Sabtu, 17 Desember 2016

Sistematika Memahami Aqidah yang Benar Berdasarkan Alquran dan Alhadist



SISTEMATIKA MEMAHAMI AQIDAH YANG BENAR

1.    PENGERTIAN AQIDAH

•    Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi)

Kata ” ‘aqidah “ diambil dari kata dasar “al-‘aqdu” yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat),at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).

“Al-‘Aqdu” (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: ” ‘Aqadahu” “Ya’qiduhu” (mengikatnya), ” ‘Aqdan” (ikatan sumpah), dan ” ‘Uqdatun Nikah” (ikatan menikah). Allah Ta’ala berfirman,

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja …”
 (Al-Maa-idah : 89).

Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu’jamul Wasiith: (bab: ‘Aqada).
Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.

•    Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi)

Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang  menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.

   Aqidah Islamiyyah:
Maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan Rububiyyah Allah Ta’ala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib, pokok-pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan ketundukkan yang bulat kepada Allah Ta’ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah SAW. Jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena itulah pemahaman Islam yang telah diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya. Aqidah Islamiyyh adalah aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, Tabi’in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.

   Nama lain Aqidah Islamiyyah:

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sinonimnya aqidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari’iah dan al-Iman.
Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli Sunnah dalam ilmu ‘aqidah.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm. 33-35.

2.    BEBERAPA ISTILAH LAIN TENTANG AQIDAH


1).    Iman

Ada yang menyamakan istilah iman dengan aqidah, dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakan, aqidah hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal.
Sedangkan kalau kita mengikuti definisi iman menurut jahmiyah dan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa iman hanyalah at-tashdiq (membenarkan dalam hati) maka iman dan aqidah adalah dua istilah yang bersinonim. Senada dengan ini, adalah pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah I’tiqad, sedangkan amal adalah bukti iman, tetapi tidak dinamai iman.
Sebaliknya jika kita mengikuti definisi iman menurut ulama salaf (imam Malik, Ahmad, Syafi’I) yang mengatakan bahwa iman adalah : ” sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh “ maka iman dan aqidah tentu tidak persis sama.

2).    Tauhid

Tauhid artinya mengesakan (mengesakan Allah-Tauhidullah). Ajaran tauhid adalah tema sentral aqidah dan iman, oleh sebab itu aqidah dan iman diidentikan juga dengan istilah tauhid.

3).    Ushuluddin

Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Aqidah, iman dan tauhid disebut juga ushuluddin karena ajaran aqidah merupakan pokok-pokok ajaran agama Islam.

4).    Ilmu kalam

Kalam artinya berbicara, atau pembicaraan. Dinamakan ilmu kalam karena banyak dan luasnya dialog dan perdebatan yang terjadi antara pemikir masalah-masalah aqidah tentang beberapa hal. Misalnya tentang al-Qur’an apakah khaliq atau bukan, hadist atau qadim. Tentang taqdir, apakah manusia punya hak ikhtiar atau tidak. Tentang orang berdosa besar, kafir atau tidak dan lain sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan luas seperti itu terjadi setelah cara berfikir rasional dan falsafati mempengaruhi para pemikir dan ulama Islam.

5).    Fikih Akbar

Fikih akbar artinya fikih besar. Istilah ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaquh fiddin yang diperintahkan Allah swt dalamsurat at-Taubah ayat 122, bukan hanya masalah fikih, tentu dan lebih utama masalah aqidah. Untuk membedakan dengan fikih dalam masalah hukum ditambah dengan kata akbar, sehingga menjadi fikih akbar.

6).    Teologi Islam

Teologi berasal dari dua suku kata, yaitu teo (Tuhan) dan logos (ilmu). Jadi teologi adalah ilmu mengenai Tuhan. Dalam pengertian yang umum, teologi diartikan dengan “pengetahuan yang berkaitan dengan seluk beluk tentang Tuhan. Para ahli agama-agama mengartikan teologi dengan pengetahuan tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan serta hubungan Tuhan dengan alam semesta.
Sebagai ilmu yang membicarakan ketuhanan, maka kata ini digunakan oleh semua agama. Sementara untuk teologi Islam mengkaji seluk beluk ketuhanan yang terdapat dalam ajaran Islam. Dengan demikian kata teologi bersifat netral, bisa digunakan kepada agama apa saja, sesuai dengan karakter dari agama yang menjadikan ketuhanan sebagai kajian utamanya.

7).    Ilmu Ma’rifat

Disebut sebagai ilmu ma’rifah, karena ilmu ini dapat mengenal atau memperkenalkan ajaran-ajaran aqidah Islam, sehingga dalam pembahasanya meliputi: Pertama, ma’rifat al-mabda’ yaitu mengenal Allah dengan segala sifat, af’al dan asma-Nya. Kedua, ma’rifat al-wasithat yaitu mengenal utusan-utusan Allah meliputi malaikat, rasul dan kitab-kitab Allah. Ketiga, ma’rifat al-ma’ad yaitu mengenal dan mempercayai hari akhir dan segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan iradah dengan takdir Allah swt.

3.    SUMBER AQIDAH

Sumber aqidah Islam adalah al-Qur’an dan as-sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh allah dalam al-qur’an dan rasulullah dalam sunnah-nya wajib diimani, diyakini, dan diamalkan.

Akal fikiran sama sekali bukan sumber aqidah Islam, tetapi merupan instrumen yang berfungsi untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba – kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiyah kebenaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran penuh bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemapuan semua makhluk Allah.

Akal tidak akan mampu menjangkau masa’il ghaibiyah (masalah-masalah ghaib), bahkan akal tidak akan sanggup menjangkau sesuatu yang tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Misalnya, akal tidak mampu menunjukan jawaban atas pertanyaan kekekalan itu sampai   kapan? Atau akal tidak sanggup menunjukan tempat yang tidak ada di darat atau di laut, di udara dan tidak dimana-mana. Karena kedua hal tersebut tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Oleh sebab itu akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa risalah tentang hal-hal ghaib itu bisa dibuktikan secara ilmiyah oleh akal fikiran.

Berkenaan dengan peneyelidikan akal untuk menyakini aqidah Islam, terutama yang berkenaan dengan hal-hal ghaib di atas, manusia dipersilahkan untuk mengarahkan pandangan dan penelitianya kepada alam semesta ini, di bumi, di langit, dan rahasia-rahasia yang terseimpan pada keduanya.

Manusia diperintahkan untuk memperhatikan bagaimana langit ditegakan tanpa tiang seperti yang kita lihat, dan bumi dihamparkan dan dibangun dengan suasana yang teratur dan teguh dalam sebuah system yang saling berjalin berkelindan.

Penyelidikan akal yang mendalam pasti akan mengatakan dan meyakinkan, bahwa alam ini mustahil tercipta dengan sendirinya dan timbul karena kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain, seperti keyakinan dalam naturalisme.

Penyelidikan akal secara cermat dapat melahirkan pengakuan mutlak bahwa semua alam semesta yang teratur, rapi, dan berjalan menurut hukum yang tetap dan tak berubah-ubah mensyaratkan ada penciptanya, pengatur dan pemeliharanya. Oleh karena itu, al-qur’an berkali-kali menganjurkan dan memberikan petunjuk ke arah penyelidikan dalammenetapkan aqidah dengan cara demikian. Lihat firman Allah QS Al-baqarah:164.

4.    MEMAHAMI AKIDAH DENGAN BENAR

Aqidah merupakan pokok agama yang wajib diketahui oleh setiap orang. Dalam memahami aqidah ini, haruslah kita mengacu kepada kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw serta dengan ijma’ (kesepakatan) Salafus shalih dalam memahaminya. Oleh karena itu ada beberapa kaidah penting dalam memahami hal ini, di antanya:

1.    Apabila terjadi perselisihan dalam memahami nash-nash yang telah ada, maka pemahaman salaf (shahabat, tabi’in dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka) merupakan hujjah yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk memahami nash-nash tersebut. Dikarenakan Rasulullah saw telah menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik umat dan manusia yang paling paham dengan agama Allah. Tidak cukup itu saja, bahkan Allah SWT dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk meniti jalan mereka, mengembalikan pemahaman sesuai dengan pemahaman mereka dan juga telah memberikan ancaman bagi siapa saja yang menyelisihi jalan mereka.

2.    Salafus shalih mendasari metode mereka dalam memahami aqidah dengan bimbingan wahyu yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oelh karena itu pemahaman mereka adalah pemahaman yang paling didasari dengan ilmu, paling selamat dan paling bijaksana dalam memahaminya.

3.    Aqidah adalah perkara tauqifiyyah yang dilarang mengotak-atiknya tanpa ada bimbingan wahyu dari Allah SWT. Karena perkara aqidah adalah perkara yang ghoib yang akal pikiran manusia tidak akan sanggup untuk menjangkaunya.

4.    Siapa saja yang menetapkan dan memahami permasalahan aqidah tanpa berlandaskan dengan dalil-dalil syar’I, maka dia telah berdusta atas nama Allah seerta berkata tanpa dasar ilmu.

5.    Aqidah dibangun di atas dasar ikhlas kepada Allah dan ittiba’ (mengikuti) petunjuk Rasulullah saw. imam Az-Zuhri berkata: “Dari Allahlah datangnya risalah (Al-Qur’an dan As-Sunnah), kewajiban Rasulullah untuk menyampaikan dan kewajiban Rasulullah untuk menyampaikan dan kewajiban kita untuk menerimanya dengan ikhlas”.

6.    Para sahabat, imam-imam tabi’in dan yang mengikuti mereka seerta ulama-ulama sunnah (salafus shalil) semuanya berada di atas bimbingan petunjuk Rasulullah dan jalan mereka adalah jalannya kaum muslimin, atsar-atsar mereka merupakan bimbingan dan jalan yang lurus. Imam Al-Auza’I berkata: “Wajib atasmu untuk berpegang teguh dengan atsar orang-orang sebelummu (salafus shalih) walaupun manusia tidak mempedulikanmu. Jauhilah pemikiran-pemikiran yang menyimpang walaupun mereka menghiasinya dengan ucapan-ucapan yang manis…”.

Inilah jalan yang ditempuh para sahabat dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan permasalahan akidah. Barangsiapa yang mengambil petunjuk dan memahami aqidah sesuai tatacara yang dilakukan para shahabat, maka ia berada di atas bimbingan dan petunjuk Rasulullah saw

5.    CARA MENETAPKAN AQIDAH

Allah swt selaku syari telah memutuskan dan menetapkan untuk memberikan keterangan-keterangan di sekitar masalah-masalah yang wajib diimani, antara lain yang terkandung dalam arkanul iman. Allah telah menggariskan persoalan tersebut dengan jelas dan menuntut agar manusia mempercayainya. Iman yang dimaksud itu adalah I’tiqad dengan kebulatan hati dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya serta berlandaskan dalil dan alasan. I’tiqad semacam ini tentunya tidak dapat diperoleh dengan dalil-dalil sembarangan, melainkan dengan dalil-dalil yang pasti dan tanpa dicampuri keraguan.
Oleh karena itu para ulama sepakat untuk menetapkan aqidah berdasarkan tiga macam dalil, yaitu:

1)    Dalil Aqli.

Dalil ini dapat diterima apabila hasil keputusannya dipandang masuk akal atau logis dan sesuai dengan perasaan, tentunya yang dapat menimbulkan adanya keyakinan dan dapat memastikan adanya iman yang dimaksudkan. Dengan menggunakan akal manusia merenungkan dirinya sendiri dan alam semesta, yang dengannya ia dapat melihat bahwa dibalik semua itu terdapat adanya Tuhan pencipta yang satu.

2)    Dalil Naqli.

Dalil naqli yang tidak menimbulkan keyakinan dan tidak menciptkan keimanan sebagai yang dimaksud, dengan sendirinya dalil tersebut tidak dapat digunakan untuk menetapkan aqidah. Oleh karena itu Syaikh Mahmud Syaltut mengajukan dua syarat yang harus dipenuhi oleh dalil naqli sehingga dalil tersebut dapat menanamkan keyakinan dan menetapkan aqidah:

•    Dalil naqli itu pasti kebenaranya. Ini artinya bahwa dalil itu harus dapat dipastikan benar-benar datang dari rasulullah tanpa ada keraguan sedikit pun. Dan yang demikian itu hanya dapat dijumpai pada dalil-dalil yang mutawatir.

•    Dalil naqli itu pasti dan tegas tujuanya. Ini artinya bahwa dalil naqli memilki makna yang tepat dan tegas. Ini hanya bisa terjadi bila dalil-dalil itu tidak memilki dua atau tiga pengertian sekaligus atau lebih.

3)    Dalil Fitrah.

Dalil ini adalah hakekat yang mendasari kejadian manusia. Fitrah ini merupakan perasaan keagamaan yang ada dalam jiwa dan merupakan bisikan batin yang paling dalam. Dan kesucian ini akan tetap terpelihara manakala selalu membersihkan jiwanya dari tekanan kekuatan waham dan pengaruh nafsu.
Bila manusia membiarkan fitrah dan nalurinya berbicara, maka dia akan mendapatkan dirinya berhadapan dengan kekuatan tertinggi di atas kekuatan manusia dan alam. Ia akan berdoa dalam suka maupun duka. Lebih-lebih di saat manusia berada dalam keputusasaan, diancam bahaya dan bencana.

Di saat-saat seperti itulah dia menghadapkan diri secara ikhlas kepada Tuhannya, melepaskan segala apa yang telah menyebabkan dia menghadapkan dirinya kepada selain Allah karena pengaruh imajinasi, kebodohan, hawa nafsu, atau pengaruh tuhan-tuhan palsu berupa manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda mati lainya.

6.    RUANG LINGKUP PEMBAHASAN AQIDAH

Kajian aqidah menyangkut keyakinan umat Islam atau iman. Karena itulah, secara formal, ajaran dasar tersebut terangkum dalam rukun iman yang enam. Oleh sebab itu, sebagian para ulama dalam pembahasan atau kajian aqidah, mereka mengikuti sistematika rukun iman yaitu: iman kepada Allah, iman kepada malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluk ruhani seperti jin, iblis, dan setan), iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi dan rasul Allah, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar Allah swt.
Sementara Ulama dalam kajiannya tentang aqidah islam menggunakan sistematika sebagai berikut:

1. Ilahiyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ilah (Tuhan, Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah,perbuatan-perbuatan (af’al) Allah dan sebagainya.

2. Nubuwat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah, mukjizat, karamat dan sebagainya.

3. Ruhaniyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperyi Malaikat, Jin, Iblis, Setan, Roh dan lain sebaginya.

4. Sam’iyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sama’, yaitu dalil naqli berupa al-qur’an dan as-sunnah, seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka dan sebaginya.

Berbeda dengan dua sistematika di atas, Prof. Dr. H. Syahrin Harahap, MA, dalam Ensiklopedi Aqidah Islam menjabarkan obyek kajian aqidah mengacu pada tiga kajian pokok, yaitu:

1. Pengenalan terhadap sumber ajaran agama (ma’rifatul mabda’), yaitu kajian mengenai Allah. Termasuk dalam bidang ini sifat-sifat yang semestinya ada (wajib), yang semestinya tidak ada (mustahil), dan yang boleh ada dan tiada (jaiz) bagi Allah. Menyangkut dengan bidang ini pula, apakah Tuhan bisa dilihat pada hari kiamat (ru’yat Allah).

2. Pengenalan terhadap pembawa kabar (berita) keagamaan (ma’rifat al-wasithah). Bagian ini mengkaji tentang utusan-utusan Allah (nabi dan rasul), yaitu kemestian keberadaan mereka, sifat-sifat yang semestinya ada (wajib), yang semestinya tidak ada (mustahil), serta yang boleh ada dan tiada (jaiz) bagi mereka. Dibicarakan juga tentang jumlah kitab suci yang wajib dipercayai, termasuk juga cirri-ciri kitab suci. Kajian lainya ialah mengenai malaikat, menyangkut hakekat, tugas dan fungsi mereka.

3. Pengenalan terhadap masalah-masalah yang terjadi kelak di seberang kematian (ma’rifat al-ma’ad). Dalam bagian ini dikaji masalah alam barzakh, surga, neraka, mizan, hari kiamat dan sebagainya.

7.    TINGKATAN AQIDAH

Tingkatan aqidah seseorang berbeda-beda antara satu dengan yang lainya tergantung dari dalil, pemahaman, penghayatan dan juga aktualisasinya. Tingkatan aqidah ini paling tidak ada empat, yaitu:

1. Taqlid,
2. Ilmul yaqin,
3. ‘Ainul yaqin, dan
4. Haqqul yaqin.

1. Tingkat Taqlid

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
Tingkat taqlid berarti menerima suatu kepercayaan dari orang lain tanpa diketahui alasan-alasanya. Sikap taklid ini dilarang oleh agama Islam sebagaimana disebutkan dalam QS al-Isra’ (17): 36.

2. Tingkat Ilmul Yaqin.

Tingkat ilmul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh berdasarkan ilmu yang bersifat teoritis. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS at-takatsur (102): 1-5.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ!حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ!كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ!

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.”

3. Tingkat ‘Ainul Yaqin

Tingkat ‘ainul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan mata kepala secara langsung tanpa perantara. Hal ini disebutkan di dalam QS at-Takatsur (102): 6-7.

لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ!ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ!

“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin”.

4. Tingkat Haqqul Yaqin

Tingkat haqqul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan dan penghayatan pengamalan (empiris). Sebagaimana disebutkan di dalam QS al-Waqi’ah (56): 88-89.

فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ!فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ!وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ!فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ!وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ

الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ!فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ!وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ!إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ!فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ!

“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta surga keni`matan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.

8.    SIGNIFIKANSI DAN FUNGSI AQIDAH

Sesuai dengan fungsinya sebagai dasar agama, maka keberadaan aqidah Islam sangat menentukan bagi seorang muslim, sebab dalam system teologi agama ini diyakini bahwa sikap, perbuatan dan perubahan yang terjadi dalam perilaku dan aktivitas seseorang sangat dipengaruhi oleh system teologi atau aqidah yang dianutnya. Untuk itu signifikansi akidah dalam kehidupan seseorang muslim dapat dilihat paling tidak dalam empat hal, yaitu:

1. Aqidah Islam merupakan landasan seluruh ajaran Islam. Di atas keyakinan dasar inilah dibangun ajaran Islam lainya, yaitu syari’ah (hukum islam) dan akhlaq (moral Islam). Oleh karena itu, pengamalan ajaran Islam lainya seperti shalat, puasa, haji, etika Islam (akhlak) dan seterusnya, dapat diamalkan di atas bagunan keyakinan dasar tersebut. Tanpa keyakinan dasar, pengamalan ajaran agama tidak akan memiliki makna apa-apa.

2. Akidah Islam berfungsi membentuk kesalehan seseorang di dunia, sebagai modal awal mencapai kebahagiaan di akhirat. Hal ini secara fungsional terwujud dengan adanya keyakinan terhadap kehidupan kelak di hari kemudian dan setiap orang mempertanggungjawabkan perbuatanya di dunia.

3.Akidah Islam berfungsi menyelamatkan seseorang dari keyakinan-keyakinan yang menyimpang, seperti  bid’ah, khurafat, dan penyelewengan-penyelewengan lainya.

4. Akidah islam berfungsi untuk menetapkan seseorang sebagai muslim atau non muslim. Begitu pentingnya kajian akidah islam hingga bidang ini telah menjadi perbincangan serius di kalangan para ahli sejak zaman awal Islam sampai hari ini, termasuk di Indonesia.

 Di dalam apresiasinya, kajian mengenai bidang ini melahirkan beberapa aliran, seperti Suni [ Maturidiyah, Asy’ariyah,-Ahlussunnah wal Jama’ah ] Murjiah,Muktazilah,Wahabiyah, Syiah, Khawarij, Qadariyah, Jabbariyah dan lain-lain.
 Sebagai hal yang sangat fundamental bagi seseorang, aqidah oleh karenanya disebut sebagai titik tolak dan sekaligus merupakan tujuan hidup. Atas dasar itu maka aqidah memiliki peran yang sangat penting di dalam memunculkan semangat peningkatan kualitas hidup seseorang. Fungsi tersebut antara lain:

•    Akidah Dapat Menimbulkan Optimisme Dalam Kehidupan. Sebab manusia yang di dalam dirinya tertanam akidah atau keyakinan yang kuat, akan selalu merasa optimis dan merasa akan berhasil dalam segala usahanya.

 Keyakinan ini didorong oleh keyakinan yang lain bahwa allah sangat dekat padanya, bahkan selalu menyertainya dalam usaha dan aktivitas-aktivitasnya. Sementara bagi orang yang tidak memiliki akidah yang benar dan kuat tidak akan memilki keyakinan yang kuat, jiwanya akan menjadi gersang dan hampa, dan selalu diliputi keraguan dalam bertindak. Sehingga jika tertimpa sedikit cobaan dan rintangan, ia menjadi gelisah, keluh kesah, yang sering kali berakhir dengan putus asa, karena ia tidak memiliki pegangan batin yang kuat di luar kemampuanya.

•    Akidah Dapat Menumbuhkan Kedisiplinan. Disiplin dimaksud, seperti disebut oleh beberapa Ulama, adalah kepatuhan dan ketaatan dalam mengikuti semua ketentuan dan tata tertib yang berlaku, termasuk hukum alam (sunnah allah) dengan kesadaran dan tanggung jawab.

Akidah yang mantap akan mampu menempatkan diri seseorang sebagai makhluk berdisiplin tinggi dalam kehidupanya. Disiplin adalah kata kunci untuk keberhasilan. Karena itu bila seseorang muslim ingin berhasil, ia harus berdisplin. Tanpa disiplin, tidak munngkin seseorang dapat meraih kesuksesanya. Dalam konteks peningkatan kualitas hidup displin sangat dituntut terutama:


1.    Disiplin dalam waktu

Artinya, tertib dan teratur dalam memanfaatkannya dalam penanganan kerja maupun dalam melakukan ibadah mahdhah.

2.    Disiplin dalam bekerja

Artinya, seorang muslim yang berakidah menyadari bahwa ia harus bekerja, sebagai pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah. Dan agar kerjanya berhasil baik, diperlukan sikap displin. Sebab penangan kerja dengan kedisplinan akan menghasilkan sesuatu secara maksimal dan membahagiakan.

3.     Aqidah Berpengaruh Dalam Peningkatan Etos Kerja.

Sebab seseorang yang memilki keyakinan yang mantap akan selalu berupaya keras untuk keberhasilan kerjanya, sebagai bagian dari pemenuhan kataatanya pada Allah. Dengan demikian melalui aqidahnya akan tersembul etos kerja yang baik yang tercermin dari ciri-ciri berikut ini:

a.    Memiliki jiwa kepeloporan dalam menegakan kebenaran
Kepeloporan disini dimaksud sebagai mengambil peran secara aktif untuk mempengaruhi orang lain agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Jadi, ia memilki kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus memainkan peran (role) sehingga kehadiranya selalu dirasakan memberikan spirit bagi munculnya semangat peningkatan kualitas hidup setiap oran di sekitarnya.

b.    Memiliki perhitungan (kalkulatif)
Setiap langkah dalam hidupnya selalu diperhitungkan dari segala aspek, termasuk untung dan resikonya, dan tentu saja sebuah perhitungan yang rasional.

c.    Memiliki rasa iri yang mendalam pada perbuatan tidak merasa puas dalam berbuat kebajikan.
Tipe muslim yang memilki aqidah yang kaut akan tampak dari semangatnya yang tak kenal lelah melakukan berbagai aktivitas untuk mencapai dan menegakan kebaikan. Sekali dia berniat, ia akan menepati cita-citanya secara serius dan cermat, serta tidah mudah menyerah bila berhadapan dengan cobaan dan rintangan. Dengan semangat semacam ini seorang muslim selalu berusaha mengambil posisi dan memainkan peranan positif, dinamis, dan keratif dalam penanganan kerjanya, dan memberi contoh kepada orang yang disekitarnya.

Sedemikian pentingnya peran dan kontribusi aqidah bagi peningkatan kualitas hidup seorang muslim, hingga pemerhati masalah-masalah tauhid, Ismail Razi al-faruqi menyebut aqidah (tauhid) sebagai prinsip ekonomi Islam dalam bentuk etika produksi, etika distribusi dan etika konsumsi.
Disadur dari beberapa bacaan liar. Wallahu ‘Alam bi Shawab

= Al-Maidah 89 =

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ

 أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٨٩

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,

maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

9.    AQIDAH, IBADAH, DAN MUAMALAH SERTA IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN
Dr. Kaelany HD., MA mengatakan dalam bukunya, Islam Agama Universal, bahwa ajaran Islam sangatlah luas. Ulama dengan berlandaskan hadist membagi ajaran Islam tersebut dalam tiga pokok bahasan, yaitu Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak.
Dalam hal ini, akan dibahas pengertian Aqidah serta Syari’ah (sebagai Ibadah dan Muamalah), yang mana pengertian ini didapat dari berbagai sumber, yaitu Al-qur’an , Hadist, dan berbagai resensi dari buku atau artikel.

•    Aqidah
Aqidah adalah suatu istilah untuk menyatakan “kepercayaan” atau Keimanan yang teguh serta kuat dari seorang mukmin yang telah mengikatkan diri kepada Sang Pencipta. Makna dari keimanan kepada Allah adalah sesuatu yang berintikan tauhid, yaitu berupa suatu kepercayaan, pernyataan, sikap mengesankan Allah, dan mengesampingkan penyembahan selain kepada Allah. (Dr. Kaelany HD., MA, Februari 2009, hlm 65)

Ajaran mengenai aqidah ini merupakan tujuan utama Rasul diutus ke dunia, yang mana hal ini dinyatakan dalam AL-qur’an, yang berbunyi:
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tiada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlan olehmu sekalian akan Aku” (QS. 21: 25)

Akidah adalah suatu ketetapan hati yang dimiliki seseorang, yang mana tidak ada factor apa pun yang dapat mempengaruhi atau merubah ketetapan hati seseorang tersebut.
Kata “‘aqidah” diambil dari kata dasar “al-‘aqdu” yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).

“Al-‘Aqdu” (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: ” ‘Aqadahu” “Ya’qiduhu” (mengikatnya), ” ‘Aqdan” (ikatan sumpah), dan ” ‘Uqdatun Nikah” (ikatan menikah). Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja …” (Al-Maa-idah : 89).

Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu’jamul Wasiith: (bab: ‘Aqada). [1]
Secara terminologi, juga dijelaskan bahwa Aqidah merupakan perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan. [2]

•    Ibadah dan Muamalah
Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan Rasulnya yang merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesame manusia.
Ada dua pendekatan dalam mendefinisikan Syari’ah, yaitu antara lain:

•    Dari segi tujuan, Syari’ah memiliki pengertian ajaran yang menjaga kehormatan manusia sebagai makhluk termulia dengan memelihara atau menjamin lima hal penting, yaitu:
1.    Menjamin kebebasan beragama (Berketuhanan Yang Maha Esa)
2.    Menjamin kehiupan yang layak (memelihara jiwa)
3.    Menjamin kelangsungan hidup keluarga (menjaga keturunan)
4.    Menjamin kebebasan berpikir (memelihara akal)
5.    Menjamin kehidupan dengan tersedianya lapangan kerja yang pantas (memelihara harta)
Lima hal pemeliharaan itu akan menjadi ukuran dari lima hukum Islam, seperti wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah.

•    Ditinjau dari segi klasifikasi.
Untuk memahami hal ini, ada baiknya terlebih dahulu kita mengetahui arti dari Ibadah dan Muamalah itu sendiri. Ibadah.

Berikut di bawah ini adalah pengertian dari Ibadah, menurut Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas:
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

[1]. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

[2]. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

[3]. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58] [3]

Berikut di bawah ini adalah pengertian Muamalah:
Etiomologi: Muamalah dari kata (العمل) yang merupakan istilah yang digunakan untuk mengungkapkan semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. muamalah mengikuti pola (مُفَاعَلَة) yang bermakna bergaul (التَّعَامُل)
Terminologi:  Muamalah adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain ibadah[4]

Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yaitu harus ada contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad SAW. Konsep ibadah ini berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang atay haram). Ibadah ini antara lain meliputi shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan masalah mu’amalah (hubungan kita dengan sesame manusia dan lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya.[5]

Berkaitan dengan hal di atas (mu’amalah), Nabi Muhammad SAW mengatakan:
“Bila dalam urusan agama (aqidah dan ibadah) Anda contohlah saya. Tapi, dalam urusan dunia Anda, (teknis mu’amalah), Anda lebih tahu tentang dunia Anda.”

Dalam ibadah, sangat penting untuk diketahui apakah ada suruhan atau contoh tatacara, atau aturan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Apabila hal itu tidak ada, maka tindakan yang kita lakukan dalam ibadah itu akan jatuh kepada bid’ah, dan setiap perbuatan bid’ah adalah dhalalah (sesat). Sebaliknya dalam mu’amalah yang harus dan penting untuk diketahui adalah apakah ada larangan tegas dari Allah dan Rasul-Nya, karena apabila tidak ada, hal tersebut boleh saja dilakukan.

Dalam hal ini, Dr. Kaelany juga menjelaskan adanya dua prinsip yang perlu kita perhatikan, yaitu:
Pertama: Manusia dilarang “menciptakan agama, termasuk system ibadah dan tata caranya, karena masalah agama dan ibadah adalah hak mutlak Allah dan para Rasul-Nya yang ditugasi menyampaikan agama itu kepada masyarakat. Maka menciptakan agama dan ibadah adalah bid’ah. Sedang setiap bid’ah adalah sesat.

Kedua: Adanya kebebasan dasar dalam menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah mu’amalah, seperti pergaulan hidup dan kehidupan dalam masyarakat dan lingkungan, yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia (Bani Adam) dengan batasan atau larangan tertentu yang harus dijaga. Sebaliknya melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah.[6]
Dalam menjalankan keseharian, penting bagi kita untuk mengingat dua prinsip di atas. Ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak hati kita karena semua ketentuan dan aturan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya. Melakukan sesuatu dalam ibadah, yang tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah berarti melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT, dan ini sungguh merupakan perbuatan yang sesat.

Namun dalam beberapa hal, tentu ada hal yang harus diperhatikan sesuai dengan perkembangan zaman. Di sini lah implikasi dari mu’amaah itu sendiri. Selama tidak ada larangan secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, hal yang dipertimbangkan itu boleh dilakukan. Hal ini telah diterangkan oleh Rasul dalam sabdanya yang sudah ditulis di atas.

 Sebagai contoh adalah dalam kehidupan sehari-hari, pada zaman hidupnya Rasulullah, masyarakat yang mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan binatang Unta sebagai kendaraan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin sama dalam kehidupan zaman modern ini. Dan karenanya, menggunakan kendaraan bermotor diperbolehkan karena tidak ada larangan dari Allah dan Rasul-Nya (tidak tertera larangan yang tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah).

Disqus Comments