuhan-tuhan yang besar di kalangan mereka. Tuhan-tuhan itulah tempat mereka memuja dan memuji, serta bertabarruk kepada-Nya. Lalu apakah Al-Lata, Al-‘Uzza, dan Manat itu?
Adapun Al-Lata menurut Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/253), adalah sebuah batu besar yang terukir dan berwarna putih di mana di atasnya terdapat sebuah rumah. Memiliki kelambu dan juru kunci di sekelilingnya, serta terdapat halaman. Al-Lata memiliki kedudukan yang agung di sisi Bani Tsaqif, penduduk Thaif, di mana mereka sangat bangga dengannya di negeri Arab setelah Quraisy. Hakekat Al-Lata disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Rabi’ bin Anas bahwa dia adalah seseorang yang mengadon tepung untuk orang-orang yang melaksanakan haji di masa jahiliyyah. Ketika meninggal, orang-orang i’tikaf di kuburannya untuk kemudian menyembahnya.
Adapun Al-‘Uzza menurut Ibnu Jarir adalah sebuah pohon yang di atasnya terdapat bangunan yang memiliki kelambu. Benda yang sangat diagungkan orang-orang Quraisy ini terletak di Nakhlah, yakni suatu tempat di antara Makkah dan Thaif.
Adapun Manat adalah sesembahan yang berada di Musyallal, tempat antara Makkah dan Madinah, di mana suku Khuza’ah, Aus, dan Khazraj mengagungkan dan memakaikan pakaian ihram padanya.
Di antara bentuk tabarruk mereka adalah apa yang diceritakan oleh Abu Waqid Al-Laitsi. Beliau berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain dan kami baru pindah dari agama kufur (menuju Islam). Orang-orang musyrik memiliki sidrah (sebuah pohon) tempat mereka berhenti dan beristirahat. Dan mereka juga menggantungkan pedang-pedang mereka (untuk bertabarruk dengannya). Pohon itu disebut Dzatu Anwath. (Kata Abu Waqid) kami kemudian melewati sebuah sidrah kemudian mengatakan:
‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) memiliki Dzatu Anwath.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Allahu Akbar, sesungguhnya apa yang kalian katakan ini merupakan jalan-jalan (orang sebelum kalian). Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seperti ucapan bani Israil kepada Musa: ‘Buatkanlah kami satu sesembahan sebagaimana mereka memiliki banyak sesembahan’.
(Musa) berkata: ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil.’ (Rasulullah berkata: ‘Kalian benar-benar akan mengikuti langkah-langkah orang sebelum kalian)’.” (HR. At-Tirmidzi no. 2181, beliau berkata: hadits hasan shahih).
Bentuk tabarruk mereka adalah mengagungkan pohon tersebut, beri’tikaf padanya lalu mengharapkan kebaikan darinya.
BAB 3
PENUTUPA. Kesimpulan
Syafaat adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. Syafaat akan diberikan kepada ahlul ikhlash wa al-tauhid yang berarti orang orang yang mentauhidkan Allah dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah SWT, syafaat tidak akan diberikan kepad orang orang yang musrik kepada Allah SWT. Untuk memperoleh syafaat ada tiga syarat yaitu Allah meridhai orang yan memberi syafaat, Allah meridhai orang yang diberi syafaat, dan Allah memberi izin kepada orang yang member syafaat untuk memberikan syafaatnya kepada orang lain. Hukum meminta syafaat adalah boleh, bahkan meminta syafaat kepada Rasulullah SAW sangat dianjurkan. Para ulama salaf sampai membuat shalawat yang mana shalawat tersebut , meminta langsung kepada Rasulullah SAW, shalawatnya adalah sebagai berikut:
اللهم صل علي محمد قد ضاقت حيلتي ادركني يا رسول الله
Bertabarruk, istilah yang sangat kita kenal ini, maknanya adalah mencari barakah (berkah) dengan hal hal yang telah di syariatkan oleh Allah SWT. Tabarruk dapat dibagi menjadi tabarruk dengan amal, tindakan, bertabarruk dengan waktu, dan bertabarruk dengan tempat.
B. Saran
Penulis berharap agar pembaca dapat memahami dan menerapkan hal hal yang telah di bahas pada makalah di atas, dan penulis juga berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini kedepannya.