Sabtu, 24 Desember 2016

Jalan Menuju Allah (Taubat, Muhasaba, Khauf, Raja', Siddiq, Ikhlas)



A.    PENDAHULUAN

1.        Latar Belakang Masalah
            
   Manusia hidup di dunia ini pada hakikatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab. Kenapa demikian, karena manusia selain merupakan makhluk individual dan makhluk sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. Manusia memiliki tuntutan yang besar untuk hidup bertanggung jawab mengingat ia mementaskan sejumlah peranan dalam konteks individual, sosial ataupun teologis. Menjalani kehidupan ini merupakan perjalanan menuju allah.
           
   Bila kita menolak misalnya, kemudian mengambil clurit, mengayunkannya ke leher kita, maka tunailah kewajiban, Tapi celakanya hal itu tidak dibenarkan oleh ajaran agama dan dikatagorikan sebagai perbuatan dosa. Nah apa hendak dikata ? Mengingat menjalani kehidupan ini merupakan perjalanan yang sifatnya mutlak, maka buntutnya kita dituntut bertanggung jawab dalam melaksanakan perjalanan mutlak tersebut, sehingga dapat kita simpulkan bahwa hakikat hidup ini adalah semata-mata karna lillahi ta’ala agar dalam perjalan kita nanti diberi keridhoan lillahi ta’ala.

Dalam makalah ini kami mencoba untuk mengupas masalah perjalanan menuju allah yang harus di emban oleh orang yang masih hidup. Semoga bermanfaat.
   
2.        Rumusan Masalah
a)       Taubat ?
b)       Muhasabah ?
c)       Khauf?
d)       Raja’ ?
e)       Siddiq ?
f)        Ikhlas ?
3.       Tujuan
Agar kita lebih mengetahui apa saja perjalanan menuju allah.



B.Pembahasan

a.taubat

            Taubat adalah sebagai awal maqam dari ajaran Tauhid Tasawuf, sebab kita tidak dapat sampai kepada Hadhrat Ilahi kalau kita tidak melakukan taubat.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat : 11, sbb :

وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya : Orang-orang yang tidak bertaubat, maka mereka orang-orang yang dhalim / kafir.

               Taubat itu adalah kembali dari melakukan yang bertentangan dengan hukum kepada yang sesuai dengan hukum. Taubat itu baru dianggap sah dengan mengenal dosa dan sifat-sifat dosa, gembira dalam melakukan dosa dan keinginan untuk melanjutkan dosa, keluar dari pemeliharaan Allah SWT, Allah selalu melihat dan memperhatikan kita melakukan dosa.

Syarat-syarat Taubat, sebagai berikut :

~  Memohon ampun pada Allah SWT dengan memperbanyak istighfar atau memintak ma’af pada      manusia serta mengembalikan barangnya kalau kita ada mencurinya ;
~Menahan anggota tubuh dhahir dan bathin kita tidak melakukan dosa ;
~serta bercita-cita tidak melakukan dosa lagi.
Syarat adalah terhenti wujud taubat dengannya, sebab kalau tidak ada syarat maka tidak ada masyruth.

Hakikat Taubat adalah penyebab adanya Taubat, ini terbagi pada tiga perkara yaitu :

~ Menganggap besar dosa;
~Belum dianggap bahwa taubatnya bagus / sempurna;
~ Orang lain melakukan dosa karena ke’uzuran, maka dia menganggap dirinya sejelek-jelek manusia.
Batin dari Taubat adalah untuk mencapai maqam taqwa / patuh, tidak untuk mencari kemegahan / maksud diri, di waktu hadhir hati kepada Allah SWT tidak teringat kepada selain Allah termasuk dosa, inilah yang dimaksud taubat dari taubat.

Allah SWT berfirman dalam surat At-Tahrim, ayat 8 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman taubatlah kamu kepada Allah”.

Orang yang taubat adalah dari golongan orang yang beriman, diperintahkan untuk taubat dari mengingat selain Allah.

              Allah SWT membiarkan kita melakukan dosa adalah untuk memperkenalkan SifatNya kepada kita, seperti :

~ Sifat KeperkasaanNya, sehingga kita tidak dapat menghindar dari berbuat dosa;
~ Sifat KepemurahanNya, sehingga Allah SWT mema’afkan dosa-dosa yang kita lakukan dan           memberikan keampunan dari kesalahan yang kita lakukan apabila kita bertaubat. Dan juga sebagai dalil keadilan Allah SWT untuk menyiksa dengan sebab dosa yang kita lakukan. Dan melihat kurnia pemberian Allah dengan sebab kita telah melakukan taubat dan menjaga ke’aiban nafsu dari dicampuri riya’ dan ‘ujub (melihat taubat itu tidak datang dari Allah SWT tapi dari nafsu dan ‘amal kita). Kemudian juga, dosa yang kita lakukan itu merupakan ketentuan huku pada azal, karena tidak ada perbuatan dan yang memberi bekas dan yang memilih hukm kecuali Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Qashash, ayat 88 :

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ ۚ لَهُ الْحُكْمُ

Artinya : Tiap-tiap sesuatu itu binasa kecuali ZatNya, bagiNya hukum.

Taubat terbagi kepada tiga (3) tingkatan, yaitu :
~ Taubat ‘Awam, mereka memperbanyak amal-amal kebaikan, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Fuqan, ayat 70 :

إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَـٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

Artinya : “Kecuali orang yang taubat dan beriman dan beramal shaleh, Allah akan menggantikan yang jelek-jelek dengan yang baik-baik”.

           Mereka lupa kepada Ihsan Allah dan maghfirah (keampunan) Allah SWT. Orang-orang yang sedang berjalan / Mutawassith, mereka banyak tertipu karena melihat ketentuan hukum azali. Mereka melakukan dosa karena mereka anggap itu sudah ketentuan hukum, jadi mereka mempertahankan nafsu mereka dengan melihat hukum. Kebiasaan ini terjadi kepada si salik yang suluk dengan dirinya karena tidak ada bimbingan dari Syekh untuk melatih dan menta’dibkan nafsu.

~ Taubat Khawash, taubat dari tersia-sia waktu, waktu yang dimaksud ialah orang yang telah tenggelam dalam bermusyahadah, maka terlihat selain Allah dalam syuhudnya dan padam nur muraqabah penyebab keruh persahabatannya dengan Allah SWT. Dia harus Taubat dari tersia-sia waktu sebagaimana yag tersebut di atas.

~ Taubat Khawasul Khawash, Taubat dari selain Allah, yaitu orang yang telah sampai kepada maqam fana’ dengan jalan tamkin. Adapun talwin, yaitu :
• Terlihat ananiyah / dia yang bertaubat. Itu merupakan ‘ilat / penyakit, dia harus bertaubat.
• Terlihat bahwa dia yang melihat penyakit, dia harus bertaubat.
Dia melihat dengan Haq akan Taubatnya dan ‘ilat taubat, maka dia buka orang yang bertaubat dan orang yang melihat ‘ilat taubat. Maka inilah Taubat orang yang Khawasul Khawash.

               Kepada kita dituntut untuk bertaubat dimana saja kita berada dan di waktu keadaan apa saja menurut tingkatan kita masing-masing, agar dengan demikian kita dapat dekat berada di Hadhrat Ilahi, tercapai kebahagiaan kita di dunia dan di akhiran. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin,,,,,,

b.muhasabah/perhitungan

Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman takutlah kamu akan Allah dan hendak memperhatikan oleh diri apa yang mendatangkan ia diri untuk besok. Dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah orang yang sangat tahu dengan apa yang kamu kerjakan.
(Q.S. Al-Hasyr, Ayat : 18)
   
         Muhasabah adalah untuk membuka pintu bathin, berpindah dari ahli dhahir kepada ahli batin, memutuskan ‘awa’iq (penghalang) dan mecegah ‘ala’iq (sangkutan hati kepada selain Allah). Kita harus melihat kepada amal kita / perbuatan kita, bilamana banyak yang hasanat (yang baik) kita bersyukur kepada Allah SWT. Dan jika sebaliknya, kita istighfar (mohon ampun pada Allah SWT) serta berusaha untuk menghilangkan yang jelek-jelek. Sebab Allah memerintahkan kita dengan firman-Nya, sebagai berikut :

أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Artinya : Lunaskan olehmu dengan janji-janji yaitu beriman dan taqwa.
(Q.S. Al-Maidah, ayat : 1)

Muhasabah ini bagi orang-orang yang telah mengokohkan kemauan untuk bertaubat kepada Allah SWT.

Muhasabah terbagi kepada tiga tingkatan, yakni :

~Muhasabah tingkat pertama,

Mengira / membandingkan antara kesalahan / dosa dengan nikmat yang Allah berikan padanya. Sebab nikmat itu dituntut untuk disyukuri, bilamana tidak disyukuri kita disebut dengan kufur nikmat. Untuk mendapatkan muhasabah tingkat pertama ini ada tiga syaratnya :
a. Nur Hikmah / Ilmu Fiqih, sebab hasanat dan syariat dapat kita ketahui dengan ilmu fiqih,
b. Kita menganggap bahwa nafsu kitalah sumber kejahatan,
c. Membedakan antara Ihsan dan Istidraj. Bilamana kita melihat bahwa nikmat itu datang dari Allah SWT, maka inilah penyebab kita dapat berkumpul dengan Allah itu dikatakan Ihsan. Sebaliknya jika kita melihat bahwa nikmat itu datang dari selain Allah (makhlukNya), maka kita berpisah dari Allah inilah yang disebut Istidraj.

~Muhasabah tingkat kedua, yaitu :
        
      Sesuatu yang milik Allah SWT, seperti ibadat-ibadat baik itu yang fardhu maupun sunat yang manfaatnya untuk kita, apakah itu dari kita atau dari Allah SWT ? Maka tidak berhak bagi kita untuk menuntut upah, sebab melunaskan ‘ubudiah itu hukumnya wajib. Kesalahan atau dosa yang kita lakukan adalah hujjah Allah SWT di atas diri kita dan demikian juga adalah huku azali / qadha dan qadar Allah SWT, sebab dosa itu kehendak ‘ain kita dalam ilmuNya. Bilamana kita tidak menganggap seperti ini, maka kita tidak dapat mencapai maqam yang mulia.

~Muhasabah tingkat ketiga, yaitu :
             
Tha’at yang kita lakukan maka kita tidak boleh ridha/senang, sebab tha’at ini tidak dapat mengimbangi nikmat yang Allah berikan pada kita. Sebaliknya, kalau kita ridha/senang berarti kita mendakwakan bahwa kita telah dapat mengimbangi nikmat. Ini merupakan kesalahan yang besar. Kesalahan yang dilakukan oleh teman kita tidak boleh dicela, sebab dengan demikian itu kita menganggap diri kita bersih dari berbuat kesalahan, maka bahayanya lebih besar untuk diri kita. Orang yang melakukan kesalahan nantinya mungkin dia lebih baik dari kita. Oleh sebab itu, maka jangan kita jadikan neraca disisi kita tersia-sia.

Bilamana kita dapat Bermuhasabah seperti ini, kita telah berangkat dari ahli dhahir kepada ahli batin atau dari ‘awam kepada permulaan maqam khawash, sehingga kita dapat berteman dengan Allah SWT (Raja Sekalian ‘Alam atau Jagat Raya ini).

c.khauf

           Secara etimologi, khauf berasal dari bahasa arab yang berarti ketakutan. Dalam KBBI, khauf adalah kata benda yang memiliki arti ketakutan atau kekhawatiran. Khawatir sendiri merupakan kata sifat yang bermakna takut (gelisah, cemas) terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Sedangkan takut adalah kata sifat yang memiliki beberapa makna seperti, merasa gentar menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Jadi khauf berarti perasaan gelisah atau cemas terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti.
         
   Adapun secara terminologi, sebagaimana diuraikan dalam kamus tasawuf, khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Khauf timbul karena pengenalan dan cinta kepada Allah yang mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
         
 Menurut Imam Qusyairy, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumNya. Menurutnya khauf adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan.
Menurut Sayyid Ahmad bin Zain al-Habsyi, khauf adalah:
“Suatu keadaan yang menggambarkan resahnya hati karena menunggu sesuatu yang tidak disukai yang diyakini akan terjadi dikemudian hari.”
Ibn Jalla’ berkata bahwa orang tidak dikatakan takut karena menangis dan megusap air matanya, tetapi karena takut melakukan sesuatu yang mengakibatkan ia disiksa karenanya.
        
  Ibnu Khabiq berkata, “Makna khauf menurutku adalah berdasarkan waktunya, yaitu takut yang tetap ada pada Allah saat ia dalam keadaan aman.” Menurutnya, orang yang takut adalah seorang yang lebih takut akan dirinya sendiri dari pada hal-hal yang ditakutkan syaitan.
Imam Qonadi berkata, “Alamat dari pada khauf adalah ia tidak menyakitkan dirinya dengan banyak angan.” Sebagian Arifin berkata, “Alamat khauf yaitu beku dan layunya hati dari kesenangan.”
Al-Falluji berpendapat bahwa khauf adalah suatu bentuk kegelisahan ketika seseorang memperkirakan sesuatu yang ia benci akan menimpanya.

Dalam al-Quran, kata khauf diulang sebanyak seratus dua puluh kali. Diantaranya adalah dalam surah al-Qasas ayat 21;
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah Aku dari orang-orang yang zalim itu".
          
  Ayat yang serupa dengan ayat tersebut yaitu surah al-Naml ayat 10 dan surah al-Qasas ayat 33. Ayat tentang khauf yang lain diantaranya dalam surah az-Zumar ayat 13, al-Nur ayat 37, al-Insan ayat 10 yang menunjukkan ketakutan pada siksaan hari akhir. Sedang khauf dalam surah Asy-Syuara’ ayat 14 menunjukkan ketakutan terhadap bahaya. Ayat-ayat tentang khauf ini, khauf bermakna ketakutan yang diikuti dengan perasaan cemas atau khawatir akan sesuatu.

Khauf berbeda dengan khasyyah dan haibah. Khauf merupakan salah satu syarat iman dan hukum-hukumnya, khasyyah adalah salah satu syarat pengetahuan, sedangkan haibah adalah salah satu syarat pengetahuan makrifat. Khasyyah merupakan ketakutan yang hanya diperuntukkan bagi Allah. Khasyyah adalah kekhawatiran yang disertai pengagungan, dan biasanya itu terjadi karena tahu dengan apa yang ia takutkan. Khasyyah lebih khusus daripada khauf, karena khasyyah hanya dimiliki oleh orang alim yang mengetahui Allah.
         
   Haibah lebih tinggi lagi dari khasyyah, haibah berarti ketakutan yang terhormat, ketakutan dalam menghadapi keagungan Allah. Menurut Syekh Abu Ali ad-Daqqaq, ketiga ketakutan tersebut merupakan tahapan khauf.
         
   Sedangkan menurut Abu al-Qasim al-Hakim khauf ada dua jenis, yaitu rahbah atau gentar dan khasyyah. Orang yang merasa gentar mencari perlindungan dengan cara lari ketika takut, tetapi orang yang merasa khasyyah akan berlindung kepada Allah.
Khasyyah di dalam al-Quran diantaranya disebutkan dalam surah al-Bayyinah ayat 7-8 dan surah al-Nisa ayat 77.
Huzn (kesedihan), qabdh (kesempitan), insyaq (kecemasan), dan kesyukuran adalah keadaan yang dinisbatkan kepada khauf. Semua itu termasuk jenis-jenis khauf.
   
         Sikap khauf tidak akan hilang dalam diri seorang mukmin, karena apabila imannya kuat amalnya menjadi baik. Bahkan apabila iman sudah makin sempurna dan amal makin baik, pasti khauf akan semakin besar. Jika hati seseorang menyaksikan kedekatan dengan Allah sebagai tuan yang penuh dengan kewibawaan, keagungan (haibah) dan kekuasaannya, maka hal itu akan mendatangkan perasaan takut (khauf) dan malu yang menggetarkan.
Menurut al-Tusi, Khauf terbagi menjadi tiga macam, khauf Ajillah, khauf Ausat, dan khauf ‘Ammah. Khauf ajillah sebagaimana firman Allah bahwa khauf disandingkan dengan iman

Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Said al-Kharraj, “Saya tidak sepakat tentang makna khauf pada sebagian ahli makrifat, merekapun memberi tahu bahwa mereka amat suka seandainya melihat seorang yang tahu kedudukan khauf di hadapan Allah.” Ia pun melanjutkan, “Sesungguhnya kebanyakan orang yang takut, lebih takut atas dirinya sendiri dari pada Allah, takut itu pun bisa menjadi syafaat dari siksa Allah yang ditakutinya dan akhirnya beramal dengan ikhlas karena Allah.”

d.raja’
           
  Raja’ dan Khauf merupakan 2 sayap (janaahaan) yang dengannya terbang para muqarrabiin ke segala tempat yang terpuji. Kedua sifat ini sangat penting untuk didefinisikan, karena jika tidak akan terjadi dua kesalahan yang sangat berbahaya. Pertama, adalah sikap berlebihan (ghuluww) sebagaimana yang dialami oleh sebagian kaum sufi yang menjadi sesat karena mendalami lautan ma’rifah tanpa dilandasi oleh syari’ah yang memadai [2]. Sedangkan kesalahan yang kedua, adalah sikap mengabaikan (tafriith), sebagaimana orang-orang yang beribadah tanpa mengetahui kepada siapa ia beribadah dan tanpa merasakan kelezatan ibadahnya, sehingga ibadahnya hanyalah berupa rutinitas yang kering dan hampa dari rasa harap, cemas dan cinta.
         
Raja’ adalah sikap mengharap dan menanti-nanti sesuatu yang sangat dicintai oleh si penanti. Sikap ini bukan sembarang menanti tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu, sebab penantian tanpa memenuhi syarat ini disebut berangan-angan (tamniyyan). Orang-orang yang menanti ampunan dan rahmat ALLAH tanpa amal bukanlah Raja’ namanya, tetapi berangan-angan kosong.
       
  Ketahuilah bahwa hati itu sering tergoda oleh dunia, sebagaimana bumi yang gersang yang mengharap turunnya hujan. Jika diibaratkan, maka hati ibarat tanah, keyakinan seseorang ibarat benihnya, kerja/amal seseorang adalah pengairan dan perawatannya, sementara hari akhirat adalah hari saat panennya. Seseorang tidak akan memanen kecuali sesuai dengan benih yang ia tanam, apakah tanaman itu padi atau semak berduri ia akan mendapat hasilnya kelak, dan subur atau tidaknya berbagai tanaman itu tergantung pada bagaimana ia mengairi dan merawatnya.
         
  Dengan mengambil perumpamaan di atas, maka Raja’ seseorang atas ampunan ALLAH adalah sebagaimana sikap penantian sang petani terhadap hasil tanamannya, yang telah ia pilih tanahnya yang terbaik, lalu ia taburi benih yang terbaik pula, kemudian diairinya dengan jumlah yang tepat, dan dibersihkannya dari berbagai tanaman pengganggu setiap hari, sampai waktu yang sesuai untuk dipanen. Maka penantiannya inilah yang disebut Raja’.
          
 Sedangkan petani yang datang pada sebidang tanah gersang lalu melemparkan sembarang benih kemudian duduk bersantai-santai menunggu tanpa merawat serta mengairinya, maka hal ini bukanlah Raja’ melainkan bodoh (hamqan) dan tertipu (ghuruur). Berkata Imam Ali ra tentang hal ini:
“Iman itu bukanlah angan-angan ataupun khayalan melainkan apa-apa yang menghunjam di dalam hati dan dibenarkan dalam perbuatannya.”
Maka renungkanlah wahai saudaraku !
         
 Maka seorang hamba yang yang memilih benih iman yang terbaik, lalu mengairinya dengan air ketaatan, lalu mensucikan hatinya dari berbagai akhlaq tercela, ia tekun merawat dan membersihkannya, kemudian ia menunggu keutamaan dari ALLAH tentang hasilnya sampai tiba saat kematiannya maka penantiannya yang panjang dalam harap dan cemas inilah yang dinamakan Raja’. Berfirman ALLAH SWT:
“Orang-orang yang beriman, dan berhijrah dan berjihad dijalan ALLAH, mereka inilah yang benar-benar mengharapkan rahmat ALLAH.” (QS. Al-Baqarah, 2: 218).
          
  Sementara orang yang tidak memilih benih imannya, tidak menyiraminya dengan air ketaatan dan membiarkan hatinya penuh kebusukan, darah dan nanah serta kehidupannya asyik mencari dan menikmati syahwat serta kelezatan duniawi lalu ia berharapkan ALLAH akan mengampuni dosa-dosanya maka orang ini bodoh dan tertipu. Berfirman ALLAH SWT tentang mereka ini:

“Maka setelah mereka digantikan dengan generasi yang mewarisi Kitab yang menjualnya dengan kerendahan, lalu mereka berkata ALLAH akan mengampuni kita.” (QS. Al’A’raaf, 7: 169).
Dan mereka juga berkata:

“Jika seandainya saya dikembalikan kepada RABB-ku maka aku akan mendapat tempat yang lebih baik dari ini.” (QS. Al-Kahfi, 18: 36).
Bersabda Nabi SAW:

“Orang yang pandai adalah yang menjual dirinya untuk beramal untuk hari akhirat, sementara orang yang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya di dunia lalu berangan-angan kepada ALLAH akan mengampuninya.” (HR Tirmidzi 2459, Ibnu Majah 4260, Al-Baghawiy, Ahmad 4/124, Al-Hakim 1/57).
Keutamaan Raja’ yang lainnya adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi SAW sbb:
“Seorang hamba ALLAH diperintahkan untuk masuk ke neraka pada hari Kiamat, maka iapun berpaling maka ditanya ALLAH SWT (padahal IA Maha Mengetahui): ‘Mengapa kamu menoleh?’ Ia menjawab: ‘Saya tidak berharap seperti ini’. ALLAH berfirman: ‘Bagaimana harapanmu?’ Jawabnya: ‘ENGKAU mengampuniku’. Maka firman ALLAH: ‘Lepaskan dia’.”
    
        Raja’ hanya bermanfaat bagi orang yang sudah berputus asa karena dosanya sehingga mening ggalkan ibadah, serta orang yang demikian khauf pada ALLAH SWT sehingga membahayakan diri dan keluarganya. Sedangkan bagi orang yang bermaksiat, sedikit ibadah dan berharap ampunan ALLAH, maka Raja’ tidak berguna, melainkan harus diberikan khauf.  

       Sebab-sebab Raja’ adalah pertama dengan jalan i’tibar yaitu merenungkan berbagai nikmat ALLAH yang telah ditumpahkan-NYA setiap waktu pada kita yang tiada sempat kita syukuri ditengah curahan kemaksiatan kita yang tiada henti pada-NYA, maka siapakah yang lebih lembut dan penuh kasih selain DIA? Apakah terlintas bahwa IA yang demikian lembut dan penuh kasih akan menganiaya hambanya?
Adapun jalan yang kedua adalah jalan khabar, yaitu dengan melihat firman-NYA, antara lain:
“Wahai hambaku yang telah melampaui batas pada dirinya sendiri, janganlah kamu putus asa akan rahmat ALLAH, sesungguhnya ALLAH mengampuni seluruh dosa-dosa.” (QS. Az-Zumar, 39: 53).
dan hadits-hadits Nabi SAW:

“Berfirman ALLAH SWT kepada Adam as: ‘Bangunlah! Dan masukkan orang-orang yang ahli neraka’. Jawab Adam as: ‘Labbbaik, wa sa’daik, wal-khoiro fi yadaik, ya Rabb berapa yang harus dimasukkan ke neraka?’ Jawab ALLAH SWT: ‘Dari setiap 1000, ambil 999!’ Ketika mendengar itu maka anak-anak kecil beruban, wanita hamil melahirkan dan manusia seperti mabuk (dan wanita yang menyusui melahirkan bayinya, dan kamu lihat menusia mabuk, padahal bukan mabuk melainkan adzab ALLAH di hari itu sangat keras. QS. Al-Hajj, 21: 2). Maka berkatalah manusia pada Nabi SAW: ‘Ya Rasulullah! Bagaimana ini?’ Jawab Nabi SAW: ‘Dari Ya’juj wa ma’juj 998 orang dan dari kalian 1 orang’. Maka berkatalah manusia: ‘ALLAHU Akbar!’

Maka berkatalah Nabi SAW pada para sahabat ra: ‘Demi ALLAH saya Raja’ bahwa kalian merupakan 1/4 dari ahli jannah! Demi ALLAH saya Raja’ kalian merupakan 1/3 ahli jannah! Demi ALLAH saya Raja’ kalian menjadi 1/2 ahli jannah!’ Maka semua orangpun bertakbir, dan Nabi SAW bersabda: ‘Keadaan kalian di hari itu seperti rambut putih di Sapi hitam atau seperti rambut hitam di Sapi putih’.” (HR Bukhari 6/122 dan Muslim 1/139)
e.siddiq (jujur)
          
Shiddiq (jujur, benar) adalah lawan kaa dari kidzb (bohong atau dusta). Secara morfologi, akar kata shidq berasal dari kata shadaqa, yashduqu, shadqun, shidqun. Ungkapan shaddaqahu mengandung arti qabila qauluhu ‘pembicarannya diterima’. Ungkapan shaddaqahu al-hadits mengandung arti anba’ahu bi al-shidq ‘ia menyampaikan berita dengan benar dan jujur’. Ada orang mengatakan shadaqtu al-qauma, yang berarti qultu lahum shidqan ‘aku katakan kepada mereka secara benar atau secara jujur’. Demikian juga ancaman jika aku sampaikan kepada mereka; aku katakan shadaqtu hum ‘aku berkata benar kepada mereka’.

Beberapa ayat Allah yang memeberikan ilustrasi yang jelas tentang makna (shiddiq):

1. “Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang jujur (benar) tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (al-Akhzab:8)
2. “… Dan ibunya (Maryam) adalah seorang yang sanga benar (shiddiq)…” (al-Maa’idah:75)
3. “Dan orang yang datang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (az-Zumar:33)
Imam al-Ghazali membagi sikap benar atau jujur (shiddiq) ke dalam enam jenis:

1. Jujur dalam lisan atau bertutur kata. Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Kejujuran seperti ini hanya terjadi dalam menyampaikan berita atau pembicaraan yang mengandung berita. Menepati janji termasuk kategori kejujuran jenis ini. Bentuk jujur yang pertama ini merupakan bantuk yang paling terkenal dan fenomenal.

2. Jujur dalam berniat dan berkehendak. Kejujuran seperti ini mengacu kepada konsep ikhlas, yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah. Jika dicampuri dengan dorongan obsesi dari dalam jiwanya, maka batallah kebenaran niatnya. Orang yang seperti ini dapat dikatakan pembohong.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadist Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Muslim sebagai berikut:
             
“Ketika Rasulullah saw bertanya kepada seorang alim, ‘Apa yang telah kamu kerjakan dari yang telah kamu ketahui?’ Ia menjawab, ‘Aku telah mengerjakan hal ini dan hal itu.’ Lalu Allah berkata, ‘Engkau telah berbohong karena kamu ingin dikatakan bahwa si Fulan orang alim.”

3. Jujur dalam berobsesi atau bercita-cita (azam). Manusia terkadang mengemukakan obsesinya untuk melakukan sesuatu. Misalnya, “Jika Allah menganugerahkan banyak harta kepadaku, aku akan sedekahkan setengahnya.” Janji atau obsesi ini harus diucapkan secara jujur.

4. Jujur dalam menepati obsesi. Dalam suatu kondisi, hati terkadang banyak mengumbar obsesi. Baginya mudah saat itu untuk mengumbar obsesi. Kemudian, saat kondisi realitas sudah memungkinkannya untuk menepati janji obsesinya itu, ia memungkirinya. Nafsu syahwatnya telah menghantam keinginannya untuk merealisasikan janjinya. Hal itu sungguh bertentangan dengan kejujuran (shiddiq).

5. Jujur dalam beramal atau bekerja.

6. Jujur dalam maqam-maqam beragama. Merupakan kejujuran paling tinggi. Contohnya adalah kejujuran dalam khauf (rasa takut akan siksaan Allah), raja’ (mengharapkan rahmat Allah), ta’dzim (mengagungkan Allah), ridha (rela terhadap segala keputusan Allah), tawwakal (mempercayakan diri kepada Allah dalam segala totalitas urusan), dan hubb *mencintai Allah).

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (beriman sejati).” (al-Hujaraat:15)
         
“Kalian harus jujur, karena jujur itu bersama-sama dengan kebaktian yang sempurna (birr). Keduanya akan berada di dalam surga. Dan hati-hatilah kalian dengan berbohong karena bohong itu bersama-sama perbuatan dosa yang terus-menerus (fujur). Keduanya akan masuk neraka. Dan mintalah kalian keyakinan dan perlindungan dari segala penyakit kepada Allah. Karena seseorang setelah diberi keyakinan akan lebih baik daripada diberi perlindungan dari segala penyakit. Dan janganlah kalian saling hasut, saling membenci, saling memutuskan (tali silaturahmi), saling memebenci, saling membelakangi, serta jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana Allah perintahkan kepada kalian.” (HP Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Maajah)

f.Ikhlas 
     
    Secara etimologis yang dimaksud ikhlas adalah beramal semata-mata mengharapkan
ridha Allah SWT. Dalam bahasa populernya ikhlas adalah berbuat tanpa pamrih; hanya semata-
mata mengharapkan ridha Allah SWT. 
        
  Salah satu akhlak tertinggi di dalam agama Islam adalah IKHLAS. Lawannya, PAMRIH. Kenapa Islam mengajarkan keikhlasan? Karena, Allah menghendaki umat Islam menjalani agamanya ‘tanpa pamrih’. Semua aktivitas hidupnya dilakukan lillahi ta’ala ~ ‘karena Allah semata’.
          
  Bersyahadatnya, karena Allah. Shalatnya, karena Allah. Puasanya karena Allah. Zakatnya karena Allah. Dan hajinya pun karena Allah. Demikian pula ketika menolong orang, menuntut ilmu, bekerja, menjadi pejabat, menjadi ustadz dan ustadzah, menjadi hakim, jaksa, polisi, profesional, dan apa pun aktivitasnya, semua dijadikan sebagai proses belajar IKHLAS dalam mengagungkan Allah semata.
           
 Lantas, bagaimanakah membedakan ibadah yang ikhlas dan ibadah yang penuh pamrih? Pada dasarnya: Orang yang ikhlas, menjalankan agama KARENA ALLAH semata. Sedangkan orang yang pamrih, melakukan ibadah karena ingin memperoleh sesuatu untuk keuntungan DIRINYA. Berikut ini adalah beberapa diantaranya:

1.    Orang yang ikhlas meniatkan shalatnya karena Allah semata, persis seperti doa iftitah yang dibacanya: ’’inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil alamin ~ sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah semata.’’ Sedangkan orang yang pamrih, meniatkan shalatnya untuk mengejar pahala 1x, 27x, 1000x, dan 100.000x. Ada juga yang melakukan shalat Dhuha karena ingin memperbanyak rezeki. Atau shalat tahajud agar punya karomah. Dan lain sebagainya.

2.    Orang yang ikhlas, menjalankan puasanya karena taat kepada Allah semata. Karena dengan puasa itu ia akan menjadi jiwa yang lebih suci, sehingga lebih mudah mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan yang pamrih, melakukan puasa karena tujuan-tujuan yang selain mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya, ada orang berpuasa agar lulus ujian, agar mendapat jodoh, agar langsing, agar sehat, agar sakti, dlsb. Padahal, semua itu hanya ’dampak’ saja dari ibadah puasa. Tidak usah dipikirkan dan apalagi dijadikan tujuan. Kalau puasanya ’karena Allah’ semata, PASTI semua dampak positip itu akan datang dengan sendirinya.

3.    Orang ikhlas menunaikan zakat dan shodaqohnya karena ingin menolong orang lain, meniru Sifat Allah yang Maha Pemurah. Tetapi, orang yang pamrih mengeluarkan zakat dan sedekah karena ingin dipuji orang, untuk memunculkan rasa bangga di dalam hatinya karena bisa menolong orang, atau yang lebih parah lagi adalah berharap balasan pahala sampai 700 kali dari nominal yang dikeluarkannya. Jadi, ketika dia mengeluarkan uang Rp 1 juta, yang ada di benaknya adalah berharap mendapat BALASAN Rp 700 juta. Berdagang dengan Allah..!

4.    Orang ikhlas menunaikan haji dan umrohnya, karena ingin memperoleh pelajaran berkorban, bersabar, keikhlasan, dan ketaatan, dalam mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan yang pamrih, ingin sekedar BERDARMA WISATA, meskipun diembel-embeli dengan kata RUHANI. Bahkan saat haji banyak orang yang meniatkan hajinya sekedar pada titel HAJI, atau penampilan berkopiah haji, panggilan ’Wak Haji’, dan kemudian membeli sertifikat haji dengan mengubah namanya. Dia berhaji bukan karena Allah, tetapi karena segala macam tujuan selain Allah.

5.    Orang ikhlas mengorientasikan seluruh ibadahnya untuk MENCINTAI ALLAH, dan merendahkan ego serendah-rendahnya sebagai manifestasi syahadatnya: laa ilaaha illallah ~ tiada Tuhan selain Allah. Tetapi orang-orang yang pamrih mengorientasikan ibadahnya untuk mengejar SURGA, sehingga tanpa terasa ia meninggikan egonya, dan mengesampingkan Allah sebagai fokus ibadahnya. Allah bukan tujuan hidupnya. Tuhannya sebenarnya bukanlah Allah, melainkan Surga. Karena, ternyata, imajinasi kebahagiaanya bukan saat dekat dengan Allah, melainkan berada di dalam surga. Yang demikian ini, justru tidak akan mengantarkannya ke surga. Karena surga itu hanya disediakan bagi orang-orang yang mengarahkan seluruh kecintaannya hanya kepada Allah semata. Dan itu tecermin dalam doanya: Allahumma antasalam, waminka salam ... ~ Ya Allah, Engkaulah Kebahagiaan dan Kedamaian Sejati, dan dari-Mu-lah bersumber segala kabahagiaan ...
          
Maka, kawan-kawan, marilah kita belajar menjalani seluruh aktivitas kehidupan kita ini dengan IKHLAS. Bukan ikhlas yang diikhlas-ikhlaskan, atau terpaksa ikhlas, melainkan IKHLAS yang dilambari oleh KEPAHAMAN tentang substansi apa yang akan kita lakukan. Semakin paham Anda terhadap apa yang akan Anda lakukan, semakin ikhlas pula anda menjalaninya. Sebaliknya, semakin tidak paham, maka semakin tidak ikhlas pula hati Anda dalam menjalaninya. Terpaksa Ikhlas, karena takut masuk neraka dan tidak memperoleh surga...

           Betapa sayangnya, di dunia merasa tersiksa karena TERPAKSA mengikhlaskan ibadahnya, sedangkan di akhirat juga tidak memperoleh buah perbuatannya, karena ia tidak mendasarkan ibadahnya lillahi ta’ala. Surga yang digambarkan sebagai taman-taman yang indah dengan mata air-mata air itu tidak memberikan dampak kenikmatan baginya, karena sesungguhnya keindahan itu dikarenakan KECINTAAN kepada Sang Maha Indah. Mirip dengan orang yang menginap di hotel bintang lima, tetapi hatinya tidak bisa menikmati dikarenakan ia datang kesana dengan TERPAKSA ...

QS. Yunus (10): 105
Dan HADAPKAN-lah wajahmu (orientasi hidupmu) kepada agama dengan TULUS dan IKHLAS dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik (menduakan Allah sebagai tujuan hidup).

QS. Al A’raaf (7): 29
... Dan LURUSKANLAH wajahmu di setiap shalat dan sembahlah ALLAH dengan MENGIKHLASKAN ketaatanmu kepada-Nya...

QS. An Nisaa’ (4): 125Dan siapakah yang LEBIH BAIK agamanya daripada orang yang IKHLAS menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun MENGERJAKAN kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim (dan orang-orang yang mengikuti ajarannya) menjadi KESAYANGAN Allah.


C.      PENUTUP

1.        Kesimpulan
Jika seorang muslim, maka orang yang hidup memiliki tanggung jawab bukan hanya tanggung jawab didunia tapi juga tanggung jawabnya diakhir khayatnya juga.
Adapun perjalanan menuju allah:
a)         Tobat
b)         Muhasabah
c)         Khauf
d)        Raja’
e)        Siddiq
f)         Ikhlas
















Disqus Comments