Lagi-lagi muncul konten viral di Facebook dan Twitter yang mengelirukan dan mendiskreditkan Amalia Ayuningtyas, pentolan Ahok. Di Amerika, Facebook juga dituding berperan dalam kekalahan Hillary Clinton. Mark Zuckerberg mengatakan Facebook akan mengatasi persoalan ini.
Berikut adalah ulasan mengengai hal itu.
tirto.id - Kamis kemarin (25/11), Ulin Yusron, salah seorang pesohor Twitter Indonesia, menjadi perhatian. Fotonya menyebar di jagat maya, baik Facebook maupun Twitter. Ulin, lelaki berambut gondrong, selama ini dianggap menyamar sebagai salah satu koordinator Teman Ahok Amalia Ayuningtyas, seorang perempuan muda berkerudung. Ini tentu menggelikan, meski bagi Amalia ini bukan yang pertama.
Sebelumnya Amalia pernah dituduh buka-pasang karena dikelirukan sebagai perempuan tak berjilbab yang kebetulan mirip wajahnya. Berita bohong ini terjadi dua kali dalam setahun. Sentimen yang digunakan tetap sama: mendiskreditkan Amalia sebagai perempuan muslim yang doyan bongkar pasang jilbab.
Bedanya, kali ini Amalia tidak harus berjuang sendiri untuk meluruskan kabar bohong itu, karena yang dituduh sebagai Amalia, yaitu Ulin Yusron, bisa membantahnya. Masalahnya, selagi Ulin membantah, berita itu toh tetap viral dan banyak yang percaya bahwa Amalia dengan mudah buka lepas jilbabnya. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi?
Sebelum menjawab itu, kita mesti memahami konsep “filter bubble” yang dikembangkan oleh Eli Pariser. Eli Pariser berargumen siapapun yang kita pilih sebagai teman, berita yang kita bagi, halaman favorit, dan tautan yang kita buka membentuk identitas kita di media sosial. Algoritma media sosial menyesuaikan segala yang kita sukai tadi dan membuat newsfeed tersaring berdasar selera tersebut. Jika Anda tak suka klub sepak bola Liverpool, maka kebanyakan berita-berita dan tautan anda peroleh akan berisi tentang itu.
Pariser berpendapat algoritma mesin Facebook dan Google akan menjadi penjaga informasi dan hanya memuaskan selera pandang kita belaka. Dalam kasus Amalia, jika Anda tak pernah merasa berseberangan dengan sikap politiknya, maka kecil kemungkinan Anda akan terpapar dengan berita hoax soal dia dan jilbabnya.
Amalia sendiri sudah tidak kaget tentang berita fitnah ini. Ia pribadi menganggap kejadian berita palsu tentang Ulin Yusron dan dirinya sekedar lelucon. “Malah kalau yang ini saya anggap lucu lucuan aja, karena saya kenal mas Ulin yang dibilang saya versi nggak pakai jilbab,” katanya.
Tapi untuk kejadian terdahuu ia mengaku kesal. Berita hoax pertama banyak merepotkan orang karena yang difitnah bukan cuma satu orang tapi langsung tiga orang berbeda, dan itu buat sangat mengganggu. “Karena berasa lebay aja menurut saya, apalagi semuanya viral, kadang suka capek aja musti konfirmasi berulang-ulang,” lanjutnya.
Amalia bukan objek pertama yang menjadi berita hoax di Facebook dan media sosial yang lain. Dalam kurun waktu seminggu ini Facebook diramaikan dengan berita tentang tank yang masuk ke ibukota, pembantaian muslim di Rohingya yang ternyata foto korban gempa, atau berita tentang tentara yang diduga berasal dari Cina datang ke Indonesia. Keduanya berusaha menghadirkan imaji tentang kondisi gawat dan isu sektarian. Facebook jelas punya masalah dalam mengatasi persebaran berita hoax dan palsu ini.
Wisnu Prasetya Utomo, peneliti dan pengamat media dari Remotivi, menyebut filter bubble bisa sangat berbahaya apabila tidak dipahami dengan baik. Ia berpendapat meski bukan satu-satunya faktor, tapi filter bubble yang ada di media sosial bisa mendistraksi realitas sosial dan bikin banyak orang tertipu. “Dan ironisnya, bahaya filter bubble ini bisa menyasar orang-orang yang punya pendidikan akademis tinggi. Orang-orang yang ada dalam filter bubble kan kerap tidak peduli apa sebuah informasi itu benar atau tidak, yang penting sesuai keyakinannya,” katanya.
Untuk mengatasi itu semua, Mark Zuckerberg mengatakan Facebook akan berbuat lebih banyak untuk mengatasi berita-berita palsu. Pekerjaan memberantas berita palsu ini memang memakan waktu lebih lama dari yang diinginkan. Itu dilakukan untuk mengkonfirmasi perubahan agar tidak menghasilkan efek samping atau bias yang tidak diinginkan, demikian jelas Zuckerberg. Ia berharap Facebook bisa menjadi ruang publik tempat di mana diskursus berkembang.
Zuckerberg menjamin lebih dari 99% dari konten di Facebook bersifat otentik. Artinya, hanya sekitar satu persen dari konten Facebook yang merupakan berita palsu. "Hanya jumlah yang sangat kecil adalah berita palsu dan hoax. Berita-berita palsu yang ada tidak terbatas pada satu tampilan partai, atau bahkan politik tertentu," tambahnya seperti yang dikutip Antara. Tapi apakah ini bisa memperbaiki hal yang telah rusak?
Saat pemilihan presiden Amerika Serikat kemarin, berdasar Facebook Data yang dirilis Buzzsumo, data hoax memprihatinkan. Dari 20 berita teratas tentang pemilu, 8,7 juta engagements yang ada berasal dari berita palsu, sementara situs berita terpercaya hanya 7,3 juta engagements. Ini bukan pertama kalinya. Tiga bulan sebelumnya, berita palsu seperti konten yang menyebut Paus Fransiskus mendukung Donald Trump mendapatkan 900 ribu impresi. Facebook dituntut untuk bisa mencegah agar kerusakan semacam ini tidak berkembang lebih jauh lagi.
Zuckerberg menyebut hal pertama yang akan dilakukan dalam perang melawan berita bohong ini adalah memperbaiki teknologi untuk mengenali mana berita palsu sebelum mereka menyadarinya. Konsepnya adalah memberitahu pengguna Facebook bahwa berita yang mereka akan sebar mungkin akan dianggap palsu. Langkah lainnya adalah mempermudah orang untuk melaporkan berita palsu dan menggandakan proses verifikasi terhadapnya. Facebook juga akan mengundang pihak luar untuk melakukan fact-checking sebuah berita.
Wisnu sangat mendukung konsep fact-checking. Menurutnya, secara teori berita-berita palsu yang ada dapat dilawan dengan berita-berita yang telah terverifikasi dan diklarifikasi dari sumber primer. “Cuma, kadang itu nggak berhasil dan susah menjangkau orang yang memang keyakinannya sudah sulit diubah,” katanya.
Ia sendiri menganjurkan dua solusi untuk mengatasi masalah macam ini. “Upaya struktural, yang berkaitan dengan penegakan hukum baik dari aparat kepolisian sampai Dewan Pers sebagai regulator media yang mestinya bisa mengantisipasi hal-hal kayak gini,” katanya.
Sementara upaya lain adalah inisiatif kultural, berkaitan dengan kerja-kerja masyarakat sipil yang mesti secara aktif terlibat dalam kerja-kerja literasi media digital. Misalnya pengarusutamaan inisiatif-inisiatif fact-checker seperti yang ada di media-media Amerika. Meski demikian, Zuckerberg menjamin Facebook tak hendak berperan menjadi hakim untuk menentukan siapa yang benar dan salah. Ia menganggap permasalahan tentang berita palsu dan filter bubble sebagai masalah kompleks, baik secara teknis maupun filosofis.